Cari Blog Ini

Halaman

Minggu, 23 Januari 2011

Perbedaan Hukum Pidana, Sosiologis, Kriminologis dan Viktimologi

HUKUM PIDANA
Antara ilmu hukum pidana dan kriminologi memiliki hubungan yang bersifat timbal-balik dan interdependen. Ilmu hukum mempelajari akibat hukum dari perbuatan yang dilarang, sedangkan kriminologi mempelajari sebab dan cara menghadapi kejahatan.

Kejahatan yang dimaksudakan adalah sebagai berbuat dan tidak berbuat yang bertentangan dengan tata cara yang ada dalam masyarakat. Dilihat dari sudut ini maka lapangan penyelidikannya tidak hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang oleh pembentuk UU dinyatakan sebagai delik.

SOSIOLOGIS
Pada teori kejahatan dari perspektif sosiologis berusaha mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum yaitu : strain, cultural deviance (penyimpangan budaya), dan social control.
Perspektif strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatianya pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya pada teori kontrol sosial mempuyai pendekatan berbeda. Teori ini berdasarkan asumsi bahwa motivasi untuk melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Selain itu teori ini mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga sosial membuat aturan yang efektif. Teori strain dan penyimpangan budaya keduanya berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal berhubungan, tetapi berbeda dalam hal sifat hubungan tersebut. Para penganut teori strain beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya yaitu nilai-nilai budaya dari kelas menengah. Satu nilai budaya terpenting adalah keberhasilan ekonomi, karena orang-orang kelas bawah tidak mempunyai sarana-sarana yang sah untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana yang tidak sah. Pada teori penyimpangan budaya menyatakan bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-nilai dari kelas menengah. Sebagai konsekuensinya manakala orang-orang kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma konvensional.
Sudah umum diterima bahwa objek kriminologi adalah norma-norma kelakuan (tingkah laku) yang tidak disukai oleh kelompok-kelompok masyarakat, tetapi kejahatan (crime) sebagai salah satu dari padanya masih merupakan bagian yang terpenting. Dari sudut pandang sosiologi maka dapatlah dikatakan bahwa kejahatan adalah salah satu persoalan yang paling serius dalam hal timbulnya Disorganisasi sosial,karena penjahat-penjahat itu sebenarnya melakukan perbuatan-perbuatan yang mengancam dasar-dasar dari pemerintahan, hukum, ketertiban dan kesejahteraan umum. Beberapa kejahatan menunjukkan sifat-sifat egoistis,ketamakan dari pelaku kejahatan, sama sekali tidak mempedulikan keselamatan, kesejahteraan ataupun barang milik orang lain. Pelaku kejahatan yang lebih besar lagi dan lebih berkuasa umumnya bersatu dan bergabung dengan pegawai-pegawai pemerintah yang korup dan dengan demikian mencoba untuk mencapai tujuan-tujuan mereka dengan melalui saluran pemerintahan.
Sosiologi modern sangat menekankan pada mempelajari struktur dan jalanya masyarakat sekarang ini. Bila dilihat dari sosiologi maka kejahatan adalah salah satu masalah yang paling gawat dari disorganisasi sosial. Karena pelaku kejahatan bergerak dalam aktivitas-aktivitas yang membahayakan bagi dasar-dasar pemerintahan, hukum, Undang-Undang, Ketertiban dan Kesejahteraan sosial. dan oleh karena itulah kejahatan merupakan salah satu bagian dari disorganisasi sosial yang perlu diperhatikan. Dalam culture conflict theory Thomas Sellin menyatakan bahwa setiap kelompok memiliki conduct morm-nya sediri dan dari conduct norms dari satu kelompok mungkin bertentangan dengan conduct norms kelompok lain. Seorang individu yang mengikuti norma kelompoknya mugkin saja dipandang telah melakukan suatu kejahatan apabila norma-norma kelokpoknya itu bertentangan dengan norma-norma dari masyarakat dominan. Menurut penjelasan ini perbedaan utama antara seorang kriminal dengan seorang non kriminal adalah bahwa masig-masing menganut conduct norms yang berbeda. Sebaliknya dalam teori kontrol sosial memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi-strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan membawanya kepada penyesuaian atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat.
KRIMINOLOGIS
Secara kriminologis, kejahatan bukan saja suatu perbuatan yang melanggar undang-undang atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi, yaitu yang mencakup berbuatan yang anti sosial, yang merugikan masyarakat, walaupun perbuatan itu belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana.
Dengan melihat batasan kejahatan seperti telah diuraikan di bagian terdahulu maka penjahat adalah seseorang (atau sekelompok orang yang melakukan perbuatan anti sosial walaupun belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana (kriminologis). Dalam arti sempit, penjahat adalah seseorang yang melakukan pelanggaran undang-undang atau hukum pidana, lalu tertangkap, dituntut, dan dibuktikan kesalahannya di depan pengadilan serta kemudia dijatuhi hukuman.
VIKTIMOLOGI
adalah ilmu yang mempelajari tentang korban (victim = korban) termasuk hubungan antara korban dan pelaku, serta interaksi antara korban dan sistem peradilan - yaitu,polisi, pengadilan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait - serta didalamnya juga menyangkut hubungan korban dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dan institusi lain seperti media, kalangan bisnis, dan gerakan sosial.

Contoh Formil dan Materil Hukum Pajak

Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Ada 2 macam hukum pajak yaitu:
1. Hukum pajak materil, yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan.
2. Hukum pajak formil, memuat bentuk/ tata cara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum iini memuat antara lain:
a. Tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b. Hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dna peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

A. SISTEM PERPAJAKAN
Ludwig von Bertalanffy, seorang biopsikologi bangsa Jerman yang menulis General System Theory pada tahun 1950-an mengemukakan bahwa semua fenomena mempunyai hubungan seperti dalam ilmu alam: ada organ, sel dan mulekul. Suatu masyarakat terdiri dari suprasistem, sistem dan subsistem.
Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke Kas Negara. Contoh: Ditinjau dari tingkatan negara, maka negara adalah suatu suprasistem, Keuangan Negara adalah sistem dan perpajakan adalah subsistem Ditinjau dari tingkatan perpajakan, maka perpajakan di Indonesia adalah suatu suprasistem, pajak penghasilan adalah sistem dan pajak penghasilan atas karyawan adalah subsistem. Dalam sistem perpajakan di Indonesia dikenal Self Asssessment System, Official Assessment System dan Withholding tax System.
Self Assessment System adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya
Withholding tax system adalah suatu sistem perpajakan dimana pihak ketiga diberi kepercayaan (kewajiban), atau diberdayakan (empowerment) oleh undang-undang perpajakan untuk memotong pajak penghasilan sekian persen dari penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak.
Official Assessment System adalah suatu sistem perpajakan dalam mana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus.
B. TARIF PAJAK
Dalam berbagai literatur perpajakan dikenal lima macam tarif pajak yakni tarif tetap (fixed rate), tarif proporsional (proportional rate), tarif progresif (progressive rate), tarif regresif (regressive rate) dan tarif degresif (degressive rate).
Tarif tetap adalah tarif yang jumlah pajaknya dalam rupiah (atau dollar) bersifat tetap walaupun Objek Pajaknya jumlahnya berbeda-beda. Misalnya tarif Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985. Jumlah Bea Meterai atas kuitansi atau tanda terima uang di atas Rp1.000.000,- adalah Rp6.000,- Walaupun uang yang diterima besarnya Rp100.000.000,- atau Rp10.000.000.000,- dan seterusnya, jumlah Bea Meterai yang terutang tetap Rp6.000,-
Sedangkan yang dimaksud dengan tarif proporsional adalah tarif yang prosentasenya tetap walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Misalnya tarif PPN 10% atas Rp100.000,- 10% atas Rp50.000.000,- 10% atas Rp10.000.000.000,-
Tarif Pajak yang bersifat progresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajaknya, maka makin tinggi pula prosentase tarif pajaknya. Misalnya tarif Pajak Pendapatan tahun 1944, Tarif Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Adapun tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajak, maka makin rendah prosentase tarifnya. Sedangkan tarif Pajak Degresif adalah tarif pajak yang apabila objek pajaknya makin tinggi, maka makin rendah tarifnya. Tarif ini pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli waris, maka tarif bea atau pajak atas warisan makin kecil.
C. HUKUM PAJAK
Hukum pajak atau hukum fiskal ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak.
Hukum Pajak dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law). Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.
Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-ketentuan tentang siapa, apa dan berapa. Hukum Pajak Formal berisi ketentuan tentang bagaimana.
Hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak.
D. SANKSI PAJAK
Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas 3 macam yaitu berupa denda, bunga dan kenaikan. Hukum Pidana Fiskal dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
a) Peraturan Hukum Pidana mengenai Pajak Langsung dan Pajak Peredaran (PPe)/PPn;
b) . Peraturan Hukum Pidana mengenai Bea Cukai; dan
c) . Hukum Pidana Pemerintahan/Quasi/ Semu/Tidak Sebenarnya.
Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara.
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT.
Sedangkan sanksi administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang-Undang KUP tahun 2000, kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar.
E. UTANG PAJAK
Menurut faham formal utang pajak timbul karena perbuatan fiskus, yakni fiskus menerbitkan SKP. Dalam contoh di atas, utang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus menerbitkan SKP. Secara ekstrim, si A tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP.
Menurut faham materiil utang pajak timbul karena terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang disyaratkan dalam undang-undang. Terpenuhinya ketentuan dalam undang-undang tersebut disebut sebagai tatbestand. Misalnya syarat timbulnya utang pajak bagi si A dalam contoh di atas menurut UU PPh 2000 antara lain :
Jika si A telah bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP, maka sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu menunggu fiskus menerbitkan SKP. Timbulnya utang pajak menurut faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-Undang atau karena tatbestand, yaitu ‘rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa (baik yang feitelijk, yuridis, persoonlijk maupun zakelijk) yang dapat menimbulkan utang pajak’.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Pajak dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law). Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.
Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-ketentuan tentang siapa, apa dan berapa. Hukum Pajak Formal berisi ketentuan tentang bagaimana.
Hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak
Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas 3 macam yaitu berupa denda, bunga dan kenaikan. Hukum Pidana Fiskal dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
d) Peraturan Hukum Pidana mengenai Pajak Langsung dan Pajak Peredaran (PPe)/PPn;
e) . Peraturan Hukum Pidana mengenai Bea Cukai; dan
f) . Hukum Pidana Pemerintahan/Quasi/ Semu/Tidak Sebenarnya.
Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara.
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT.
Sedangkan sanksi administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang-Undang KUP tahun 2000, kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar.

Teori Upah

Teori dana upah, Oleh Stuart Mill Senior
Menurut teori upah dana buruh tidak perlu menantang seperti yang disarankan oleh teori undang-undang upah besi, karena upah yang diterimanya itu sebetulnya adalah berdasarkan kepada besar kecilnya jumlah dana yang ada pada masyarakat. Jika dana ini jumlahnya besar maka akan besar pula upah yang diterima buruh, sebaliknya kalau dana ini berkurang maka jumlah upah yang diterima buruh pun akan berkurang pula.
Menurut teori ini, yang dipersoalkan sebetulnya bukanlah berapa besarnya upah yang diterima buruh, melainkan sampai seberapa jauhnya tersebut mampu mencukupi segala keperluan hidup buruh beserta keluarganya. Karenanya menurut teori ini dianjurkan, bahwa khusus untuk menunjang keperluan hidup buruh yang besar tanggungannya disediakan dana khusus oleh majikan atau negara yang disebut dana anak-anak


Teori Upah Alam, dari David Ricardo Teori ini menerangkan:
1. Upah menurut kodrat adalah upah yang cukup untuk pemeliharaan hidup
pekerja dengan keluarganya.
2. Di pasar akan terdapat upah menurut harga pasar adalah upah yang
terjadi di pasar dan ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Upah
harga pasar akan berubah di sekitar upah menurut kodrat.
Oleh ahli-ahli ekonomi modern, upah kodrat dijadikan batas minimum dari upah
kerja

sistem upah jangka waktu
sistem upah jangka waktu ini adalah sistem pemberian upah menurut jangka waktu tertentu, misalnya harian, mingguan atau bulanan.
Sistem Skala Upah Berubah
Dalam sistem ini, jumlah upah yang diberikan berkaitan dengan harga penjualan hasil produksi di pasaran. Jika harga naik maka jumlah upah pun akan naik, sebaliknya jika harga turun maka upah pun akan turun. Itulah sebabnya disebut skala upah berubah.
Teori dan sistem yang ideal menurut saya:
1. Perlu diperhatikan adanya kualitas kerja, ada kualitas kerja terdidik dan tidak terdidik, kualitas kerja keahlian dan lain sebagainya. Aliran yang klasik dalam hal ini tidak memperhitungkan jam kerja yang dipergunakan untuk pembuatan barang, tetapi jumlah jam kerja yang biasa dan semestinya diperlukan untuk memproduksi barang. Dari situ maka Carey kemudian mengganti ajaran nilai kerja dengan ”teori biaya reproduksi.”
2. Biaya produksi yang harus ditekan serendah-rendahnya agar harga barangnya nanti tidak terlalu tinggi atau keuntungannya tidak terlalu tinggi dan menjadi perhatian untuk dirundingkan dengan majikan agar dinaikkan.

Teori Upah Alam, dari David Ricardo Teori ini menerangkan:
1. Upah menurut kodrat adalah upah yang cukup untuk pemeliharaan hidup
pekerja dengan keluarganya.
2. Di pasar akan terdapat upah menurut harga pasar adalah upah yang
terjadi di pasar dan ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Upah
harga pasar akan berubah di sekitar upah menurut kodrat.
Oleh ahli-ahli ekonomi modern, upah kodrat dijadikan batas minimum dari upah
kerja

Teori Upah Besi
Teori upah ini dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle. Penerapan sistem upah kodrat menimbulkan tekanan terhadap kaum buruh, karena kita ketahui posisi kaum buruh dalam posisi yang sulit untuk menembus kebijakan upah yang telah ditetapkan oleh para produsen. Berhubungan dengan kondisi tersebut maka teori ini dikenal dengan istilah “Teori Upah Besi”. Untuk itulah Lassalle menganjurkan untuk menghadapi kebijakan para produsen terhadap upah agar dibentuk serikat pekerja.

Sistem pembagian keuntungan
Sistem upah ini dapat disampingkan dengan pemberian bonus apabila perusahaan mendapatkan keuntungan diakhir tahun.

Sistem upah indeks
Sistem upah ini didasarkan atas indeks biaya kebutuhan. Dengan sistem ini upah itu akan naik turun sesuai dengan naik turunnya biaya penghidupan, meskipun tidak mempengaruhi nilai nyata dari upah.


Pendapat.
Kesulitan yang terdapat dalam nilai kerja itu bahwa selain kerja masih banyak lagi jasa produktif yang ikut membantu pembuatan barang itu, harus dihindarkan. Selanjutnya David Ricardo (1772-1823) menyatakan bahwa perbandingan antara kerja dan modal yang dipergunakan dalam produksi boleh dikarakan tetap besarnya dan hanya sedikit sekali perubahan.

Teori Upah Etika
Menurut kaum Utopis (kaum yang memiliki idealis masyarakat yang ideal) tindakan para pengusaha yang memberikan upah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum, merupakan suatu tindakan yang tidak “etis”. Oleh karena itu sebaiknya para pengusaha selain dapat memberikan upah yang layak kepada pekerja dan keluarganya, juga harus memberikan tunjangan keluarga.

Teori Upah Besi
Teori upah ini dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle. Penerapan sistem upah kodrat menimbulkan tekanan terhadap kaum buruh, karena kita ketahui posisi kaum buruh dalam posisi yang sulit untuk menembus kebijakan upah yang telah ditetapkan oleh para produsen. Berhubungan dengan kondisi tersebut maka teori ini dikenal dengan istilah “Teori Upah Besi”. Untuk itulah Lassalle menganjurkan untuk menghadapi kebijakan para produsen terhadap upah agar dibentuk serikat pekerja.


Sistem upah potongan
Sistem ini tujuannya adalah untuk mengganti sistem upah jangka waktu jika hasil pekerjaannya tidak memuaskan. Sistem upah ini hanya dapat diberikan jika hasil pekerjaannya dapat dinilai menurut ukuran tertentu, misalnya diukur dari banyaknya, beratnya dan sebagainya.
Manfaat pengupahan dengan sistem ini adalah:
1. Buruh mendapat dorongan untuk bekerja giat
2. Produktivitas semakin meningkat
3. Alat-alat produksi akan dipergunakan secara intensif
Sedangkan keburukannya adalah:
1. Buruh selalu bekerja secara berlebih-lebihan
2. Buruh kurang menjaga kesehatan dan keselamatannya
3. Kadang-kadang kurang teliti dalam bekerja karena untuk mengerjar jumlah potongan
4. Upah tidak tetap, tergantung jumlah potongan yang dihasilkan
Untuk menampung keburukan dari sistem upah potongan maka diciptakan sistem upah gabungan, yaitu gabungan antara upah minimumnya sehari dengan jumlah minimum dari pekerjaannya sehari.

Sistem pembagian keuntungan
Sistem upah ini dapat disampingkan dengan pemberian bonus apabila perusahaan mendapatkan keuntungan diakhir tahun.


Pendapat tentang teori dan sistem yang ideal:
Teori yang ideal yang di gunakan untuk indonesia adalah teori dana upah karena upah buruh telah diasumsikan sebelumnya artinya upah buruh dianggap sebagai pengeluaran produksi. Dengan maksud pengeluaran dapat menjadi teratur.
Sistem yang ideal adalah sistem upah potongan karena buruh dapat bekerja lebih giat, produktifitas semakin meningkat dan mengurangi kemalasan.

Hubungan Hukum Pidana Dengan Hukum Lain

Hubungan Hukum Pidana dengan Ilmu Lain.
Hukum pidana adalah teori mengenai aturan-aturan atau norma-norma hukum pidana. Dalam ruang lingkup sistem ajaran hukum pidana, yamg dinamakan disiplin hukum pidana sebenarnya mencakup ilmu hukum pidana, politik hukum pidana, dan filsafat hukum pidana. Ilmu hukum pidana mencakup beberapa cabang ilmu, ilmu hukum pidana merupakan mencakup ilmu-ilmu sosial dan budaya. Ilmu-ilmu hukum pidana tersebut mencakup ilmu tentang kaedah dan ilmu tentang pengertian yang keduanya disebut sebagai dogmatika hukum pidana serta ilmu tentang kenyataan.
Politik hukum pidana mencakup tindakkan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut didalam kenyataan. Politik hukum pidana merupakan pemilihan terhadap nilai-nilai untuk mencegah terjadinya delikuensi dan kejahatan.
Filsafat hukum pidana pada hakekatnya merenungkan nilai-nilai hukum pidana, berusaha merumuskan dan menyerasikan nilai-nilai yang berpasangan, tetapi yang mungkin bertentangan.
Objek dalam dogmatik hukum pidana adalah hukum pidana positif, yang mencakup kaidah-kaidah dan sistem sanksi. Ilmu tersebut bertujuan untuk mengadakan analisis dan sistematisasi kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan penerapan yang benar. Ilmu tersebut juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif., yang kemudian menjadi patokan bagi perumusan serta penyusunan secara sistematis.
Sosiologi hukum pidana memusatkan perhatian pada sebab-sebab timbulnya peraturan-peraturan pidana tertentu, serta efektifitasnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu ruang lingkup sosiologi hukum pidana sebagai berikut:[7]
a. Proses mempengaruhi antara kaidah-kaidah hukum pidana dan warga masyarakat;
b. Efek dari proses kriminalisasi serta deskriminalisasi;
c. Identifikasi terhadap mekanisme produk dari hukum pidana;
d. Identifikasi terhadap kedudukkan serta peranan para penegak hukum;
e. Efek dari peraturan-peraturan pidana terhadap kejahatan, terutama pola prilakunya.
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang meneliti delikuensi dan kejahatan, sebagai suatu gejala sosial. Jadi, ruang lingkupnya adalah proses terjadinya hukum pidana, penyimpangan terhadap hukum atau pelanggarannya, dan reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Kriminologi mencakup tiga bagian pokok yaitu:
a. Sosiologi hukum pidana yang meneliti dan menganalisis kondisi-kondisi tempat hukum pidana berlaku;
b. Etiologi kriminal yang meneliti serta mengadakan analisis terhadap sebab-sebab terjadinya kejahatan;
c. Penologi yang ruang lingkupnya mencakup pengendalian terhadap kejahatan.
Kriminologi merupakan teori tentang gejala hukum. Dari pengertian ini nampak adanya hubungan antara hukum pidana dengan kriminologi bahwa keduanya sama-sama bertemu dalam kejahatan, yaitu perbuatan/tingkah laku yang diancam pidana.
Adapun perbedaan hukum pidana dan kriminologi terletak pada objeknya. Objek hukum pidana menunjuk pada apa yang dipidana menurut norma-norma hukum pidana yang berlaku. Sedangkan objek kriminologi tertuju pada manusia yang melanggar hukum pidana dan kepada lingkungan manusia-manusia tersebut. Dengan demikian, wajarlah bila batasan luas kedua objek ilmu itu tidak sama. Hal ini melahirkan kejahatan sebagai objek hukum pidana dan kejahatan sebagai objek kriminologi.
Hukum pidana memperhatikan kejahatan sebagai pristiwa pidana yang dapat mengancam tata tertib masyarakat, serta kriminologi mempelajari kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang melibatkan individu sebagai manusia.
Dengan demikian, hukum pidana melihat bahwa perbuatan melanggar ketentuan hukum pidana disebut sebagai kejahatan, sedangkan kriminologi melihat bahwa perbuatan bertentangan dengan hati nurani manusia disebut kejahatan.
Titik tolak sudut pandang hukum pidana memiliki dua dimensi yaitu, unsur kesalahan dan unsur melawan hukum. Demikian pula kriminologi memiliki dua dimensi, yaitu faktor motif (mental, psikologi, penyakit, herediter) dan faktor sosial yang memberikan kesempatan bergerak. Hukum pidana menekankan pada pertanggungjawaban, sedangkan kriminologi menekankan pada accountabillity apakah perbuatan tersebut selayaknya diperhitungkanpada pelaku, juga cukup membahayakan masyarakat. Dalam kriminologi, unsur kesalahan tidak relevan.
Interaksi hukum pidana dan kriminoligi disebabkan hal-hal berikut:
a. Perkembangan hukum pidana akhir-akhir ini menganut sistem yang memberikan kedudukkan penting bagi kepribadian penjahat dan menghubungkan dengan sifat dan berat-ringannya (ukuran) pemidanaannya.
b. Sejak dulu telah ada perlakuan khusus bagi kejahatan-kejahatan yang dilakukan orang-orang gila dan anak-anak yang menyangkut perspektif-perspektif dan pengertian-pengertiannya. Kriminologi terwujud sedemikian rupa dalam hukum pidana sehingga Criminale science sekarang menghadapi problema-problema dan tugas-tugas yang sama sekali baru dan berhubungan erat dengan kriminologi. Kriminologi tidak tergantung pada perspektif-perspektif dan nilai-nilai hukum pidana. Hubungan yang erat dengan kriminalitas merupakan syarat utama sehingga berlakunya norma-norma hukum pidana dapat diawasi oleh kriminologi.
Dalam hubungan dengan dogmatik hukum pidana, kriminologi memberikan kontribusinya dalam menentukkan ruang lingkup kejahatan atau prilaku yang dapat dihukum.

Pengakhiran Perjanjian International

RESUME BAB XII
PENGAKHIRAN ATAS EKSISTENSI SUATU
PERJANJIAN INTERNASIONAL

A. Pendahuluan
Pada akhirnya suatu perjanjian internasional harus diakhiri, atau terpaksa diakhiri eksistensinya. Seperti halnya penundaan dan ketidakabsahan suatu perjanjian internasional, pengakhiran atas eksistensi suatu perjanjian internasional juga ada penyebabnya, yang dalam beberapa hal sama seperti persoalan penundaan maupun ketidakabsahannya. Itulah sebabnya di dalam Konvensi Wina 1969, ketiganya diatur di dalam satu Bagian (Part), yakni Part V. Oleh karena itu uraian dalam Bab ini, dalam beberapa hal hampir sama dengan Bab X tentang Penundaan dan Bab XI tentang Ketidakabsahan suatu Perjanjian Internasional. Pihak yang dapat mengusulkan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional, adalah pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang memandang, bahwa perjanjian itu tidak perlu dipertahankan lagi dan harus diakhiri. Selanjutnya pengakhiran ini juga akan menimbulkan konsekuensi hukum seperti halnya dengan penundaan maupun ketidakabsahannya yang harus diselesaikan oleh para pihak itu sendiri. Persoalan tentang bagaimana mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional dan penyelesaian segala konsekuensi hukumnya, pertama-tama tergantung pada ada atau tidaknya pengaturannya di dalam perjanjian itu sendiri. Di samping itu, juga turut ditentukan oleh macam perjanjiannya, apakah itu perjanjian bilateral, multilateral, perjanjian yang jangka waktu berlakunya ditentukan ataukah tidak ditentukan, perjanjian terbuka atau tertutup, perjanjian yang merupakan pengkodifikasian dan pengembangan progresif hukum internasional, dan lain sebagainya.

B. Alasan untuk Mengakhiri Eksistensi suatu Perjanjian lnternasional
Dalam praktek kehidupan masyarakat internasional, terdapat beberapa alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional. Misalnya, untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya sudah ditentukan secara pasti di dalam salah satu pasalnya, misalnya berlaku untuk waktu lima tahun, sepuluh tahun, dan lain sebagainya, maka perjanjian itu akan berakhir setelah terpenuhinya jangka waktu tersebut. Meskipun demikian, setelah jangka waktu itu terpenuhi, para pihak dapat bersepakat untuk memperpanjang masa berlakunya untuk suatu jangka waktu tertentu. Kadang-kadang suatu perjanjian internasional semacam inipun dapat diakhiri eksistensinya, jika para pihak sepakat untuk mengakhirinya, meskipun jangka waktu berlakunya belum terpenuhi. Sedangkan untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya tidak ditentukan, dapat diakhiri sebelum tujuan perjanjian itu tercapai, jika memang para pihak sepakat untuk mengakhirinya.

C. Berakhirnya suatu Perjanjian Internasional Tidak Mengakhiri Kewajiban yang Berdasarkan atas Hukum Internasional Umum
Perjanjian-perjanjian internasional jenis tertentu, yakni, perjanjian yang substansinya (sebagian) merupakan formulasi dan kaidah hukum kebiasaan internasional, hak ataupun kewajiban yang semula berasal dari hukum kebiasaan internasional itu masih tetap berlaku. Tegasnya, salah satu atau beberapa ketentuannya merupakan perumusan kern bali atau pengkodifikasian atas kaidah hukum yang sebelum berlakunya perjanjian itu sudah merupakan kaidah hukum kebiasaan internasional. Jika pada suatu waktu perjanjian itu diakhiri eksistensinya, hal ini tidaklah mengakhiri hak ataupun kewajiban negara-negara pesertanya yang bersumber dari hukum kebiasaan internasional tersebut.
Contoh lain, negara A dan negara B membuat perjanjian bilateral tentang kesepakatan untuk hidup berdampingan secara damai, yang salah satu pasalnya berisi ketentuan yang menyatakan bahwa kedua pihak tidak akan saling menyerang dan tidak akan menggunakan kekerasan dalam penyelesaian perselisihan antara mereka. Ketentuan semacam ini adalah merupakan kaidah hukum kebiasaan internasional yang berlaku umum, terlepas dari ada atau tidak adanya penegasan atau pengaturannya di dalam suatu perjanjian internasional. Apabila pada suatu waktu nanti, perjanjian itu diakhiri eksistensinya, ketentuan seperti tercantum di dalam perjanjian itu tetap berlaku terhadap kedua negara, sebab sudah merupakan kaidah hukum internasional umum yang mandiri. Jadi, dengan kata lain, dengan berakhirnya perjanjian itu tidaklah berarti para pihak bisa saling menyerang ataupun menggunakan kekerasan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara keduanya.

D. Pengakhiran atas Eksistensi Perjanjian Internasional menurut Konvensi Wina 1969
Konvensi Wina 1969 Pasal 42 ayat 2 menegaskan, bahwa tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional pertama-tama harus dilihat pada bagaimana peraturannya di dalam perjanjian internasional itu sendiri, kalau memang perjanjian itu secara tegas mengaturnya. Sedangkan jika tidak ada pengaturannya, pengakhiran itu dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Konvensi. Selanjutnya pasal 44 ayat 2 menegaskan, bahwa pada prinsipnya suatu kehendak untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional hendaknya untuk keseluruhannya. Namun, dimungkinkan juga untuk mengakhiri sebagian dari perjanjian itu, apabila ada klausul yang memungkinkan melakukan pengakhirannya untuk sebagian atau untuk beberapa ketentuannya, seperti ditegaskan pada ayat 3. Akan tetapi jika klausul demikian itu tidak ada, pengakhiran untuk sebagian juga dapat dilakukan jika hal itu tampak atau tersimpulkan dari perjanjian itu sendiri, dan pada umumnya pengakhiran atas sebagian dan perjanjian tersebut berkenaan dengan ketentuan yang bukan merupakan syarat yang esensial bagi terikatnya suatu negara pada perjanjian itu secara keseluruhan.
a. Dibuat Perjanjian Internasional Baru
Pasal 59 ayat 1 mengatur tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional (lama/duluan) disebabkan karena dibuat perjanjian yang (baru/belakangan). Dalam hal ini, semua negara peserta pada perjanjian yang lama/duluan kemudian membuat perjanjian baru/belakangan, dan memang para pihak bermaksud untuk menerapkan perjanjian yang baru/belakangan untuk menggantikan perjanjian yang lama/duluan; dan juga karena substansi dari kedua perjanjian itu sangat berbeda bahkan bertentangan sehingga keduanya tidak mungkin untuk diterapkan secara bersamaan. Meskipun perjanjian yang baru/belakangan tidak secara tegas mengakhiri eksistensi atau berlakunya perjanjian yang lama/duluan -- dan hal seperti ini memang tidak lazim dalam hukum perjanjian internasional — tetapi karena keduanya tidak mungkin untuk diterapkan pada waktu dan tempat yang sama, maka salah satu harus dikesampingkan atau diakhiri. Dalam hal ini perjanjian yang lama/duluanlah yang harus diakhiri, dan yang baru/belakanganlah yang harus diterapkan, jadi sesuai dengan asas hukum, lex posteriori derogat legi priori. Akan tetapi masalahnya menjadi lain, apabila negara-negara peserta pada perjanjian yang lama/duluan tidak semuanya negara yang juga menjadi peserta pada perjanjian yang baru/belakangan.
b. Pelanggaran oleh salah satu pihak
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 60 ayat 1, pelanggaran atas substansi perjanjian oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian, baik untuk keseluruhannya ataupun untuk sebagian. Atau seperti ditegaskan dalam ayat 2, pelanggaran atas suatu perjanjian internasional oleh salah satu pihak dapat dijadikan sebagai alasan bagi pihak lainnya untuk bersepakat secara bulat untuk mengakhiri berlakunya perjanjian itu, (i) baik dalam hubungan antara mereka pada satu pihak dengan pihak yang melakukan pelanggaran pada lain pihak, atau (ii) antara semua pihak. Perlu ditegaskan, bahwa pengakhiran suatu perjanjian internasional berdasarkan alasan semacam ini bersifat fakultatif, artinya, para pihak dapat menempuh pilihan, apakah sepakat untuk mengakhiri perjanjian ataukah tetap melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut meskipun terjadi pelanggaran sebagaimana dinyatakan di dalam pasal 60 ini. Meskipun terjadi pelanggaran yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhirinya, tetapi jika para pihak sepakat untuk tetap meneruskan pelaksanaannya, maka perjanjian itu masih tetap eksis dan berlaku sebagaimana biasa. Sebaliknya jika mereka memilih untuk mengakhirinya, pengakhiran ini bisa dilakukan hanya antara pihak yang melakukan pelanggaran dalam hubungannya dengan pihak yang menjadi korban atau pihak yang dirugikan, atau bisa juga dilakukan antara semua pihak, jika semua pihak sepakat untuk itu.
c. Ketidakmungkinan untuk melaksanakannya
Menurut pasal 61 ayat 3, salah satu pihak dapat menyatakan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian dengan alasan bahwa perjanjian itu sudah tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan dan ketidakmungkinan itu sudah bersifat permanen atau ketidakmungkinan yang disebabkan karena kerusakan dan obyeknya yang ternyata tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan perjanjian tersebut. Jadi ada dua macam ketidakmungkinan untuk melaksanakan suatu perjanjian, yakni pertama, ketidakmungkinan untuk melaksanakan perjanjian internasional itu sudah bersifat permanen, dan yang kedua, adalah karena kerusakan dan obyek perjanjian itu tidak dapat dipisahkan dan pelaksanaannya, atau dengan kata lain, kerusakan atas obyeknya itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk tetap melaksanakan perjanjian tersebut.
d. Terjadinya perubahan keadaan yang fundamental (fundamental change of circumstances)
Konvensi mengatur tentang terjadinya perubahan keadaan yang fundamental secara negatif, dalam pengertian, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri berlakunya suatu perjanjian internasional. Selain daripada itu, jika ada pihak yang menjadikannya sebagai alasan, disertai pula dengan pembatasan yang amat ketat dalam penggunaannya, sehingga sangat sempit atau sedikit sekali kesempatan yang dapat digunakan sebagai alasan untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional. Diaturnya secara negatif dan disertai dengan pembatasan yang amat ketat, disebabkan karena kekhawatiran akan disalahgunakannya alasan ini, misalnya negara-negara dengan mudah berlindung dibaliknya untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional. Di samping itu, martabat (dignity) setiap perjanjian internasional supaya tetap dijunjung tinggi mengingat bahwa adanya perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur masyarakat internasional masih jauh lebih baik daripada tidak ada atau hanya ada sedikit perjanjian internasional, sehingga masyarakat internasional menjadi hidup di dalam suasana yang tanpa hukum yang tegas. Dalam hal ini sudah lama diakui, bahwa peranan perjanjian internasional dalam mengatur masalah-masalah internasional semakin lama semakin bertambah penting.
e. Putusnya hubungan diplomatik dan/atau konsuler
Hubungan diplomatik dan/atau konsuler yang baik antara negara-negara merupakan salah satu fondasi bagi pertumbuhan dan perkembangan perjanjian-perjanjian internasional, sebab dengan hubungan semacam itulah negara-negara akan lebih mudah dan cepat melakukan pendekatan untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional dalam rangka mengatur masalah-masalah internasional pada umumnya dan masalah-masalah antara mereka pada khususnya. Akan tetapi dalam hubungan-hubungan internasional, negara-negara yang hubungan diplomatik dan konsulernya semula berlangsung dengan baik, ternyata hubungan baik itu tidak selamanya bisa dipertahankan. Hubungan diplomatik dan/atau konsuler juga kadang-kadang bisa putus. Pelbagai penyebab dapat dikemukakan mengapa hubungan diplomatik dan/atau konsuler antara dua negara bisa putus, misalnya, terjadinya ketegangan yang memuncak sampai mengarah pada konflik bersenjata, atau sudah terjadi peperangan dahsyat antara kedua negara.


f. Bertentangan dengan jus cogens
Walaupun suatu perjanjian internasional merupakan hasil kesepakatan antara negara-negara yang menjadi pesertanya, sesuai dengan asas-asas dari hukum perjanjian itu sendiri, namun tidaklah berarti mereka bebas menentukan isi maupun obyek dan kesepakatannya. Ada beberapa pembatasan yang harus diperhatikan. Salah satunya adalah, substansi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum umum atau universal yang bersifat kuat dan imperatif yang dalam pasal 53 Konvensi disebut dengan a peremptory norm of general international law atau di dalam hukum internasional dikenal sebagai jus cogens. Apa yang dimaksud dengan jus cogens, ditegaskan dalam pasal 53, yakni, suatu kaidah hukum yang diterima dan diakui oleh seluruh anggota masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara sebagai suatu kaidah hukum yang tidak dibenarkan untuk dilakukan penyimpangan dan yang hanya dapat diubah oleh kaidah hukum internasional umumnya yang muncul belakangan yang memiliki sifat atau karakter yang sama. Sebagai contohnya, kewajiban setiap negara untuk menghormati kedaulatan teritorial sesama negara, kewajiban setiap negara untuk menghormati hak-hak asasi manusia, kewajiban negara untuk tidak melakukan tindakan agresi terhadap negara lain, dan lain-lainnya. Jika misalnya dua negara membuat suatu perjanjian bilateral yang substansinya merupakan kesepakatan untuk menyerang negara lain, perjanjian seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan kaidah hukum internasional yang tergolong jus cogens seperti telah dikemukakan di atas, yakni kewajiban untuk menghormati kedaulatan sesama negara. Menurut pasal 53, perjanjian semacam ini adalah batal (void) dan demikian juga menurut pasal 64 adalah batal dan perjanjian yang batal sama artinya dengan berakhir eksistensinya.
g. Pecahnya perang antara para pihak
Pecahnya perang antara dua atau lebih negara akan mengakhiri eksistensi dari perjanjian yang dibuat sebelumnya?. Konvensi Wina 1969 sama sekali tidak mengaturnya, baik langsung ataupun tidak langsung, sehingga tidak bisa dicarikan rujukannya secara langsung pada Konvensi. Dalam hal ini masalahnya hampir sama dengan putusnya hubungan diplomatik antara dua negara. Pada prinsipnya, perang yang terjadi tidak mengakhiri eksistensi perjanjian yang sudah ada dan berlaku sebelumnya antara para pihak yang berperang. Akan lebih tepat dikatakan, bahwa perang itu hanyalah menunda pelaksanaan perjanjian antara para pihak yang bersangkutan. Jika kemudian perang sudah berakhir dan hubungan diplomatik normal kembali, maka perjanjian yang selama berlangsungnya perang tertunda pelaksanaannya, dapat dilaksanakan kembali sebagaimana biasa.

E. Penarikan diri negara-negara pesertanya
Walaupun pasal 55 dan 56 Konvensi tidak memungkinkan suatu perjanjian internasional untuk diakhiri meskipun terjadi penarikan atau pengunduran diri negara-negara peserta hingga jumlah yang tersisa kurang dari jumlah minimum yang dibutuhkan untuk mulai berlakunya, namun dalam praktek tidaklah tertutup kemungkinan terjadinya pengakhiran suatu perjanjian internasional jika negara-negara peserta yang tersisa sudah tidak mungkin lagi untuk melaksanakan ketentuan perjanjian tersebut. Jika terjadi situasi semacam ini, maka para pihak yang masih tersisa (yang tidak menarik diri) dapat menempuh kesepakatan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian itu.

F. Prosedur untuk Mengakhiri Eksistensi suatu Perjanjian Internasional
Suatu perjanjian internasional yang hendak diakhiri eksistensinya berdasarkan kehendak dari salah satu atau beberapa pihak, menurut pasal 65 ayat 1, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu kepada negara-negara peserta yang lainnya. Pengajuan usulnya itu haruslah dilakukan secara tertulis (pasal 67 ayat 1) disertai dengan alasan-alasannya dan langkah-langkah yang seyogianya ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut. Selanjutnya menurut pasal 65 ayat 2, jika dalam rentang waktu tiga bulan terhitung dari saat diterimanya usulan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut, — kecuali dalam keadaan yang sangat khusus — ternyata tidak ada satu pihakpun yang menyatakan penolakan atau keberatannya, maka pihak yang mengajukan usulan itu dapat mengambil langkah-langkah seperti ditentukan dalam pasal 67 yakni menyampaikan pernyataan bahwa perjanjian itu berakhir eksistensinya yang harus disampaikan kepada negara-negara peserta lainnya. Pemberitahuan atau pernyataan itu harus dilakukan sucara tertulis dan ditandatangani oleh kepala negara, atau kepala pemerintah, atau menteri luar negerinya. Jika hal itu dilakukan oleh pejabat lain selain daripada ketiga pejabat negara tersebut, maka pejabat negara itu haruslah disertai dengan surat kuasa atau kuasa penuh (full powers). Jika tidak disertai dengan kuasa penuh, maka keabsahannya dapat dipersoalkan oleh pihak-pihak atau negara-negara peserta yang lainnya.

G. Konsekuensi Hukum dan Berakhirnya Eksistensi suatu Perjanjian Internasional.
Tentang konsekuensi hukum dan pengakhiran suatu perjanjian internasional diatur di dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi. Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya; jika pengaturan itu tidak ada, kemungkinan kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan tersendiri, dan kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada, maka para pihak dapat mengikuti ketentuan seperti ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini. Jika suatu perjanjian internasional mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya tentang konsekuensi (hukum) dari berakhirnya eksistensi perjanjian, maka para pihak cukup menerapkan ketentuan itu saja. Akan tetapi dalam prakteknya, memang sangat jarang ada — bahkan mungkin tidak ada— perjanjian internasional yang mengatur sampai sejauh ini, bahkan lebih banyak dijumpai perjanjian-perjanjian internasional yang sama sekali tidak mengaturnya. Jika tidak ada pengaturan tentang konsekuensinya, maka timbul pertanyaan, bagaimanakah konsekuensi dan berakhirnya eksistensi suatu perjanjian internasional. Dalam hal ini kemungkinan para pihak akan mengatur secara tersendiri. Pengaturan ini merupakan kesepakatan antara para pihak tersebut merupakan kesepakatan tersendiri (di luar perjanjian) sebagai konsekuensi dan pengakhiran atas eksistensi perjanjian tersebut. Pengaturan semacam ini hanyalah mungkin, apabila pengakhiran atas eksistensi perjanjian internasional dilakukan atas dasar kesepakatan (secara damai) antara para pihak. Jika ada kesepakatan semacam ini, maka para pihak tentu saja harus menerapkan kesepakatan ini saja, dan jika semua berlangsung dengan baik dan lancar, maka berakhirlah semua masalahnya.

H. Kesimpulan
Beberapa alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional. Misalnya, untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya sudah ditentukan secara pasti di dalam salah satu pasalnya, misalnya berlaku untuk waktu lima tahun, sepuluh tahun, dan lain sebagainya, maka perjanjian itu akan berakhir setelah terpenuhinya jangka waktu tersebut. Meskipun demikian, setelah jangka waktu itu terpenuhi, para pihak dapat bersepakat untuk memperpanjang masa berlakunya untuk suatu jangka waktu tertentu.
Konvensi Wina 1969 Pasal 42 ayat 2 menegaskan, bahwa tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional pertama-tama harus dilihat pada bagaimana peraturannya di dalam perjanjian internasional itu sendiri, kalau memang perjanjian itu secara tegas mengaturnya. Sedangkan jika tidak ada pengaturannya, pengakhiran itu dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Konvensi.
Suatu perjanjian internasional yang hendak diakhiri eksistensinya berdasarkan kehendak dari salah satu atau beberapa pihak, menurut pasal 65 ayat 1, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu kepada negara-negara peserta yang lainnya. Pengajuan usulnya itu haruslah dilakukan secara tertulis (pasal 67 ayat 1) disertai dengan alasan-alasannya dan langkah-langkah yang seyogianya ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut.
Tentang konsekuensi hukum dan pengakhiran suatu perjanjian internasional diatur di dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi. Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya; jika pengaturan itu tidak ada, kemungkinan kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan tersendiri, dan kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada, maka para pihak dapat mengikuti ketentuan seperti ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini.

RESUME
HUKUM PERJANJIAN
INTERNASIONAL
OLEH :
M. ALFIANSYAH ZUGITO
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

PTUN

AAUPL
Asas-asas umum pemerintahan adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan aturan hukum. Asas-asas ini tertuang pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Asas hukum adalah jantungnya aturan hukum, ia menjadi titik tolak untuk berpikir, membentuk dan mengintepretasikan hukum. Peraturan hukum merupakan pedoman tentang perilaku yang seharusnya, berisi apa yang boleh, apa yang diperintahkan, dan apa yang dilarang.
Beberapa istilah untuk menyebut asas pemerintahan yang baik ini bermacam-macam, misalnya di Belanda dikenal dengan Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuungr (ABBB), di Inggris dikenal The Principal of Natural Justice , di Perancis diistilahkan Les Principaux Generaux du Darioit Coutumier Publique, di Belgia disebut Aglemene Rechtsbeginselen, di Jerman dinamakan Verfassung Sprinzipien dan di Indonesia dikatakan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak”.
Asas-asas umum pemerintahan yang layak berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi penggugat. Sebagian besar asas-asas umum pemerintahan yang layak, masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan masyarakat. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah Hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan Hukum positif.
Arti penting dan fungsi asas-asas umum pemerintahan yang layak bagi administrasi negara adalah sebagai pedoman dalam penafsirkan dan penerapan terhadap ketentuan perundang-undangan yang sumir, samar atau tidak jelas, juga untuk membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara mempergunakan freies ermessen yang jauh menyimpang dari ketentuan Undang-Undang. Administrasi negara dapat terhindar dari perbuatan onrechtmatige daad, detournement de pouvoir, abus de darioit, dan ultravires. Bagi masyarakat, sebagai pencari keadilan, asas-asas umum pemerintahan yang layak dapat digunakan sebagai dasar gugatan. Bagi hakim Tata Usaha Negara, dapat digunakan segabai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan pejabat Tata Usaha Negara dan asas-asas umum pemerintahan yang layak juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang Undang-Undang.
Dua jenis penyimpangan penggunaan wewenang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yakni penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvoir), yaitu badan/pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Sewenang-wenang (willekuer), yaitu badan/pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
Pembagian asas-asas umum pemerintahan yang layak terkait dengan beschikking, adalah asas-asas yang bersifat formal/prosedural yaitu yang berkaitan dengan prosedur yang harus dipenuhi dalam pembuatan ketetapan. Seperti asas kecermatan, asas permainan yang layak. Asas-asas yang bersifat material/substansial yaitu isi dari keputusan pemerintah. Seperti asas kepastian Hukum, asas persamaan, asas larangan sewenang-wenang, larangan penyalahgunaan wewenang. Untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka syarat pertama adalah mewujudkan Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Untuk itu perlu diletakkan asas-asas umum penyelenggaraan negara agar dapat tercipta Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance). Kemudian, peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mengawasi mereka, baik Eksekutif, yudikatif atau pun legislatif supaya tetap berpegang teguh pada Asas-asas Umum Pemerintahan ini.
Pelaksanaan sistem pemerintahan di negara kita tentu didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang layak. Maka dari itu apabila terjadi akibat hukum yang merugikan dari adanya penetapan tertulis dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, lebih-lebih bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mendapat keputusan. Dalam hal ini badan atau pejabat tata usaha negara sebagai tergugat. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukum formal yang mengatur prosedur jalannya sistem peradilan tata usaha negara dari mulai pengajuan gugatan samapai pada keluarnya keputusan hakim.
Dalam terjadinya sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat ketidakseimbangan kedudukan antara pihak tergugat dengan pihak penggugat. Karean itu sangat dibutuhkan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak sebagai pedoman bagi hakim dalam memutus sengketa tersebut.
Asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL), dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Asas-asas umum pemerintahan yang layak ini merupakan konsep terbuka (open begrif). Karena itu akan berkembang dan disesuaikan dengan ruang dan waktu dimana konsep ini berada.
Asas-asas pemerintahan yang layak dapat dibedakan dalam asas-asas yang tertulis, yaitu :
1. Larangan menyalahgunakan kekuasaan (pasal 53 ayat 2 b UU Nomor 5 tahun 1986 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Asas ini melarang untuk menggunakan suatu wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang itu. Setiap wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan selalu diberikan dengan maksud/tujuan-tujuan tertentu. Larangan ini diartikan sebagai kewajiban penyelenggaraan pemerintahan agar menggunakan wewenang pemerintahannya itu sesuai dengan maksud pembuat undang-undang serta agar berbuat dengan niat dan motif-motif yang bersih dan murni.
2. Larangan berbuat sewenang-wenang (pasal 53 ayat 2 c UU Nomor 5 tahun 1986 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Larangan ini terutama berperan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan yang bersangkutan memiliki kebebasan (Freiss Ermessen), ialah dalam arti bahwa wewenang itu tidak boleh jelas-jelas dipergunakan dengan tidak menurut nalar. Penguasa harus selalu menimbang-nimbang semua kepentingan-kepentingan yang tersangkut. Asas ini menghendaki agar kepentingan-kepentingan yang tersangkut itu ditimbang-timbang secara obyektif dengan memperhatikan ukuran-ukuran dalam hubungannya satu dengan yang lain, sehingga tidak terjadi bahwa ada kepentingan-kepentingan yang tidak ditimbang/diperhatikan, bahwa sebaliknya ada kepentingan yang terlalu diberi bobot yang berlebihan.
Asas-asas yang tidak tertulis ialah :
Asas-asas formal mengenai pembentukan keputusan :
1. Asas kecermatan formal
Asas ini menghendaki bahwa semua fakta-fakta dan masalah–masalah yang relevan diinventarisasi dan diperiksa, untuk dipertimbangkan dalam mengambil keputusannya. Asas ini dapat dilanggar dengan berbagai cara ialah :
- Pihak-pihak yang berkepentingan tidak didengar dengan cara yang tidak benar.
- Fakta-fakta tidak diperiksa dengan cermat.
- Advis-advis dipergunakan dengan tidak cermat.
2. Asas fair play
Warga masyarakat harus diberi segala kesempatan untuk mempertahankan kepentingannya. Juga harus dihindari kesan seolah-olah penguasa yang bersangkutan berpihak. Asas ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara. Asas ini penting dalam peradilan administrasi negara karena terdapat perbedaan kedudukan antara pihak penggugat dengan tergugat. Pejabat selaku pihak tergugat secara politis memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan penggugat.


Asas-asas formal mengenai formalitas keputusan :
1. Asas kepastian hukum formal
Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang mengunytungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas kepastian hukum memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki daripadanya. Asas ini berkaitan dengan prinsip dalam hukum administrasi Negara, yaitu asas het vermoeden van rechtmatig heid atau presumtio justea causa, yang berarti setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan hukum oleh hakim administrasi.
2. Asas motivasi
Asas motivasi untuk keputusan, asas ini menghendaki setiap ketetapan harus mempunyai motivasi/alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan ketetapan. Alasan harus jelas, terang, benar, obyektif, dan adil. Alasan sedapat mungkin tercantum dalam ketetapan sehingga yang tidak puas dapat mengajukan banding dengan menggunakan alasan tersebut. Alasan digunakan hakim administrasi untuk menilai ketetapan yang disengketakan.

Asas-asas material mengenai keputusan :
1. Asas kepastian hukum material
Hukum material terkait erat dengan asas kepercayaan. Asas ini ini menghendaki dihotmatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarakan suatu keputusan pemerintah, meskipun itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan. Asas kepastian hukum materiil terutama berarti bahwa hukum yang berlaku harus dilaksanakan, serta bahwa keputusan-keputusan tidak diubah dengan berlaku surut untuk kerugian warga masyarakat yang bersangkutan.
2. Asas kepercayaan
Asas kepercayaan yaitu legal expectation, harapan-harapan yang ditimbulkan (janji-janji, keterangan-keterangan, aturan-aturan kebijaksanaan dan rencana-rencana) sedapat mungkin harus dipenuhi.
3. Asas persamaan
Asas ini menghendaki agar kasus yang sama seharusnya memperoleh perlakuan yang serupa. Asas ini megandung juga larangan diskriminasi, ialah membeda-bedakan suatu /beberapa golongan penduduk berdasarkan hal-hal yang khusus dimiliki masing-masing golongan itu.
4. Asas kecermatan material
Asas ini menghendaki agar perbuatan-perbuatan penyelenggara pemerintahan sesedikit mungkin menyebabkan kerugian. Kadang-kadang tidak dapat dihindari bahwa ada kepentingan-kepentingan yang dirugikan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu demi kepentingan umum. Dalam hal itu kerugian harus sebanyak mungkin dibatasi, dalam hal-hal tertentu dengan memberi sejumlah ganti rugi.
5. Asas keseimbangan
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan pegawai dan adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum. Artinya terhadap pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan orang yang berbeda akan dikenakan sanksi yang sama, sesuai dengan criteria yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Asas larangan willekeur
Asas pemberian alasan yakni ketetapan harus memberikan alasan, harus ada dasar fakta yang teguh dan alasannya harus mendukung. Penyalahgunaan wewenang yaitu tidak boleh menggunakan wewenang untuk tujuan yang lain. Willekeur atau wewenang, kurang memperhatikan kepentingan umum, dan secara kongkret merugikan
PUTUSAN
A. Pengertian Putusan
Pada dasarnya penggugat mengajukan suatu gugatan ke pangadilan adalah bertujuan agar pengadilan melalui hakim dapat menyelesaikan perkaranya dengan mengambil suatu putusan. Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting bukanlah hukumnya, karena hakim dianggap tahu hukumnya (ius curia novit), tetapi mengetahui secara objektif fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang sebenarnya sebagai dasar putusannya., bukan secara aprori lansung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yag sebenarnya.
Fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara akan dapat diketahui hakim dari alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Setelah dianggap cukkup hakim harus menentukan peraturan hokum yang dapat diterapkan. Menyakut tentang peraturan hukum yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan sengketa itu oleh hakim. Pada dasarnya menunjukan bahwa sebelum menjatuhkan suatu putusan hakim hakim melakukan penelitian dalam rangka menemukan hukum.
Dari uraian diatas kiranya cukup tepat apabila disebutkan bahwa putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak menpunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan dipersidangan oleh hakim. Putusan yang diucapkan dipersidangan tidak boleh berbeda dengan yang tetulis (vonnis). Selanjutnya juga dijelaskan bahwa didalam literatur Belanda dikenal istilah vonnis atau gewijsde. Yang dimkasud dengan vonnis adalah putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga hanya tersedia upaya hukum yang khusus. Dalam kaitannya dengan hukum acara PTUN, putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah :
a. Putusan pengadilan tingkat pertama ( Pengadilan Tata Usaha Negara) yang sudah tidak dapat dimintakan upaya banding.
b. Putusan pengadilan tinggi ( Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) yang tidak dimintakan kasasi.
c. Putusan mahkamah agung dalam tingkat kasasi
Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada dasarnya adalah putusan pengadilan yang tidak memiliki upaya hukum ( banding dan kasasi), namun sebagaimana yang disebutkan diatas banding dan kasasi adalah upaya hukum biasa, disamping itu terdapat upaya hukum istimewa atau upaya hukum luar biasa. Dengan demikian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap juga masih bias dilawan dengan upaya hukum istimewa itu. Dalam praktik, hukum acara perdata maupun hukum acara pidana hal ini bukan merupakan hal yang baru lagi. Bahkan, ada perkembangan bahwa upaya hukum istimewa itu tidak lagi dapat dimiliki penggugatdalam rangka memperjuangkan hak-haknya, tetapi dapat juga dipergunakan pihak tergugat. Penggunaan upaya hukum istimewa ini hendaknya dikembalikan kepada latar belakang filosofis yang mendasarinya, yakni dalam rangka memberikan perlindungan hukum secara maksimal kepada rakyat bukan kepada penguasa.
B. ISI PUTUSAN
Dari pasal 97 ayat (7) tersebut, maka dapat diketahui bahwa isi putusan pengadilan TUN dapat berupa gugatan ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima, atau gugatan gugur.
1. Gugatan ditolak
Apabila isi putusan pengadilan TUN adalah berupa penolakan terhadap gugutan penggugat berarti memperkuat KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang bersangkutan. Pada umumnya suatu gugatan ditolak oleh majelis hakim, karena alat-alat bukti yang diajukan pihak penggugat tidak mendukung gugatannya, alat-alat bukti yang diajukan pihak tergugat lebih kuat.
2. Gugatan dikabulkan
Suatu gugatan dikabulkan, ada kalanya pengabulan seluruhnya atau menolak sebagian lainnya. Isi putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak penggugat itu, berarti tidak membenarkan KTUN yang dikeluarkan oleh pihak tergugat atau tidak membenarkan sikap tidak berbuat apa-apa yang dilakukan oleh tergugat, padahal itu sudah merupakan kewajibannya (dalam hal pangkal sengketa berangkat dari pasal 3) .
Dalam hal gugtan dikabulkan, maka putusan tersebut ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat, yang dapat berupa :
a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan atau;
b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru.
c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3
Disamping kewajiban yang disebutkan diatas, dalam putusan pengadilan dapat pula menetapkan kewajiban bagi pihak tergugat untuk membayar ganti kerugian (untuk sengketa yang bukan sengketa kepegawaian), kompensasi dan rehabilitasi untuk sengketa kepegawaian.
3. Gugatan tidak diterima
Putusan pengadlan yang berisi tidak menerima gugatan pihak penggugat berarti gugatan itu tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam prosedur dismissal dan atau pemeriksaan persiapan. Dalam prosedur atau tahap tersebut, ketua pengadilan dapat menyatakan gugatan tidak dapat diterima, karena alas an gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
4. Gugatan gugur
Putusan pengadilan yang dinyatakan gugatan gugur dalam hal para pihak atau kuasanya tidakhadir dalam persidangan yang telah ditentukan dan mereka dipanggil secara patut, atau perbaikan gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat telah melampaui tenggang waktu yang ditentukan (daluwarsa).
UU PTUN tidak mengatur perihal tentang mana kalah penggugat meninggal dunia dalam hukum acara perdata setelah kematian diberitahukan, pemeriksaan perkara terhenti, segala tindakan-tindakan prosesuil tidak sah, gugatan kemudian dapat dilanjutkan oleh ahli waris. Dalam perkara adminnistrasi tidak dengan sendirinya gugatan dinyatakan gugur, akan tetapi pihak ahli waris penggugat akan dipanggil untuk ditanya, apakah gugatan akan diteruskan atau dicabut. Demikian pula perubahan status salah satu pihak, misalnya apabila salah satu pihak kehilangan kemampuan untuk bertindak, dan juga apabila kualitas seseorang dalam beracara berhenti, meniggalkan wakil salah satu pihak yang berperkara, menyebabkan pula terhentinya jalan pemeriksaan.
C. BENTUK DAN ISI PUTUSAN
Susunan isi putusan
Dalam pasal 109 UU PTUN disebutkan susunan isi putusan sebagai berikut:
1) Putusan pengadilan harus memuat :
a. Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
b. Nama jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
c. Rinkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa
e. Alas an hukum yang mejadi dasar putusan
f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara
g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yg memutus, nama penitera, serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak.
2) Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.
3) Selambat-lambatnya 30 hari sesudah putusan pengadilan diucapkan, putusan itu harus ditandatangi oleh hakim yang memutuskan dan panitera yang turut bersidang.
4) Apabila hakim ketua majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat hakim ketua siding berhalangan menandatangani, maka putusan pengadilan ditandatangi oleh ketua pengadilan dengan menyatakan berhalangan hakim ketua majelis hakim atau hakim ketua siding tersebut.
5) Apabila hakim anggota majelis berhalangan menandatangi, maka putusan pengadilan ditandatangi oleh hakim ketua majelis dengan menyatakan berhalangannya hakim anggota majelis tersebut.
Suatu putusan harus memuat dan memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Kepala putusan
Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala putusan pada bagian atas putusan yang berbunya “Demi Keadilan Berdasrkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan, apabila kepala putusan ini tidak dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan, maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut
Dengan demikian huruf a pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagai kepala putusan.
2. Identitas para pihak
Suatu perkara atau gugatan sekurang kurangnya mempunyai dua pihak (penggugat dan tergugat), maka didalam putusan harus di muat identitas para pihak tersebut.
Dengan demikian huruf b pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagai identitas para pihak
3. Ringkasan
4. Pertimbangan (konsideran)
Dalam hukum acara perdata suatu putusan pengadilan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang lazimnya dibagi dua bagian; pertimbanga tentang duduknya perkara atau pristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan-pertimbangan itu tidak lain dimaksudkan sebagai alasan-alasan hakim, sebagai pertanggungjwaban kepada masyarakat mengapa ia mengambil putusan yang demikian itu, sehingga putusan dapat bernilai objektif.
Dengan demikian huruf c,d,dan e pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagi bahan pertimbangan.
5. Alasan hukum
6. Amar putusan (dictum)
Merupakan jawaban atas petitum dari gugatan, sehingga amar atau dictum juga merupakan tanggapan atas petitum itu sendiri. Hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan yang diajukan pihak penggugat dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan yang lebih dari yang dituntut.
Dengan demikian huruf f pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagi amar.
7. Biaya perkara
Seluruh biaya perkara biasanya dibebankan kepad pihak yang dikalahkan (kecuali yang dikalah adalah penggugat dan penggugat telah mengajukan permohonan berperkara dengan Cuma-Cuma serta mendapat persetujuan).
Dalam pasal 111 disebutkan bahwa biaya perkara mencakup:
a. Biaya kepaniteraan dan biaya matrai
b. Biaya saksi ahli, dan ahli bahasa
c. Biaya pemeriksaan di tempat lai dari ruangan sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim ketua sidang.
8. Waktu, nama hakim, panitera, dan keterangan lain

HUKUM ACARA
Hukum acara PTUN dibedakan atas :
a. Hukum acara materil yang meliputi :
• Kompetensi absolut dan relatif
o Absolute
Kompetensi absolute dari peradilan tata usaha negara adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata ysaha negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata uusaha negara, termasuk sengketa kepegawaian (pasal 1 angka 4 UU PTUN) dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu perundang-undangan sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan (pasal 3 UU PTUN).
o Relative
Kompetensi relative adalah kewenangan dari pengadilan sejenis yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan peradilan tata usaha negara, maka kompetensi relativenya adalah menyangkut kewenangan pengadilan tata usaha Negara yang mana berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tersebut.
• Hak gugat
• Tenggang waktu menggugat
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan dalam pasal 55 UU PTUN disebutkan :
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu Sembilan puluh hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara.
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan Sembilan puluh hari tersebut dihitung secara bervariasi :
a. Sejak hari diterimanya KTUN yang digugat itu memuat nama penggugat
b. Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi Negara untuk memberikan keputusan, namun ia tidak berbuat apa-apa.
c. Setelah lewat empat bulan, apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kesempatan kepada administrasi Negara untuk memberikan keputusan dan ternyata ia tidak berbuat apa-apa.
d. Sejak hari penmgumuman apabila KTUN itu harus diumumkan.
Dengan demikian, tengggang waktu mengajukan gugatan untuk semua macam keputusan adalah sembilan puluh hari, yang berbeda adalah saat mulai dihitungnya waktu Sembilan puluh hari tersebut.
• Alasan menggugat
Alasan mengajukan gugatan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN dan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN – 2004, disamping memiliki persamaan juga memiliki beberapa perbedaan. Dari perbedaan tersebut setidak-tidaknya akan diketahui kelebihan dan kelemahan masing-masing. Untuk memahami hal tersebut dibawah ini akan dikemukakan alasan mengajukan gugatan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN. Dan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN – 2004.
Dalam pasal 53 ayat (2) UU PTUN menyebutkan ada tiga alasan menggugat suatu KTUN kepengadilan tata usaha Negara yaitu :
a. Keputusan tata usaha Negara yang diguguat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
b. Badan atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 telah menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
c. Badan atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut.
• Alat bukti
Dalam pasal 100 sampai dengan pasal 106 UU PTUN disebutkan sebagai alat bukti yang diajukan dalam hukum acara PTUN :
a. Surat atau tulisan
b. Keterangan ahli
c. Keterangan saksi
d. Pengakuan para pihak
e. Pengetahuan hakim
Untuk kelancaran proses pemeriksaan perkara, sebelum mengajukan gugatan sebaiknya penggugat telah mempersiapkan alat-alat bukti yang dapat menguatkan gugatannya, sehingga dapat memenangkan perkara dari alat-alat bukti yang disebutkan diatas, maka dapat diketahui bahwa alat-alat bukti yang perlu dipersiapkan penggugat adalah surat atau tulisan dan saksi. Pada umumnya pihak tergugat juga akan mengajukan alat-alat bukti yang dapat menggagalkan gugatan pihak tergugat.
b. Hukum acara formil (hukum acara dalam arti sempit) berupa langkah-langkahatau tahapan yang terbagi atas :
• Acara biasa
Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa dari gugatan penggugat, terlebih dahulu melalu proseur rapat permusyawaratan dan pemeriksaan persiapan, setelah melalui kedua prosedur itu tidak ada alasan bagi hakim untuk menyatakan dalam suatu penetapan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar, maka selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa dengan acra biasa.
Pemeriksaan sengketa dengan acara biasa, diatur dalam pasal 68 sampai dengan pasal 97 UU PTUN.
Dari pasal-pasal tersebut yang dikemukakan disini berkaitan dengan pemeriksaan sengketa dengan acara biasa adalah bahwa pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan dengan majelis hakim (tiga orang hakim). Hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir dipersidangan pada hari pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alsan yang dapat dipertanggung jawabkan, meskipun setiap kali dipanggil dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan pengugat harus membayar biaya perkara.

Berbeda halnya, apabila tergugat atau kuasanya, tidak hadir di persidangan dua kali siding berturut-turut dan atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka hakim ketua siding dengan surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir dan atau menanggapi gugatan tersebut. Apabila dalam jangka waktu dua ulan setelah surat tersebut dikirimkan lewat surat tercatat tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka hakim ketua sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat. Putusan terhadap pokok gugatandapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya telah dilakukan secra tuntas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam hukum acara PTUN tidak dikenal adanya putusan verstek, meskipun akhirnya ada kesan seperti itu, tetapi harus diingat putusan verstek tidak memerlukan pemeriksaan pokok sengketa dan segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.
• Acara cepat
Pemerikasaan dengan acara cepat diatur dalam pasal 98 dan 99 UU PTUN, yang menyebutkan :
1) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
2) Ketua pengadilan dalamjangka waktu 14 hari setelah diterimanya pemohonan sebaimana dimaksud dalam ayat 1 mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat digunakan upaya hukum.
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa kepentingan penggugat cukup mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat.
Alasan mengajukan permohonan pemeriksaan dengan acara cepat ini mempunyai kemiripan dengan alasan mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN, yakni; sama-sama terdapat kepentingan penggugat yang mendesak.


Selanjutnya dalam pasal 99 UU PTUN disebutkan sebagai berikut :
1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal.
2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (1) dikabulkan, ketua pengadilan dalam jangka waktu 7 hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63.
3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari.
Dengan dimuatnya pemeriksaan dengan acara cepat ini akan dapat membantu para pencari keadilan untuk dapat mengetahui secepat mungkin tentang kepastian hukum dari hak-hak yang diperjuangkan.
• Acara singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat di PTUN dapat dilakukan apabila terjai perlawanan (verzet) atas penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan.
Pemeriksaan acara singkat diatur dalam pasal 62 UU PTUN. Ketua pengadilan sebelum memutuskan dalam suatu penetapan bahwa gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, terlebih dahulu harus melakukan penelitian administratif (prosedur dismissal), apakah gugatan penggugat termasuk dari salah satu yang disebutkan dalam pasal 62 ayat 1. Alasan atau pertimbangan ketua pengadilan menyatakan gugatan penggugat tidak diterima atau tidak berdasar harus mengacu pada salah satu huruf yang disebutkan dalam pasal 62 ayat 1.
Dalam angka II SEMA No.2 Tahun 1991 disebutkan prosedur dismissal. Putusan mengenai gugatan perlawanan yang dilakukan melalu pemeriksaan dengan acara singkat itu dapat diterima dan dapat tolak. Apabila gugatan diterima, maka penetapan ketua pengadilan yang dilawan itu menjadi gugur demi hukum (ex lege), selanjutnya perkara tesebut oleh majelis akan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan persiapan dengan acara biasa. Sebaliknya, apabila gugatan perlawanan itu ditolak, maka penetapan ketua pengadilan tersebut tetap sah untuk dipakai.

Minggu, 04 Juli 2010

Proses Beracara Di Mahkamah Internasional

PROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL (ICJ); STUDI KASUS HAK INTERVENSI

Oleh. Sunan J. Rustam
Center for Law Information
2003

Bab I
PENDAHULUAN

1 Latar Belakang

Sejak dibentuk pada tahun 1945, Mahkamah Internasional (MI) atau International Court of Justice (ICJ), telah menangani kurang lebih 100 kasus internasional, baik yang bersifat sengketa antara dua pihak (contentious) maupun advisory . Sebagai penerus dari PCIJ atau Permanent Court International of Justice yang didirikan pada tahun 1921, MI telah dianggap sebagai salah satu cara utama atau primary means untuk penyelesaian konflik antar negara di dunia,

“The International Court of Justice is often thought of as the primary means for the resolution of disputes between states”


Sebagai salah satu institusi hukum internasional, MI hanya menerima negara sebagai pihak yang dapat beracara di dalamnya . Special Agreement atau perjanjian khusus tentang penundukan (consent to be bound) kepada jurisdiksi MI, harus terlebih dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara . Penundukan ini didasarkan pada prinsip kedaulatan Negara atau state sovereignty. Hakim Oda dalam keputusannya berkenaan tentang jurisdiksi MI berpendapat,

“When considering the jurisdiction of the International Court of Justice in contentious cases, I take as my point of departure the conviction that the Court’s jurisdiction must rest upon the free will of sovereign state, clearly and categorically expressed, to grant the Court the competence to settle the dispute in question”


Proses beracara di MI hanya dapat dilakukan dengan adanya consent dari para pihak yang akan beracara. Consent ini didasarkan atas asas konsensualisme atau free will dari Negara yang terkait.
Dari syarat ini dapatlah dilihat bahwa MI menjunjung tinggi kedaulatan sebuah Negara untuk tunduk atas dasar free will. Lebih jauh lagi, pengakuan MI akan kedaulatan Negara ini juga dapat dilihat dari kekuatan mengikat dari keputusan MI. Keputusan yang dikeluarkan oleh MI hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan terbatas pada kasus yang diajukan.
Sekilas mekanisme MI sangatlah ideal melihat dari sisi free will ketundukan negara sebagai pihak yang beracara dan kekuatan mengikatnya kepada para pihak yang bersengketa (disputant states). Akan tetapi persoalan akan timbul jika hasil keputusan MI berdampak kepada negara lain sebagai pihak ketiga yang tidak bersengketa (non-disputant states). Setidaknya ada dua persoalan penting yang timbul berkaitan dengan kondisi diatas. Pertama, kekuatan mengikat keputusan MI terhadap pihak ketiga yang tidak ikut beracara. Kedua, posisi pihak ketiga yang akan terkena dampak keputusan tersebut.
Melihat dari sisi ini, nampaknya asas konsensualisme atau free will tidaklah berlaku mutlak dalam proses beracara di MI. Keadaan free will hanya dapat dilakukan pada saat pertama pengajuan special agreement antara para pihak yang akan beracara.
Seperti layaknya pengadilan nasional atau domestic court, MI juga mempunyai mekanisme keterlibatan untuk pihak ketiga yang tidak menjadi pihak yang beracara. Salah satu mekanisme keterlibatan itu adalah dengan melakukan mekanisme intervensi.
Berbeda dengan special agreement yang menggunakan asas konsensualisme atas dasar free will ketika pertama kali mengajukan proses beracara, mekanisme intervensi lebih terkesan memiliki unsur pemaksaan.
Unsur pemaksaan ini didasari dari keputusan MI yang mempunyai dampak terhadap Negara ketiga yang bukan menjadi pihak yang beracara di MI. Walupun diatas kertas, Negara ketiga ini mempunyai pilihan untuk terlibat ataupun tidak terlibat dalam sebuah kasus yang diajukan di MI, akan tetapi secara realita adalah mustahil atau impossible jika Negara ketiga ini tidak ikut terlibat dalam proses beracara tersebut. Keputusan untuk tidak ikut terlibat dalam proses beracara di MI hanya akan membawa kerugian bagi Negara ketiga yang bersangkutan.
Keadaan free will yang pada awalnya menjadi dasar ketundukan berubah menjadi indirect forced will atau pemaksaan secara tidak langsung kepada non-disputant states yang terkena dampak hasil putusan tersebut.
Pemaksaan secara tidak langsung ini dapat dilihat pada kasus Continental Shelf 1981, Continental Shelf 1982, Land, Island & Maritime Frontier 1990, Land & Maritime Boundary 1999 dan Sovereignty over Sipadan & Ligitan 2001.
Mulai dari jaman PCIJ sampai jaman MI, tercatat hanya enam kasus yang diintervensi oleh Negara ketiga. Dari kelima kasus intervensi yang pernah diajukan ke MI diatas, hanya dua kasus intervensi yang dikabulkan atau granted oleh MI. Kasus intervensi pertama yang dikabulkan MI adalah kasus Land, Island & Maritime Frontier 1990 dimana Negara ketiganya adalah Negara Nikaragua. Sedangkan kasus intervensi kedua yang dikabulkan adalah kasus Land & Maritime Boundary 1999, dimana Negara Equatorial Guinea menjadi Negara yang melakukan intervensi.
Berkenaan dengan hal ini, MI secara khusus telah mengatur mekanisme bagi negara ketiga untuk melakukan hak intervensi (right of intervention) atas sengketa yang sedang diajukan . MI membagi dua jenis intervensi, yaitu intervensi atas dasar pasal 62 statuta MI dan intervensi atas dasar pasal 63 Statuta MI.

Bab II
PROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL


1 Dasar Hukum Beracara

Secara keseluruhan, ada 5 (lima) aturan yang berkenaan dengan MI sebagai sebuah organisasi internasional. Adapun kelima aturan tersebut adalah: Piagam PBB (1945), Statuta MI (1945), Aturan Mahkamah atau Rules of the Court (1970) yang telah diamandemen pada tanggal 5 Desember 2000, Panduan Praktek atau Practice Directions I – IX dan Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah atau Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court yang diadopsi pada tanggal 12 April 1976 dari Pasal 19 Aturan Mahkamah (1970).
Di dalam Piagam PBB 1945, dasar hukum yang berkenaan tentang MI terdapat dalam BAB XIV tentang MI sebanyak 5 pasal yaitu pasal 92-96. Sedangkan di dalam Statuta MI sendiri, ketentuan yang berkenaan dengan proses beracara terletak pada BAB III yang mengatur tentang Procedure dan BAB IV yang memuat tentang Advisory Opinion. Ada 26 pasal (pasal 39 - 46) yang tercantum di dalam BAB III, sementara di dalam BAB IV hanya terdapat 4 pasal (pasal 65-68)
Dasar hukum yang ketiga yaitu Aturan Mahkamah (Rules of the Court), (1970) yang terdiri dari 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa amandemen dimana amandemen terakhir adalah pada tahun 2000. Aturan ini berlaku atau entry into force sejak tanggal 1 Februari 2001 dan bersifat tidak berlaku surut atau non-rectroactive,


“…..The amended Rules shall come into force on 1 February 2001, and shall as from that date replace the Rules adopted by the Court on 14 April 1978, save in respect of any case submitted to the Court before 1 February 2001, or any phase of such a case, which shall continue to be governed by the Rules in force before that date”.



Dasar hukum yang berikutnya adalah Panduan Praktek (Practice Directions) I-IX. Ada 9 panduan praktek yang dijadikan dasar untuk melakukan proses beracara di MI. Panduan praktek ini secara umum berkisar tentang surat pembelaan (written pleadings) yang harus dibuat dalam beracara di MI. Dasar hukum terakhir dari proses beracara di MI adalah Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah (Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court), (1976). Resolusi ini terdiri dari 10 ketentuan tentang beracara di MI yang telah diadopsi pada tanggal 12 Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi yang sama tentang Internal Judicial Practice yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1968.

2 Para Pihak yang Beracara

Untuk kasus yang bersifat contentious, Statuta MI membatasi hanya Negara yang dapat beracara di MI. Ada tiga kategori Negara atau state yang dapat beracara di MI yaitu, kategori pertama adalah Negara Anggota PBB. Mengacu kepada pasal 35(1) dari Statuta MI dan pasal 93 (1) dari Piagam PBB, Negara anggota PBB adalah ipso facto terhadap statuta MI dan otomatis mempunyai akses ke MI. Kurang lebih ada 189 negara telah yang menjadi anggota PBB.
Kategori Negara yang kedua adalah Negara Bukan Anggota PBB akan tetapi party kepada Statuta MI. Selain itu Negara yang bukan anggota PBB dan bukan anggota Statuta MI dapat juga beracara di MI dengan persyaratan tertentu yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB. Adapun persyaratan yang dimaksud adalah menerima ketentuan dari Statuta MI, Piagam PBB (pasal 94) dan segala ketentuan berkenaan dengan pengeluaran dari MI atas dasar pertimbangan Majelis Umum PBB.
Kategori yang terakhir adalah Negara yang bukan anggota kepada Statuta MI. Untuk Negara-negara yang masuk dalam kategori ini harus membuat deklarasi untuk tunduk kepada segala ketentuan MI dan Piagam PBB (pasal 94),
“The International Court of Justice shall be open to a State which is not a party to the Statute of the International Court of Justice, upon the following condition, namely, that such State shall previously have deposited with the Registrar of the Court a declaration by which it accepts the jurisdiction of the Court, in accordance with the Charter of the United Nations and with the terms and subject to the conditions of the Statute and Rules of the Court, and undertakes to comply in good faith with the decision or decisions of the Court and to accept all the obligations of a Member of the United Nations under Article 94 of the Charter”

Salah satu landmark case atau kasus utama berkaitan dengan status Negara untuk beracara di MI adalah kasus tentang Pelaksanaan dari Konvensi Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Pembunuhan. Kasus ini mengetengahkan sengketa tentang penafsiran pasal 35 Statuta MI, siapa yang berhak menjadi pihak yang dapat beracara di MI, dalam hal ini, sengketa antara Bosnia-Herzegovina atau Yugoslavia. Pada keputusannya, MI menerima locus standi dari kedua pihak dengan dasar bahwa keduanya adalah anggota dari konvensi tersebut diatas.

3 Jurisdiksi MI
Secara umum, jurisdiksi dapat diartikan sebagai kemampuan atas dasar hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Hal ini juga berlaku bagi MI dimana jurisdiksi dijadikan dasar untuk menyelesaikan sengketa atas dasar hukum internasional. Untuk sebuah kasus dapat diterima atau admissible di MI, negara sebagai pihak yang beracara harus menerima jurisdiksi dari MI. Penerimaan jurisdiksi di dalam MI ini dapat dalam bentuk:

Perjanjian Khusus atau Special Agreement
Negara yang akan menjadi pihak bersengketa pada umumnya menyerahkan perjanjian khusus yang berisikan subjek sengketa dan pihak yang bersengketa. Ada 14 kasus yang memakai cara pembuatan perjanjian khusus antara para pihak untuk menerima jurisdiksi dari MI, yaitu kasus Asylum (Kolombia/Peru); Minquiers and Ecrehos (Perancis/Inggris); Sovereignty over Certain Frontier Land (Belgia/Belanda); North Sea Continental Shelf (Jerman/Denmark; Jerman/Belanda); Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya); Delimitation of the Maritime Boundary in the Gulf of Maine Area (Kanada/Amerika Serikat); Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta); Frontier Dispute (Burkina Faso/Mali); Land, Island and Maritime Frontier Dispute (El Salvador/Honduras); Territorial Dispute (Libya Arab Jamahiriya/Chad); Gabcíkovo-Nagymaros Project (Hongaria/Slovakia); Kasikili/Sedudu Island (Botswana/Namibia); Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia); Corfu Channel (Inggris v. Albania); Arbitral Award Made by the King of Spain on 23 December 1906 (Honduras v. Nikaragua)
Ketundukan dari Perjanjian Internasional
Dalam bentuk ini, jurisdiksi MI ditarik dari perjanjian internasional yang memang mengharuskan anggotanya untuk tunduk kepada jurisdiksi MI jika terjadi sengketa. Para pihak tinggal memakai dasar ketentuan dari perjanjian internasional tersebut yang mengharuskan untuk menerima jurisdiksi dari MI,
“The application shall specify as far as possible the legal grounds upon which the jurisdiction of the Court is said to be based; it shall also specify the precise nature of the claim, together with a succinct statement of the facts and grounds on which the claim is based”

Kurang lebih ada 300 perjanjian internasional yang menerima jurisdiksi MI jika ada sengketa. Pada umumnya jurisdiksi MI dari perjanjian internasional ini berkisar pada kasus tentang aplikasi atau interpretasi dari perjanjian internasional yang akan dimintakan kepada MI.
Deklarasi Ketundukan bagi negara Anggota Statuta MI

Pada bentuk ini, Negara yang menjadi anggota dari Statuta MI yang kemudian beracara di MI dapat dalam waktu yang tidak ditentukan untuk menyatakan ketundukannya ke MI , jadi tanpa membuat perjanjian khusus terlebih dahulu atau bersifat compulsory ipso facto. Kurang lebih ada 60 negara di dunia yang memakai cara ini untuk menerima jurisdiksi dari MI. salah satu contoh adalah :
“I have the honour, by direction of the Minister for Foreign Affairs, to declare on behalf of the Government of Japan, that in conformity with paragraph 2 of Article 36 of the Statute of the International Court of Justice, Japan recognizes as compulsory ipso facto and without special agreement, in relation to any other State accepting the same obligation and on condition of reciprocity, the jurisdiction of the International Court of Justice, over all disputes which arise on and after the date of the present declaration with regard to situations or facts subsequent to the same date and which are not settled by other means of peaceful settlement. This declaration does not apply to disputes which the parties thereto have agreed or shall agree to refer for final and binding decision to arbitration or judicial settlement. This declaration shall remain in force for a period of five years and thereafter until it may be terminated by a written notice”.

Keputusan MI tentang Jurisdiksi MI
Jika terjadi sengketa mengenai jurisdiksi MI maka sengketa tersebut akan diselesaikan oleh keputusan MI sendiri. Para pihak dapat mengajukan preliminary objections atau keberatan awal atas jurisdiksi MI. Ada 26 kasus dimana diajukan keberatan awal atas jurisdiksi MI.

Interpretasi Putusan
Jurisdiksi MI dilihat dari Statuta MI, Pasal 60, dimana MI harus memberikan interpretasi jika diminta oleh baik satu maupun kedua pihak yang beracara. Cara permintaan interpretasi putusan tersebut dapat dalam bentuk perjanjian khusus antara para pihak yang bersengketa, ataupun aplikasi sendiri dari salah satu pihak yang bersengketa. Contoh kasus interpretasi putusan dilakukan oleh negara Kolombia pada kasus Asylum antara Kolombia melawan Peru dan juga negara Nigeria dalam kasus Land and Maritime Boundary antara Nigeria melawan Kamerun

Revisi Putusan
Ketundukan pada jurisdiksi MI dengan cara ini adalah melalui aplikasi dengan syarat bahwa ada fakta baru (novum) yang belum diketahui MI dan para pihak ketika keputusan itu dibuat dan bukan karena ada unsur kesengajaan dari para pihak. Jangka waktu yang diberikan untuk revisi putusan adalah 10 tahun sejak keputusan dikeluarkan. Contoh untuk kasus revisi putusan adalah pada kasus Continental Shelf yang diajukan oleh negara Tunisia (Tunisia melawan Libya Arab Jamahiriya)

4 Urutan Beracara di MI
Secara umum mekanisme beracara di MI akan dijelaskan berurutan menurut bagiannya. Perlu digarisbawahi bahwa mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang sifatnya contentious.

Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement) atau Aplikasi (Application)

Bagian awal proses beracara dapat dilakukan dengan penyerahan perjanjian khusus (bilateral) antara kedua belah pihak untuk menerima jurisdiksi MI. Perjanjian khusus ini harus berisikan inti sengketa dan identitas para pihak. Karena tidak ada pembagian sebelumnya apakah negara A disebut sebagai Respondent atau Applicant, maka MI membedakan para pihak dengan cara memakai stroke oblique atau garis miring pembeda, contoh Indonesia/Malaysia.
Selain penyerahan perjanjian, juga ada bentuk lain proses awal beracara di MI, yaitu dengan penyerahan aplikasi (unilateral) oleh salah satu pihak. Pihak yang menyerahkan aplikasi berisikan identitas, Negara yang menjadi pihak lawan dan subjek dari konflik , disebut sebagai Applicant. Sementara negara yang lain disebut Respondent. Untuk bentuk ini, MI menggunakan singkatan v. atau versus dalam bahasa latinnya guna membedakan para pihak yang bersengketa, contoh Indonesia v. Malaysia
Perjanjian khusus atau aplikasi tersebut biasanya ditandatangani oleh wakil atau agent yang dilampirkan juga surat dari Menteri Luar Negeri atau Duta Besar di Hague dari negara yang bersangkutan.
Setelah diterima oleh Registrar (selanjutnya register) MI dan dilengkapi kekurangan-kekurangan jika ada sesuai dengan statuta MI dan Aturan Mahkamah, maka register MI akan mengirimkan perjanjian atau aplikasi tersebut ke kedua belah pihak dan negara anggota dari MI. Kemudian hal tersebut akan dimasukan ke dalam Daftar Umum Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan diteruskan dengan press release. Versi dua bahasa (Perancis dan Inggris) dari perjanjian atau aplikasi tersebut setelah didaftar, dialih-bahasakan dan dicetak, akan dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB, negara yang mengakui jurisdiksi MI dan setiap orang yang memintanya. Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh register adalah tanggal permulaan dimulainya proses beracara di MI.
Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di MI, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings). Pada dasarnya, MI memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis maupun presentasi pembelaan.

Pembelaan Tertulis (Written Pleadings)
Pada tahap ini urutan pembelaannya jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam hal perjanjian khusus maupun aplikasi, adalah Memorial dan Tanggapan Memorial (Counter Memorial). Jika ternyata para pihak meminta kesempatan pertimbangan dan MI menyetujuinya, maka dapat diberikan kesempatan untuk memberikan Jawaban (Reply).
Batasan waktu yang diberikan untuk menyusun memorial maupun tanggapan memorial ditentukan secara sama oleh MI, jika kedua belah pihak tidak mengaturnya. Ketentuan yang serupa juga berlaku dalam hal pemilihan bahasa resmi yang nantinya akan dipakai.
Sebuah memorial harus berisikan sebuah pernyataan fakta, hukum yang relevan dan submissions yang diminta, sedangkan tanggapan memorial harus berisikan argumen pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memorial, tambahan fakta baru jika diperlukan, jawaban atas pernyataan hukum memorial dan petitum yang diminta. Dokumen pendukung biasanya langsung menyertai memorial, akan tetapi jika dokumen tersebut terlalu panjang, maka dimasukan ke dalam lampiran. Di dalam tahap tertulis ini, MI dapat meminta dokumen dan penjelasan yang relevan dari para pihak yang bersengketa

Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)
Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka dimulailah proses presentasi pembelaan atau oral pleadings. MI menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan dari MI dan para pihak. Tahap ini bersifat terbuka untuk umum atau open for public, jika para pihak tidak menentukan lain dan disetujui oleh MI.
Para pihak mendapat dua kali kesempatan untuk memberikan presentasi pembelaan di depan MI. Jika para pihak menginginkan pengunaan bahasa selain bahasa resmi dari MI, maka pihak tersebut harus memberitahukan terlebih dahulu kepada register guna dipersiapkan terjemahan simultan yang telah dilakukan sejak 1965.
Waktu untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika MI beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untuk hearing tersebut dapat diperpanjang. Akan tetapi menurut Aturan Mahkamah 1978, pasal 60, proses hearing tersebut berada dibawah pengawasan MI dan waktu hearing disesuaikan dengan pertimbangan MI,

“The oral statements made on behalf of each party shall be as succinct as possible within the limits of what is requisite for the adequate presentation of that party's contentions at the hearing. Accordingly, they shall be directed to the issues that still divide the parties, and shall not go over the whole ground covered by the pleadings, or merely repeat the facts and arguments these contain. The Court may at any time prior to or during the hearing indicate any points or issues to which it would like the parties specially to address themselves, or on which it considers that there has been sufficient argument."

Perihal Khusus
Selain dari proses normal beracara di MI, juga ada perihal khusus yang dapat mempengaruhi jalannya proses beracara tersebut. Perihal tersebut adalah Keberatan Awal atau Preliminary Objection, Ketidakhadiran Salah Satu Pihak atau Non-Appearance, Keputusan Sela/Sementara atau Provisional Measures, Beracara Bersama atau Joinder Proceedings dan Intervensi atau Intervention.
Keberatan Awal (Preliminary Objections)
Keberatan awal diajukan oleh pihak yang dituduhkan atau respondent atas dasar aplikasi yang diajukan oleh pihak applicant untuk mencegah MI dari proses pengambilan keputusan. Adapun alasan yang biasanya digunakan untuk melakukan Keberatan Awal ini adalah bahwa MI tidak mempunyai jurisdiksi, aplikasi yang diajukan tidak sempurna dan hal lain yang dianggap signifikan oleh MI. Adapun keputusan MI berkenaan dengan Keberatan Awal ini adalah antara lain bahwa MI akan menerima Keberatan Awal tersebut kemudian menutup kasus yang diajukan dan menolak kemudian meneruskan proses beracara Keberatan Awal ini diatur dalam pasal 79 Aturan Mahkamah 1978.
Ketidakhadiran Salah Satu Pihak (Non-Appearance)
Non-Appearance biasanya dilakukan oleh pihak respondent dengan dasar antara lain menolak jurisdiksi MI. Akan tetapi ketidakhadiran pihak respondent ini tidak menghentikan jalannya proses beracara di MI. Proses normal beracara baik tertulis maupun presentasi akan terus berjalan yang kemudian diberikan keputusan MI.
Keputusan Sela/Sementara (Provisional Measures)
Jika pada suatu waktu dalam proses beracara terjadi hal-hal yang akan membahayakan subjek dari applikasi yang diajukan, maka pihak applicant dapat meminta MI untuk mengindikasikan usaha-usaha perlindungan (interim measures of protection) atau keputusan sela (provisional measures). MI dapat meminta para pihak untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membahayakan efektifitas keputusan MI atas permintaan Keputusan Sela tersebut. Ketentuan mengenai Keputusan Sementara ini diatur di dalam Aturan Mahkamah pasal 73-78


Beracara Bersama (Joinder Proceedings)
Jika MI menemukan bahwa ada dua pihak atau lebih dari proses beracara yang berbeda, akan tetapi mempunyai argumen dan petitum yang sama atas satu pihak lawan yang sama, maka MI dapat memerintahkan adanya proses beracara bersama (joinder proceedings). Para pihak tersebut hanya bisa mempunyai satu hakim ad hoc dengan satu pembelaan baik tertulis maupun presentasi yang digabung untuk melawan satu pihak yang sama.
Intervensi (Intervention)
MI memberikan hak kepada Negara lain (non-disputant party) yang bukan pihak dari sengketa di MI untuk melakukan intervensi atas sengketa yang diajukan . Hak ini dapat diajukan jika Negara tersebut beranggapan bahwa ada kepentingan dari sisi hukum atau legal nature interest yang akan terkena dengan adanya keputusan dari MI. Lebih jauh mengenai intervensi ini akan dibahas pada bab berikutnya.
Keputusan (Judgment)
Ada tiga cara untuk sebuah kasus dianggap telah selesai. Pertama, para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir. Kedua, pihak applicant atau kedua belah pihak telah sepakat untuk menarik diri dari proses beracara yang mana secara otomatis maka kasus itu dianggap selesai. Dan, ketiga, MI memutus kasus tersebut dengan keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan.
Selain itu pendapat hakim MI dibagi atas tiga bagian, yaitu pendapat yang menolak atau dissenting opinion, pendapat yang menyetujui tetapi berbeda dalam hal tertentu atau separate opinions dan pendapat yang menyetujui atau declarations.










Bab III

HAK INTERVENSI PADA MAHKAMAH INTERNASIONAL



1 Definisi Umum

Secara umum, tidak ada perbedaan definisi hak intervensi dalam kerangka hukum nasional maupun hukum internasional. Turunan atau derivasi kata intervensi dalam bahasa Inggris yang relevan pada karya tulis ini adalah intervention atau intervensi dalam bentuk kata benda dan intervene atau meng-intervensi dalam bentuk kata kerja. Kedua kata turunan ini mempunyai arti yang berbeda. Arti kata intervention lebih menekankan pada sebuah prosedur, sedangkan kata intervene lebih menekankan pada perbuatan untuk mendapatkan ijin dari pengadilan untuk melakukan intervensi, intervensi adalah sebuah cara yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk ikut serta atas kepentingannya dalam sebuah proses beracara yang sedang berlangsung,

“ Intervention is the procedure under which a third party may join an on-going lawsuit, providing the facts and the law issues apply to the intervenor as much as to one of the existing contestants. The determination to allow intervention is made by a judge after a petition to intervene and a hearing on the issue. Intervention must take place fairly early in the lawsuit, shortly after a complaint and answer have been filed and not just before trial since that could prejudice one or both parties who have prepared for trial on the basis of the original litigants. Intervention is not to be confused with joinder, which involves requiring all parties who have similar claims to join in the same lawsuit to prevent needless repetitious trials based on the same facts and legal questions, called multiplicity of actions”
“To intervene is to obtain the court's permission to enter into a lawsuit which has already started between other parties and to file a complaint stating the basis for a claim in the existing lawsuit. Such intervention will be allowed only if the party wanting to enter into the case has some right or interest in the suit and will not unduly prejudice the ability of the original parties to the lawsuit to conduct their case”

Perbedaan mendasar yang menjadi karakter hak intervensi dalam hukum internasional adalah ketundukan pihak yang melakukan intervensi. Jika kita mengambil pandangan dari sisi hukum nasional, intervensi dilakukan dengan dua cara yaitu sukarela atau voluntary dan wajib atau oligatory. Hal ini berbeda jika kita mengambil pandangan dari hukum internasional berkenaan dengan intervensi, yaitu dilakukan secara sukarela atau voluntary atas dasar konsesualisme
Sekilas persamaan hak intervensi dalam kerangka hukum nasional dan hukum internasional adalah bahwa hak intervensi sama-sama didasarkan dari kebutuhan untuk menghindari penuntutan ulang atau repetitive litigation. Jika ada beberapa kasus membahas permasalahan yang sama, maka hampir dapat dipastikan bahwa akan terjadi hasil yang bertentangan atau contradictory. Hal ini hanya akan memberikan ketidakjelasan hukum atau law obscurity dari hukum yang berlaku. Hakim Oda melihat kepentingan intervensi dalam hal penuntutan ulang ini dari segi economy of international justice, menunjuk pada sisi kemudahan beracara.
Sejarah intervensi dalam kerangka hukum internasional dimulai pada tahun 1899 dan 1907 ketika perumusan konvensi multilateral tentang Pacific Settlement of International Disputes di Den Hag, Belanda. Kemudian pada tahun 1920, jenis kedua dari intervensi terbentuk. Ketentuan bahwa sebuah Negara dapat melakukan intervensi jika kepentingan Negara tersebut terkena dampak dari sebuah putusan mahkamah, termaktub di dalam pasal 62 Statuta PCIJ. Dari titik ini hak intervensi kemudian berkembang seiring dengan kasus-kasus yang diajukan. Perlu diingat bahwa MI menganut system precedent, yaitu sistem yang memakai putusan-putusan terdahulunya atau past decisions sebagai bahan pertimbangan untuk keputusan yang akan diambil.
Kasus intervensi yang pertama adalah kasus tentang Continental Shelf antara Tunisia dan Libya Arab Jamihiriya pada tanggal 14 April 1981. Di dalam kasus ini MI memutuskan secara mutlak untuk menolak aplikasi intervensi Negara Malta. Kasus yang kedua tentang intervensi adalah kasus Continental Shelf antara Libya Arab Jamahiriya dengan Malta pada tanggal 21 Maret 1985, dimana MI kembali menolak aplikasi Negara Italia untuk melakukan intervensi. Keputusan kasus ke 2 diambil secara voting dengan 11 melawan 5 suara, berbeda dengan kasus yang pertama dimana secara mutlak menolak aplikasi Negara Malta.
Hak intervensi dalam hukum internasional mengalami perkembangan pada kasus ketiga, dimana aplikasi Negara Nikaragua di dalam kasus Land, Island and Maritime Frontier Dispute dikabulkan oleh MI. Keputusan yang dikeluarkan pada tanggal 13 September 1990, diambil secara mutlak atau unanimous. Keputusan sama yang mengabulkan intervensi oleh Negara ketiga kembali dikeluarkan pada kasus Land and Maritime Boundary antara Negara Kamerun dan Nigeria tertanggal 21 Oktober 1999. Dalam kasus ini Negara Equatorial Guinea mendapat ijin untuk melakukan intervensi pada kasus diatas.
Kasus yang paling akhir berkenaan dengan intervensi adalah kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, 2001 antara Negara Malaysia dan Indonesia. Di dalam kasus ini Negara Filipina megajukan hak intervensinya berkenaan dengan klaim Kalimantan Utara (North Borneo). MI, dengan voting 14 melawan 1 suara, menolak aplikasi Negara Filipina untuk melakukan intervensi.

2 Hukum Internasional tentang Intervensi
Ada dua aliran berkenaan dengan intervensi dalam hukum internasional, aliran yang mendukung dan yang menolak intervensi.
2.1. Aliran yang mendukung intervensi.
Aliran ini mempunyai pendapat antara lain sebagai berikut, pertama dari segi efektifitas. Intervensi akan berguna dalam arti baik yang menghilangkan kasus-kasus yang mempunyai objek sama maupun keputusan yang berbeda dalam kasus yang sama.
Kedua dari segi kepentingan umum, yaitu tentang waktu penyelesaian kasus untuk menghindari kemungkinan kontorversi yang ada atau Interest rei publicae ut sit finis litium. Kemudian jika melihat dari perkembangan hukum internasional, Intervensi bukan hanya menyelesaikan sengketa (Solving) akan tetapi juga pencegahan sengketa (Prevention).
Lebih jauh, intervensi memberikan MI kesempatan yang lebih banyak dalam rangka menarik negara-negara untuk menggunakan MI sebagai penyelesaian sengketa. Selain itu, intervensi juga memberikan MI pertimbangan hukum yang lebih objektif dengan masuknya pihak ketiga ke dalam proses beracara yang tengah berlangsung.
2.2 Aliran yang menolak intervensi
Aliran ini mempunyai pendapat sebagai berikut, pertama evolusi sejarah memperlihatkan bahwa hukum internasional lebih memilih diam atau reticence berkenaan dengan intervensi pihak ketiga di dalam sebuah penyelesaian hukum.
Kedua, jika dilihat dari sisi Negara yang melakukan intervensi ketika hak intervensi tidak dibatasi, maka kemungkinan negara ketiga untuk melakukan intervensi akan lebih banyak. Kemudian pihak ketiga dapat memanipulasi hak intervensi dengan cara mendapatkan quasi-advisory opinion, tetapi tidak terikat untuk melaksanakan kewajiban dari keputusan MI.
Sebaliknya, jika dilihat dari sisi Negara yang melakukan proses beracaranya, intervensi akan menyebabkan Negara cenderung untuk tidak menggunakan MI sebagai penyelesaian sengketa jika intervensi tidak dibatasi. Dan yang terakhir, walaupun keputusan MI hanya mengikat pihak yang bersengketa, akan tetapi pada faktanya pihak ketiga dapat terkena dampak putusan MI
2 Jenis Intervensi dan Dasar Hukum

MI membagi hak intervensi dalam dua ketegori yaitu, hak intervensi sebuah Negara atas keputusan sebuah kasus MI dan atas konstruksi sebuah perjanjian internasional.

3.1 Intervensi atas keputusan sebuah kasus MI
Secara preseden, kasus pertama intervensi jenis ini dilakukan dihadapan MI pada tahun 1981, kasus Continental Shelf antara Tunisia dan Libya Arab Jamahiriya, dimana Negara malta sebagai pihak yang melakukan intervensi. Jenis intervensi ini diatur di dalam pasal 62 dari statuta MI, yaitu :
“Should a state consider that it has an interest of a legal nature which may be affected by the decision in the case, it may submit a request to the Court to be permitted to intervene”
“It shall be for the Court to decide upon this request”

Lebih jauh lagi, hak intervensi jenis ini diatur dalam Aturan Mahkamah, 1978 di dalam pasal 81, 83, 84 dan 85. Mengacu dari pasal-pasal tersebut diatas, pengajuan hak intervensi harus mengandung tiga hal, yaitu kepentingan yang mempunyai karakter hukum atau “interest of legal nature”, objek yang jelas dan pasti atau “precise object” dan hubungan jurisdiksi atau “jurisdictional link”.

3.1.1 Kepentingan yang mempunyai karakter hukum

Kelemahan atau plaucity dari elemen ini adalah bahwa tidak ada definisi yang jelas, dalam hukum internasional yang berkenaan dengan kata “interest of legal nature”. Setiap Negara bebas menginterpretasikan kepentingannya dalam mengajukan hak intervensi berkenaan dengan kasus yang sedang berlangsung di MI. Hakim ad hoc Weeramantry dalam kasus Sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan memberikan pernyataan yang sama berkaitan dengan definisi dari kepentingan yang mempunyai karakter hukum. Akan tetapi, ada beberapa pedoman yang telah berkembang di dalam hukum internasional tentang intervensi, yaitu :
3.1.1.1 Kepentingan umum yang mungkin mendapatkan dampak dari keputusan MI
3.1.1.2 Kepentingan politik atau sosial
3.1.1.3 Kepentingan tentang perkembangan umum dari hukum atau “general development of law”
3.1.1.4 Kepentingan tentang penggunaan prinsip dan aturan umum hukum internasional pada kasus yang dimintakan intervensi
3.1.1.5 Kepentingan tentang hukum yang dipakai MI di dalam kasus lain
3.1.2 Objek yang jelas dan pasti
Elemen ini lebih menekankan pada diskresi dari MI atas pengajuan sebuah intervensi. Tidak ada, baik aturan maupun preseden MI yang mengatur lebih lanjut berkenaan dengan objek yang jelas dan pasti dalam hak intervensi.
3.1.3 Hubungan Jurisdiksi
Ada dua hal yang cukup menarik mengenai elemen ketiga dari hak intervensi ini. Pertama berkenaan dengan persetujuan dari pihak yang bersengketa terhadap intervensi tersebut, dan kedua tentang kekuatan mengikat dari putusan yang akan dibuat MI kepada pihak yang mengajukan intervensi tersebut.

3.1.3.1 Persetujuan dari pihak yang bersengketa

Ada perubahan mendasar dalam hukum internasional mengenai persetujuan dalam hak intervensi. Secara sejarah, persetujuan dari pihak yang bersengketa kepada pihak yang akan melakukan hak intervensi adalah obligatory,

“the voluntary intervention of a third party is admissible only with the consent of the parties that have concluded the compromise”


Kemudian paradigma ini berubah seiring dengan perkembangan hukum internasional. Pasal 62 dari Statuta MI tidak menyebutkan adanya keharusan untuk mendapat persetujuan dari pihak yang bersengketa guna melakukan sebuah hak intervensi. Jika sebuah Negara beranggapan bahwa kepentingannya akan terkena dampak dari sebuah keputusan MI, maka Negara tersebut mempunyai hak untuk melakukan intervensi.
3.1.3.2 Kekuatan mengikat putusan MI terhadap pihak yang mengajukan intervensi

Tidak ada ketentuan yang menyebutkan adanya keharusan untuk menjadi party dalam proses beracara bagi pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pihak ketiga dapat memilih untuk menjadi full party atau tidak dalam pengajuan intervensinya. Konsekwensi yang timbul akibat kondisi ini adalah bahwa sebuah Negara yang melakukan intervensi tetapi tidak consent untuk menjadi full party tidak terikat pada keputusan MI yang dibuat.

“a state permitted to intervene under Article 62 of the statute, but which does not acquire the status of party to the case, is not bound by the judgment in the proceedings in which it has intervened”


Keputusan MI hanya mengikat pada pihak yang bersengketa dan pada kasus yang tersebut saja. Akan tetapi jika hakim Oda berpendapat bahwa pihak ketiga tidak akan mendapat keadilan yang sama dibanding dengan pihak yang bersengketa jika tidak menjadi full party di dalam kasus yang sedang diproses,

“the intervening state will thus been able to protect its own rights merely so far as the judgment declines to recognize as countervailing the rights of either of the original litigant states. On the other hand, to the extent that the Court gives judgment positively recognizing rights of either of the litigant states, the intervening state will certainly lose all present or future claims in conflict with those rights.”


Menjadi full party atau tidak, nampaknya bukan suatu hal yang berpengaruh positif kepada pihak ketiga. Hal ini disebabkan karena walaupun pihak ketiga menyatakan tidak menjadi full party pada kasus yang sedang diproses, pihak ketiga tetap akan bound pada keputusan MI tersebut. Di dalam preseden kasus yang berkenaan intervensi, hakim Oda berpendapat bahwa,

“Nicaragua, as a non-party intervener, will certainly be bound by the judgment in so far as it relates to the legal situation of the maritime spaces of the Gulf”

Belum ada konsensus para hakim MI tentang urgensi adanya hubungan jurisdiksi dalam pengajuan hak intervensi jenis ini yang akan membawa pengaruh yang signifikan dalam penentuan apakah sebuah hak intervensi dapat dikabulkan atau tidak.

3.2 Intervensi atas konstruksi sebuah perjanjian internasional

Kasus pertama mengenai intervensi jenis ini terjadi di kasus S.S. Wimbledon. Pasal 63 dari Statuta MI menyebutkan,
“Whenever the construction of a convention to which states other than those concerned in the case are parties is in question, the Registrar shall notify all such states forthwith”.
“Every state so notified has the right to intervene in the proceedings; but if it uses this right, the construction given by the judgment will be equally binding upon it”.

Ketentuan lain yang mengatur hak intervensi jenis ini terdapat dalam Aturan Mahkamah, 1978, pasal 82, 83, 84, 86. Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hak intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional mempunyai elemen-elemen yaitu, pertama hanya Negara yang menjadi party dari konvensi yang dapat mengajukan hak intervensi jenis ini, dan kedua keputusan MI yang diambil mengikat kepada pihak yang melakukan intervensi seperti pada pihak yang beracara di sengketa tersebut.
Berbeda dengan jenis intervensi yang pertama, intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional ini belum membawa perdebatan yang substantial. Hal ini mungkin lebih disebabkan oleh sedikitnya kasus yang berkenaan dengan jenis intervensi ini.
Hubungan jurisdiksi tidak menjadi isu yang signifikan karena ketentuan yang jelas bahwa hanya Negara yang party dari perjanjian tersebut yang dapat melakukan intervensi. Selain itu keputusan MI pada pihak yang melakukan intervensi jenis ini, mengikat seperti pada pihak yang beracara, jadi sifat dari intervensi ini adalah obligatory setelah consent untuk melakukan intervensi. Hal ini berbeda dengan jenis intervensi atas dasar impact keputusan MI yang diberikan pilihan untuk tunduk atau tidak sebagai party dalam kasus yang sedang berjalan.
4 Mekanisme untuk Mengajukan Hak Intervensi

Untuk lebih memudahkan, pembahasan tentang mekanisme mengajukan hak intervensi dibagi atas dua bagian sesuai dengan jenis intervensi yang diatur di dalam pasal 62 dan 63 dari statuta MI. Baik jenis intervensi atas dasar sebuah keputusan MI ataupun atas dasar konstruksi perjanjian internasional, ketentuan pasal 38 dari Aturan Mahkamah tentang permulaan beracara atau institution of Proceedings harus diikuti

4.1 Intervensi atas dasar sebuah keputusan MI
4.1.1 Aplikasi Intervensi
Sebuah aplikasi intervensi jenis ini harus berisikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :

4.1.1.1 Nama wakil yang mengajukan aplikasi
4.1.1.2 Kepentingan yang mempunyai karakter hukum
4.1.1.3 Objek yang jelas dan pasti
4.1.1.4 Dasar jurisdiksi atau hubungan jurisdiksi yang diklaim antara pihak yang mengintervensi dan pihak yang bersengketa
4.1.1.5 Dokumen pendukung yang relevan

4.1.2 Waktu Pengajuan
Waktu pengajuan yang diperbolehkan dalam intervensi jenis ini adalah secepat mungkin atau as soon as possible dan sebelum waktu pembelaan tertulis atau written proceedings ditutup. Pengecualian untuk kondisi tertentu, exceptional circumstances, aplikasi dapat diajukan pada tahap yang berikutnya

4.2 Intervensi atas dasar konstruksi Perjanjian Internasional

4.2.1 Aplikasi Intervensi
Sebuah aplikasi intervensi jenis ini harus berisikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
4.2.1.1 Nama Wakil yang mengajukan aplikasi
4.2.1.2 Ketentuan yang menyebutkan bahwa Negara yang melakukan intervensi adalah party dari konvensi yang menjadi objek sengketa
4.2.1.3 Identifikasi dari ketentuan konvensi yang menjadi objek intervensi
4.2.1.4 Pernyataan atau pendapat tentang objek intervensi
4.2.1.5 Dokumen pendukung yang relevan

4.2.2 Waktu Pengajuan
Waktu pengajuan yang diperbolehkan pada dasarnya sama dengan intervensi jenis pertama (pasal 62) yaitu secepat mungkin dan sebelum tanggal dimulainya pembelaan presentasi atau oral presentation. Kondisi pengecualian seperti pada intervensi jenis pertama juga berlaku pada jenis intervensi ini

Setelah diajukan, register akan mengatur pembagian administratif dari aplikasi tersebut yang kemudian MI akan menentukan tanggal dimana para pihak yang bersengketa akan memberikan pendapat tertulis mereka atau written observations. Jika terjadi keberatan atau objection dari baik satu maupun pihak yang bersengketa atas intervensi yang diajukan, maka MI akan mendengarkan seluruh pendapat dari para pihak yang bersengketa dan pihak yang mengintervensi.
Jika intervensi atas dasar keputusan MI dikabulkan atau granted, maka pihak yang melakukan intervensi akan diberikan salinan pembelaan para pihak yang bersengketa. Selain itu pihak yang melakukan intervensi juga dapat memberikan pernyataan tertulis, written statement, dalam waktu yang ditentukan MI. Para pihak yang bersengketa berhak memberikan pendapat tertulis atas pernyataan tertulis dari pihak yang melakukan intervensi, dengan jangka waktu yang ditentukan oleh MI sebelum dimulainya waktu presentasi pembelaan. Pada waktu presentasi pembelaan, pihak yang melakukan intervensi dapat memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek sengketa.
Jika intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional diterima atau admitted, maka pihak yang melakukan intervensi akan diberikan salinan pembelaan para pihak yang bersengketa dan berhak memberikan pendapat tertulisnya berkenaan dengan objek dari intervensi yang bersangkutan dalam waktu yang ditentukan MI. Pada waktu presentasi pembelaan, pihak yang melakukan intervensi dapat memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek intervensi.


Bab IV

STUDI KASUS HAK INTERVENSI



1. Kasus Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya), Intervensi Malta, 14 April 1981

1.1. Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus ini dimulai tanggal 1 Desember 1978 antara Tunisia dan Libya Arab Jamahiriya. Subjek yang diajukan ke MI adalah mengenai perbatasan dasar benua atau delimitation of continental shelf antar kedua Negara tersebut. Pada tanggal 30 Januari 1981, Malta mengajukan intervensi atas kasus tersebut dengan dasar pasal 62 dari ketentuan Statuta MI. Keberatan atas intervensi ini diajukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Setelah melalui proses hearing, kemudian MI memutuskan untuk menolak intervensi yang diajukan Malta secara mutlak atau unanimous dengan Keputusan MI tertanggal 14 April 1981.


1.2. Analisa Kasus

Mengacu kepada ketentuan Aturan Mahkamah, 1978 pasal 81 paragraf 2 tentang intervensi, setiap Negara ketiga yang bermaksud untuk mengajukan hak intervensi harus mencantumkan kepentingan hukum atau interest of legal nature, objek yang jelas dan pasti atau precise object of intervention dan dasar hubungan jurisdiksi atau base for jurisdictional link. Setelah melihat aplikasi intervensi Malta dan keberatan-keberatan yang diajukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, MI sampai pada satu kesimpulan jika salah satu keberatan yang diajukan terbukti, maka MI tidak akan melanjutkan untuk membuktikan keberatan-keberatan yang lain dan menolak intervensi Malta.
Pada dasarnya Malta mengklaim mempunyai kepentingan pada kemungkinan-kemungkinan atau possible concern dari MI yang akan mengindentifikasi dan mempelajari faktor-faktor geografis dan geomorfis dari dasar benua yang disengketakan,


“Any findings of the Court that identified and assessed the geographical and geomorphological factors relevant to the delimitation of the Libya/Tunisia continental shelf and with any pronouncements made by the Court regarding, for example, the significance of special circumstances or the application of equitable principles in that delimitation”


Lebih jauh lagi, possible concern itu juga dapat berupa keputusan-keputusan MI yang akan memberikan dampak terhadap hak dan kepentingan hukum Malta jika Malta bermaksud untuk membuat batas dasar benua terhadap salah satu atau kedua pihak yang bersengketa. Selain itu Malta juga membuat reservasi tertulis yang menyatakan bahwa intervensi yang dilakukannya tidak dimaksudkan untuk membuat klaim baru atas subjek yang disengketa-kan. Melihat dari tanggal pengajuan, Malta tidak melewati waktu pengajuan intervensi, yaitu sebelum berakhirnya waktu pembelaan tertulis.
Berdasarkan permintaan tersebut MI berpandangan bahwa aplikasi yang diajukan Malta adalah sebuah kesempatan untuk melawan keputusan MI dalam penggunaan suatu kriteria tertentu atas kasus tersebut. Kemudian MI memutuskan jika intervensi atas dasar ini dikabulkan, maka akan terjadi ketidakpastian hukum dari para pihak yang bersengketa, yaitu batasan atas kepentingan hukum yang harus diajukan jika salah satu pihak ikut beracara tanpa ada klaim yang dipertahankan atas subjek sengketa. Selanjutnya MI berpendapat bahwa kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi atau future implications tidak dapat dijadikan kepentingan dari sisi hukum untuk pengajuan sebuah intervensi. MI mengambil dasar pada putusan PCIJ tahun 1922 yang menjadi pedoman MI yaitu untuk tidak berusaha menyelesaikan permasalahan yang mungkin terjadi,

“It should not attempt to resolve in the Rules of the Court the various questions which have been raised, but leave them to be decided as and when they occurred in practice and in the light of the circumstances of each particular case”

Syarat kedua dan ketiga dari intervensi yaitu precise object dan jurisdictional link, tidak dilanjutkan dibahas oleh MI karena salah satu keberatan yang diajukan kedua pihak yang bersengketa telah terbukti.
Keputusan MI yang menolak intervensi Malta adalah cukup rasional, walaupun secara geografis letak Negara Malta dapat terkena dampak seperti yang dimaksud dalam pasal 62 statuta MI. Kepastian hukum tidak akan ada jika ada sebuah Negara ketiga yang ikut beracara tanpa ada klaim atau petitum atas subjek sengketa.
Harus juga diingat bahwa kasus Intervensi Malta ini adalah kasus pertama yang berkenaan dengan jenis intervensi pasal 62 atau intervensi atas dasar keputusan MI yang diajukan ke MI. Penerapan ketat yang dilakukan MI atas pasal 62 pada kasus ini menggambarkan pandangan hukum internasional yang masih cenderung menolak kehadiran pihak ketiga untuk ikut beracara dalam sebuah penyelesaian sengketa.


2. Kasus Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), Intervensi Italia, 21 Maret 1984

2.1. Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus kedua berkenaan dengan intervensi masih berkisar tentang batas kontinen, yang kali ini diajukan oleh Libya Arab Jamahiriya dan Malta. Berdasarkan pada perjanjian khusus kedua belah pihak, pemberitahuan bersama atau joint notification disampaikan kepada register MI pada tanggal 26 Juli 1982. Pada tanggal 24 Oktober Negara Italia mengajukan aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 dari statuta MI. Proses hearing yang mendengarkan pendapat dari para pihak dan pihak ketiga dimulai tanggal 25 Januari 1984. Kemudian pada tanggal 21 Maret 1984, MI mengeluarkan keputusan untuk menolak aplikasi intervensi Italia dengan perbandingan suara 11 melawan 5.

2.2. Analisa Kasus
Pengajuan intervensi yang dilakukan Italia memenuhi persyaratan formal untuk sebuah intervensi. Dalam kasus ini, MI tidak memberikan pendapat tentang syarat yang ketiga yaitu jurisdictional link. Hal ini dilakukan atas dasar bahwa syarat pertama dan kedua telah tidak terpenuhi dalam aplikasi intervensi dari Italia. Selain itu, alasan MI menolak untuk memutuskan tentang status jurisdictional link dari Italia adalah karena mengadopsi preseden yang telah diambil pada kasus sebelumnya, yaitu intervensi dari Malta pada tahun 1981.

2.2.1. Kepentingan Hukum atau Interest of a Legal Nature

Dari sisi ini, MI diminta untuk memberikan perlindungan seperti yang termaktub dalam pasal 62 statuta MI dengan cara mencegah dampak yang mungkin terjadi atas sebuah keputusan yang dikeluarkan. Italia meminta MI untuk melindungi hak-haknya. Dari permintaan yang relatif cukup umum ini membawa konsekwensi praktek beracara MI untuk mengindentifikasi hak-hak dari Italia. Untuk mengindentifikasikan hak-hak dari Italia, maka MI juga harus mengindentifikasi hak-hak dari baik Libya maupun Malta sebagai pihak yang bersengketa.
Berdasarkan permintaan ini, MI berpandangan bahwa untuk menentukan hak-hak Italia dan hak-hak Negara yang bersengketa, secara otomatis akan melibatkan hubungan hukum dari ketiga Negara tersebut. MI tidak dapat menilai hubungan hukum dari ketiga Negara tersebut tanpa persetujuan yang Negara bersangkutan. Jika MI mengabulkan intervensi Italia, berarti MI telah melanggar azas konsensualisme yang menjadi dasar beracara di MI.


2.2.2. Objek yang pasti dan jelas atau Precise Object of Intervention

Selain akan membuat sengketa baru atau fresh dispute jika intervensi Italia dikabulkan, objek yang diajukan Italia juga tidak termasuk dalam past decisions dari MI yang berkenaan dengan intervensi. Kasus preseden MI tentang intervensi hanya menunjuk pada perlindungan hak, bukan pada identifikasi hak, seperti yang terjadi pada kasus Italia,

“…, since the only cases of intervention afforded by that Article [62] would be those in which the intervener was only seeking the preservation of its rights, without attempting to have them recognized.”


MI melihat objek intervensi dari Italia tidak masuk dalam kategori precise object seperti dalam pasal 81 Aturan Mahkamah. Tidak ada dalam baik wording maupun preseden MI yang mengatakan bahwa pasal 62 Statuta MI dimaksudkan sebagai cara alternatif untuk mengajukan sengketa baru ke MI.


3. Kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute (El Savador/Honduras), Intervensi Nikaragua, 13 September 1990


3.1. Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus ini diajukan kepada Register MI pada tanggal 11 Desember 1986, 2 tahun stelah kasus intervensi Italia tahun 1984. Objek sengketa pada kasus ini adalah Teluk Fonseca, yaitu batas daratan dan status hukum atas pulau dan daerah maritim dari Negara Honduras dan El Savador. Pada tanggal 17 November 1990, Nikaragua mengajukan aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 Statuta MI. Keputusan MI atas intervensi Nikaragua secara mutlak adalah mengabulkan intervensi Nikaragua pada tanggal 13 September 1990.


3.2. Analisa Kasus
Kasus intervensi Nikaragua ini adalah kasus pertama dalam sejarah MI dimana sebuah Negara ketiga dikabulkan untuk melakukan hak intervensinya. Di dalam kasus ini juga mulai dapat disimpulkan bahwa MI tidak mempersoalkan hubungan jurisdiksi dalam jenis intervensi pasal 62 (intervensi atas Keputusan MI).

3.2.1. Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature

Untuk sebuah intervensi dapat dipertimbangkan, pihak ketiga harus memperlihatkan adanya kepentingan hukum yang akan terkena dampak keputusan dari sebuah sengketa yang sedang diajukan. Beban pembuktian atau burden of proof, menurut hemat MI, berada pada pihak ketiga yang melakukan intervensi, bukan di MI. Pembuktian yang dimaksud hanya untuk memperlihatkan secara meyakinkan bahwa kepentingan hukumnya mungkin akan terkena dampak keputusan yang akan diambil MI, bukan harus maupun yang akan terkena dampak. Disini pembuktian hanya didasarkan pada kemungkinan yang relatif lebih mudah untuk dibuktikan,

“In the Chamber’s opinion, it is clear, first, that it is for a state seeking to intervene to demonstrate convincingly what it asserts, and thus to bear the burden of proof, and second that it has only to show that its interest “may” be affected not that it will or must be affected”



Di dalam kasus intervensi Nikaragua ini, MI menentukan bahwa ada tiga klaim dimana Nikaragua harus memperlihatkan kemungkinan terkena dampak keputusan MI, yaitu Keadaan Hukum atau Legal Situations dari pulau-pulau, Perairan Dalam dan Luar teluk Fonseca. Dari ketiga klaim tersebut, Nikaragua hanya mampu untuk memenuhi satu klaim, yaitu berkenaan tentang kondisi hukum di perairan dalam teluk. Akan tetapi , walaupun hanya satu klaim yang dapat dipenuhi, MI mengabulkan intervensi dari Nikaragua ini.

Jika melihat secara sejarah, memang Teluk Fonseca ini telah diputuskan oleh Central American Court of Justice sebagai sebuah historic bay yang mempunyai karakteristik sebuah laut tertutup atau closed sea. Lebih jauh lagi diputuskan oleh institusi yang sama bahwa teluk Fonseca itu dimiliki oleh tiga Negara secara bersama atau co-ownership, yaitu Negara El savador, Honduras dan Nikaragua. Sesuai dengan pasal 38 statuta, MI mengambil keputusan ini sebagai subsidiary means dan dianggap sebagai sebuah keputusan yang objektif.

3.2.2. Objek yang Jelas dan Pasti atau Precise Object of Intervention

Nikaragua mengajukan dua klaim untuk persyaratan yang kedua ini, yaitu untuk melindungi hak-hak hukumnya dan untuk memberikan informasi kepada MI berkenaan dengan hak-hak hukum Nikaragua atas Teluk Fonseca,

“First, generally to protect the legal rights of the Republic of Nicaragua in the Gulf of Fonseca and the adjacent maritime areas by all legal means available, and second to intervene in the proceedings in order to inform the Court of the nature of the legal rights of Nicaragua which are in issue in the dispute. This form of intervention would have the conservative purpose of seeking to ensure that the determination of the Chamber did not trench upon the legal rights and interests of the Republic of Nicaragua..”


Atas pertimbangan MI, kedua klaim tersebut diputuskan sebagai objek yang sesuai dengan persyaratan intervensi yang kedua yaitu precise object of intervention. Secara logika, memang objek yang diajukan Nikaragua relatif lebih mudah dan tidak membuat sebuah kasus baru atau fresh dispute seperti yang diajukan oleh kasus-kasus intervensi yang terdahulu.


3.2.3. Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link


Posisi MI tetap sama berkenaan dengan persyaratan ketiga yaitu bahwa hubungan jurisdiksi bukan sesuatu yang signifikan yang dapat mempengaruhi pertimbangan sebuah hak intervensi. MI kembali menegaskan alur logika atau logical links bahwa jika setiap Negara yang akan melakukan intervensi harus mempunyai hubungan jurisdiksi dengan Negara yang bersengketa, maka akan terjadi pemaksaan ketundukan ke MI, atau dengan kata lain bertentangan dengan asas konsesualisme yang menjadi dasar proses beracara di MI.
Dari seluruh reasoning MI yang berkenaan dengan hubungan jurisdiksi dalam hak intervensi, maka dapat diambil sebuah pedoman umum yang menggambarkan sistem hukum yang dipakai MI, yaitu system common law yang menekankan pada sumber persuasif keputusan-keputusan sebelumnya. Pedoman itu terlihat dari indikasi bahwa walaupun dalam aturan mahkamah, 1978 jelas tertulis kata “shall” yang berarti suatu keharusan bagi Negara ketiga untuk mempelihatkan hubungan jurisdiksi, tetapi dari keputusan yang telah dibuatnya hubungan jurisdiksi bukan merupakan suatu yang penting.


4. Kasus Land & Maritime Boundary (Kamerun/Nigeria), Intervensi Equatorial Guinea, 21 Oktober 1999


4.3. Posisi dan Keputusan Intervensi
Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Nigeria dan Kamerun yang meminta MI untuk memutuskan batas daerah dan maritim Bakassi Peninsula. Kasus ini dimulai tanggal 29 Maret 1994 dengan Aplikasi Kamerun dimana Nigeria mengajukan keberatan awal atau preliminary objection. Setelah Nigeria memberikan consent ke MI, maka kemudian MI mulai memeriksa kasus yang diajukan.
Lima tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Juni 1999, Negara Equatorial Guinea mengajukan intervensi dengan dasar pasal 62 yaitu intervensi atas keputusan MI. Aplikasi hak intervensi Negara Equatorial Guine dikabulkan secara mutlak oleh MI dengan putusannya tanggal 21 Oktober 1999.


4.4. Analisa Kasus

Salah satu alasan yang cukup mendasar berkenaan tentang kasus ini adalah bahwa secara tidak langsung Negara ketiga diundang atau invited untuk melakukan hak intervensi dengan putusan MI tentang keberatan awal dari Nigeria,

“ The Court notes that the geographical location of the territories of the other states bordering the Gulf of Guinea…, demonstrates that it is evident that the prolongation of the maritime zones where the rights and interests of Cameroon and Nigeria will overlap those of other states.”


Lebih jauh lagi, kedua Negara yang bersengketa baik Kamerun maupun Nigeria tidak mengajukan keberatan atas aplikasi intervensi yang diajukan oleh Equatorial Guinea.
Di sini Equatorial Guinea secara spesifik menyatakan bahwa kepentingan hukumnya lebih terletak pada batas maritim dari Bakassi Peninsula. Pada poin ini, kembali kedua Negara yang bersengketa tidak mengajukan keberatan atas hal tersebut,


“…which could allow the court to better informed on the general background of the case and to determine more completely the dispute submitted to it.”


“Whether or not Equatorial Guinea’s application is accepted, it will in Nigeria’s view make no difference to the legal position of Nigeria to the present proceedings, or to the jurisdiction of the court. On that basis, Nigeria leaves it to the court to judge whether and to what extent it is appropriate or useful to grant Equatorial Guinea’s Application.”


Pada kasus ini, tidak lagi dibahas tentang convincing demonstration yang diperlukan untuk memenusi syarat pertama ini, seperti pada kasus terdahulunya. Dapatlah diambil sebuah kesimpulan bahwa MI mengabulkan aplikasi Equatorial Guinea in advance dengan undangan tidak langsungnya kepada Negara ketiga untuk melakukan intervensi.
Untuk persyaratan yang kedua, posisi MI menjadi lebih permanen dengan menggunakan dasar kasus terdahulunya berkenaan tentang precise object yaitu untuk memberikan informasi agar MI dapat lebih memutus dengan objektif atas kasus yang disengketakan. Hal yang sama juga dapat dilihat dari signifikansi hubungan jurisdiksi yang tidak menjadi keharusan untuk pihak ketiga dalam melakukan hak intervensi.





5. Kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan (Malaysia/Indonesia), Intervensi Filipina, 12 Oktober 2001

5.3. Posisi dan Keputusan Intervensi
Indonesia dan Malaysia sebagai para pihak yang bersengketa memulai beracara di MI pada tanggal 2 November 1998. Objek sengketa dalam kasus ini adalah kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan. Pada tanggal 13 Maret 2001, Negara Filipina mengajukan aplikasi untuk melakukan intervensi atas dasar pasal 62. Sebelum mengajukan aplikasi tersebut, Filipina meminta salinan pembelaan dan dokumen terkait pada tanggal 22 Februari 2001 dengan dasar pasal 53 paragraf 1 Aturan Mahkamah. Kemudian, permintaan tersebut ditolak MI. Penolakan inilah yang nantinya menjadi salah satu argument dasar dari pihak Filipina. MI menolak intervensi Filipina atas kasus kedaulatan dari Pulau Sipadan dan Ligitan dengan keputusannya tanggal 23 Oktober 2001.

5.4. Analisa Kasus
Sebelum masuk ke pembahasan inti dari tiga persyaratan utama dalam pengajuan hak intervensi, ada baiknya jika melihat terlebih dahulu keberatan yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa atas intervensi yang dilakukan. Keberatan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, in casu Indonesia dan Malaysia terhadap aplikasi intervensi Filipina adalah bahwa Aplikasi Filipina terlambat diajukan dan dalam aplikasinya Filipina tidak memasukan daftar dokumen pendukung.
Dalam putusannya MI menyatakan bahwa aplikasi Filipina tidak melanggar ketentuan pasal 81 paragaf 1, karena dari para pihak sendiri belum memberikan pernyataan yang tegas tentang akhir dari pembelaan tertulis. MI melihat bahwa dari perjanjian khusus yang ditandatangani para pihak, masih ada kesempatan untuk melakukan tahap akhira dari proses pembelaan tertulis. Baru pada tanggal 28 Maret 2001 para pihak yang bersengketa memberikan pernyataan untuk tidak meneruskan proses pembelaan terulis, sedangkan aplikasi Filipina diajukan pada tanggal 13 Maret 2001, walaupun akhir dari putaran ketiga pembelaan tertulis berakhir pada tanggal 2 Maret 2001. MI melihat bahwa pemberitahuan para pihak akan telah selesainya proses pembelaan tertulis memang harus ditentukan dan dinyatakan.
Untuk klaim yang kedua yaitu tidak memasukan daftar dokumen pendukung, MI juga memutuskan sama, yaitu Filipina tidak melanggar pasal yang terkait, karena maksud dari pasal 81 paragraf 3 tersebut adalah bahwa hanya jika ada dokumen pendukung maka daftar dokumen tersebut harus disertakan. Tidak ada kewajiban bagi Negara yang melakukan intervensi untuk menyertakan dokumen pendukung aplikasinya.

5.4.1. Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature

Berkenaan dengan kepentingan hukum ini, Filipina mengajukan kepentingan hukumnya yaitu pada perjanjian-perjanjian dan bukti-bukti lain yang berkaitan dengan sengketa diatas. Lebih jauh lagi, Filipina mengajukan dua klaim untuk kepentingan hukumnya, yaitu interpretasi kata decision atau keputusan yang termasuk didalamnya reasoning atau analisa yang melatarbelakangi keputusan tersebut, dan sifat kepentingan hukum yang dapat mendasari suatu hak intervensi terjadi.
Untuk klaim yang pertama menggunakan dasar pasal 62 dengan referensi pasal 59 bahwa bukan saja hanya keputusan atau decision dari MI, akan tetapi juga analisa atau reasoning yang dapat membawa dampak pada kepentingan hukum Filipina. Dalam kaitannya dengan klaim ini, MI setuju dengan klaim Filipina karena jika mengambil textual interpretation dari redaksional kata decision, maka harus dilihat dari naskah aslinya yaitu naskah dalam Bahasa Perancis yang mempunyai arti lebih luas termasuk pada analisa dari keputusan tersebut.
Melihat dari kesamaan pandangan MI dengan Filipina, nampaknya akan membawa sedikit masalah untuk kasus-kasus yang nantinya akan diajukan ke MI. Tidak jelas mana yang lebih kuat sifat persuasive antara keputusan dengan analisa yang melatarbelakangi keputusan tersebut,

“…but, to interpret a decision as including “reasoning” might somehow stymie the Court in the performance of its judicial function in a particular case and place too onerous a burden on States by requiring them to be extra vigilant for fear of what the Court’s reasoning might be in particular case”.


Analisa disini juga diartikan sebagai separate dan dissenting opinion dari para hakim MI. Selain itu, kemungkinan untuk intervensi akan semakin terbuka dengan adanya unsure analisa yang dapat dijadikan dasar atas dampak yang mungkin didapati atas suatu kasus. Akan tetapi, jika melihat dari sisi pertimbangan hukumnya, memang MI dapat lebih mendapatkan pertimbangan hukum jika unsur analisa mempunyai kedudukan yang sama dengan keputusan.
Dalam proses keseluruhan beracara, Filipina tidak dapat membuktikan kepentingan hukum yang akan terkena dampak, baik dari unsur keputusan maupun unsur analisanya.
Klaim yang kedua mengenai sifat kepentingan hukum dari intervensi, MI melihat bahwa sifat kepentingan hukum untuk melakukan intervensi harus mengacu langsung kepada perihal atau objek sengketa. Hal ini didukung oleh mayoritas klaim dari Negara yang diperbolehkan melakukan intervensi, kasus Nikaragua dan Equatorial Guinea. Untuk klaim yang kedua ini, kembali Filipina gagal menunjukan kepentingan hukum yang mengacu langsung kepada inti sengketa. Unsur convincing demonstration kembali diambil sebagai dasar oleh MI dalam memutus klaim ini.


5.4.2. Objek yang jelas dan pasti atau Precise Object of Intervention

Filipina mengajukan tiga objek berkenaan dengan aplikasi intervensinya, yaitu:

“First, to preserve and safeguard the historical and legal rights of the Government of the Republic of the Philippines arising from its claim to dominion and sovereignty over the territory of North Borneo, to the extent that these rights are affected, by a determination of the Court of the question of sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan; Second, to intervene in the proceedings in order to inform the Honourable Court of the nature and extent of the historical and legal rights of the Republic of the Philipines which may be affected by the Court’s decision; and third, to appreciate more fully the indispensable role of the Honourable Court in comprehensive conflict prevention and not merely for the resolution of legal disputes.”



Untuk objek yang pertama dan kedua, MI mengambil formulasi yang sama dari keputusan terdahulunya tentang intervensi, bahwa melindungi dan memberikan informasi kepada MI atas hak-hak hukum yang ada, adalah diperbolehkan. Sedangkan untuk objek yang ketiga, karena dalam proses pembelaan presentasinya Filipina tidak menjelaskan serta menguatkan objeknya tersebut, maka MI menolak objek ketiga tersebut.

5.4.3. Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link

Seperti yang telah diputuskan pada kasus terdahulunya, tidak diperlukan adanya hubungan jurisdiksi dalam sebuah aplikasi intervensi dengan catatan bahwa Negara yang mengajukan intervensi tidak mempunyai maksud untuk ikut beracara di dalam MI. Pada kasus ini Filipina dengan jelas menyebutkan untuk tidak menjadi pihak yang bersengketa. Hubungan Jurisdiksi diperlukan hanya jika pihak yang melakukan intervensi bermaksud untuk menjadi pihak yang bersengketa dan maksud tersebut disetujui oleh para pihak yang sedang bersengketa.

Pengikut