Cari Blog Ini

Halaman

Minggu, 04 Juli 2010

Batuan Hukum pajak

BANTUAN HUKUM TERHADAP TERSANGKA DALAM PENYIDIKAN PERKARA PERPAJAKAN

A. Latar Belakang Masalah
Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara perlu terus ditingkatkan sehingga pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan kemampuan sendiri, berdasarkan prinsip kemandirian. Peningkatan kesadaran masyarakat dibidang perpajakan harus ditunjang dengan iklim yang mendukung peningkatan peran aktif masyarakat serta pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan undang-undang pajak yang demikian itu diharapkan dapat memberikan penekanan yang lebih pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat Wajib Pajak dan kepentingan negara. Keseimbangan kepentingan dimaksud berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang tidak berat sebelah atau tidak memihak, adil, serasi dan selaras dalam wujud tata aturan yang jelas dan sederhana serta memberikan kepastian hukum. Peranan sektor pajak yang menyumbang hampir delapan puluh persen pembiayaan Anggaran Pembiayaan dan Belanja Negara (APBN) yang menentukan penghidupan rakyat Indonesia, bukan dari minyak atau hasil hutan, sehingga kejahatan penggelapan atau manipulasi pajak sangat merugikan kepentingan rakyat luas. Dalam upaya untuk meningkatkan penerimaan negara tersebut diperlukan penegakan hukum atau Law Enforcement yang dijalankan secara adil dan tanpa pandang bulu, yang selalu mengedepankan supremasi hukum diatas kepentingan lainnya. Supremasi hukum pada penegakan hukum dalam meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, maka akan terkait dengan konsep negara hukum. Dalam kaitan ini konsep negara hukum yang menempatkan kekuasaan yudikatif itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri, bebas dan merdeka, yang merupakan inspirasi lahirnya negara demokrasi, dipelopori oleh Baron de Montesquieu, (1698-1755), seorang ahli hukum Perancis dan penulis filsafat tentang sej arah dan masalah kenegaraan, dalam bukunya “De l’ esprit des Lois”, tentang Konstitusi Inggris, menyebutkan perlunya kekuasaan yang terpisah yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif. Prinsip kedaulatan hukum kita wujudkan dalam gagasan Rechtsstaat atau Rule of Law serta prinsip supremasi hukum yang selalu kita dengung-dengungkan setiap waktu. Adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah: Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan; Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun; Legalitas dalam arti dalam segala bentuknya. Negara Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechts staat), demikian bunyi penjelasan Undang Undang Dasar Republik Indonesia. Kemudian UUD 1945, Pasal I ayat (3) hasil perubahan ketiga menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Demikian diatur dalam Pasal I ayat (3) UUD 1945, hasil perubahan ketiga. Penegakan negara hukum, tercermin dalam Pasal 24, Undang- Undang Dasar 1945, yang mengatur kekuasaan kehakiman, yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang yaitu Undang-Undang No. 14 tahun 1970, sebagaimana telah diubah lagi yang terakhir dengan undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Ketentuan Pasal 8 undang-undang tersebut mengatur: Setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah, sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap atau disebut juga Asas praduga tidak bersalah atau Presumption of Innocent. Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 11 ayat (1) dalam Universal Declaration of Human Rights (DUHAM). Majelis Umum PBB, melalui Resolusi No. 217 A (III), tanggal 10 Desember 1948, menyatakan: Setiap orang yang dituntut, karena disangka melakukan suatu pelanggaran pidana, dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka dan di dalam sidang itu diberikan segala j aminan yang perlu untuk pembelaannya. Pentingnya hak-hak tersangka untuk dihormati juga diatur dalam Pasal 14 dan 15 Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan telah diadopsi pada tanggal 16 Desember 1966 dan diterima dalam Sidang Umum PBB yang mengatur perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap hak-hak tersangka. Konsep mengenai Hak Asasi Manusia itu di perlakukan dalam konteks hukum nasional positif, yang dalam hal ini tidak saja merupakan ketentuan konstitusional, melainkan juga terpancar dalam TAP MPR dan Perundang¬Undangan lain, dimana UUD 1945 dan TAP MPR sebagai garis bimbingan, disamping ideologi kita Pancasila dan masing-masing agama itu dapat merupakan faktor determinant yang dapat memberi bentuk pada isi dan substansi dari konsep mengenai Hak Asasi Manusia itu sendiri. Kemudian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam sidangnya tanggal 13 Nopember 1998 mengeluarkan TAP MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang memuat perintah kepada lembaga-lembaga negara untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM dan menugaskan kepada Presiden dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen mengenai HAM. Berdasarkan TAP MPR tersebut, kemudian terbentuk Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pada Pasal 18 undang-undang tersebut yang jelas mengatur pentingnya perlindungan HAM terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana. Diberlakukannya undang-undang tentang HAM tersebut, diilhami dengan telah diterapkannya peraturan perundang-undangan tentang HAM yang telah menjadi norma hukum Internasional di belbagai negara di dunia, terutama di negara-negara maju, sebagai bentuk penghargaan atas hak-hak asasi manusia, khususnya terkait dengan perlindungan terhadap hak-hak tersangka yang diduga melakukan suatu tindak pidana, untuk mendapatkan bantuan atau penasehat hukum. Demikian sebagaimana halnya di Amerika Serikat dengan adanya Putusan Supreme Court ( Mahkamah Agung ) tertanggal 16 Juni 1966, dalam Penetapan Miranda Ys. Arizona, yang Membatalkan Putusan Pengadilan sebelumnya dan Memerintahkan Penyidik untuk Mengulang Proses Penyidikan kasus tersebut, karena hak-hak tersangka atau terdakwa tidak dipenuhi sesuai dengan Amandemen kelima Konstitusi Amerika Serikat. Sejak saat itu berlaku asas yang dikenal dengan Miranda Warning dan telah menjadi praktek Polisi Penyelidik atau Penyidik untuk membacakan hak-hak tersangka. Inti asas ini adalah seseorang yang dituduh dan akan diperiksa karena diduga melakukan suatu tindak pidana, Polisi harus lebih dahulu memberitahu hak-hak tersangka. Namun salah satu problematika hukum terbesar di Indonesia adalah permasalahan implementasinya, meskipun Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM, membuat beberapa aturan perundang-undangan yang mengatur mengenai HAM, melakukan amandemen konstitusi yang menurut prinsip-prinsip HAM tetapi masih saja aturan-aturan tersebut bersifat normatif, pelaksanaan dan implementasi HAM tidak boleh hanya di atas kertas belaka namun harus berwujud melalui implementasi kebijakan, pola pikir, gaya hidup, cara pandang dan penegakkan hukum. Menurut pendapat Luhut M.P. Pangaribuan: Pengalaman menunjukkan bahwa pencari keadilan belum merasa terayomi oleh hukum karena proses peradilan yang terlaksana belum mampu mewujudkannya. Dalam banyak hal sangat mengecewakan bahkan mulai ada kecenderungannya untuk menjauhkannya. Bila ditelaah sesungguhnya banyak penyebabnya, termasuk demoralisasi yang terus menerus pada aparatur penegak hukum, namun bila di generalisasikan adalah karena asas peradilan cepat, mudah dan sederhana, serta jujur, imparsial dan obyektif belum bisa secara terus menerus dilakukan dan dipertahankan. Kedudukan penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan pada tingkat penyidikan, terbatas hanya melihat serta mendengar atau Within Sight and Within Hearing. Ketentuan Pasal 115 ayat (1) undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), masih bersifat fakultatif, ada kecenderungan penyidik tidak memperhatikan hak tersangka akan haknya memperoleh bantuan hukum atau disediakan penasihat hukum bagi yang terkena dalam pengaturan Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Keberadaan penasihat hukum masih di curigai sebagai orang-orang yang mengganggu kelancaran pemeriksaan. Logika hukum masyarakat belum terbiasa menerima, mengapa orang yang melakukan kejahatan harus dibela, akibatnya sering penasehat hukum harus menerima caci maki, disini masyarakat belum memahami bahwa walaupun seorang itu dicap sebagai penjahat, namun hak-haknya secara hukum harus tetap dilindungi, termasuk berhak untuk mendapat bantuan hukum. Keberadaan penasihat hukum bisa mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan besar sekali manfaatnya, apalagi bagi tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, paling tidak mencegah penyidik melakukan tekanan atau pelecehan baik secara fisik ataupun secara mental dan membuat suasana pemeriksaan lebih manusiawi dan dari segi psikologis, kehadiran penasihat hukum dalam pemeriksaan, mendorong tersangka lebih berani mengemukakan kebenaran yang diyakininya. Kata dapat didampingi, bisa juga diartikan, tidak dapat didampingi, seolah-olah tergantung belas kasihan pejabat penyidik. Dengan demikian agar ketentuan dapat didampingi konsisten dan konsekwen dengan asas keseimbangan antara kepentingan tersangka dengan kepentingan umum, serta keseimbangan antara penegakan hukum dan pelaksanaan wewenang dengan kepentingan perlindungan hak asasi tersangka, seyogyanya bersifat hak dengan pengecualian terbatas. Demikian pula ketentuan Pasal 72 KUHAP yang menyatakan: Atas permintaan tersangka atau penasihat hukum, pejabat yang bersangkutan memberikan Salinan Berita Acara Pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya, pada prakteknya sering diabaikan. Hambatan dan kesulitan secara umum pada pemeriksaan penyidikan, yaitu tidak adanya keseimbangan kedudukan dan persamaan derajat antara penyidik dan penasihat hukum. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 115 dan Pasal 72 KUHAP yang bersifat himbauan, sehingga yang terjadi adalah adanya kecenderungan perlakuan yang bersifat diskriminatif. Perlakuan penyidik terhadap satu tersangka atau penasihat hukum bisa berbeda dengan perlakuan terhadap tersangka atau penasihat hukum yang lain. Terhadap pelanggaran ini, pengadilan sering kali bersikap toleran atas alasan demi melindungi kepentingan umum dengan mempergunakan landasan, hak siapa yang lebih diutamakan, hak individu tersangka atau hak kepentingan umum. Dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, belum ada kebijakan baku dari lembaga penegak hukum mengenai parameter yang dapat diajadikan alasan kuat dan masuk akal untuk menentukan, apakah tersangka atau terdakwa memenuhi persyaratan untuk dilakukan penahanan, sampai ada putusan pengadilan yang final. Dalam mengembangkan kebijakan penahanan perlu diperhatikan due process of law khususnya asas praduga tidak bersalah dan memperlakukan seorang tersangka secara lebih manusiawi dan tidak diperlakukan seolah-olah sudah terbukti bersalah, serta tidak membuat nama baik dan integritasnya dilanggar sebelum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Dalam penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang pelaksanaannya mengacu pada ketentuan KUHAP, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan direktorat jendral pajak, diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan di bidang pajak. Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Penyidik PNS) Pajak berbeda dengan wewenang Penyidik Polri, yaitu adanya kewenangan lain yang dimiliki Penyidik PNS Pajak adalah untuk mencari dan mengumpulkan keterangan atau laporan dan kewenangan untuk meminta keterangan dan barang bukti dari orang-orang pribadi atau badan, dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perpajakan. Kewenangan ini menyiratkan adanya inisiatif dari pihak Penyidik PNS pajak, dituntut untuk aktif tidak hanya mengumpulkan keterangan agar menjadi lebih lengkap dan jelas, tetapi juga sudah melangkah lebih maju yakni meneliti kebenaran. Sehingga pada proses penyidikan dengan melakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan, Penyidik PNS pajak sudah memperoleh alat-alat bukti yang diperlukan sebagaimana halnya ditemukannya barang bukti, pada penyidikan tindak pidana Psikotropika. Hal ini membuat penyidik merasa memiliki posisi yang sangat dominan, yang seringkali proses pemeriksaan penyidikan, tidak didampingi oleh penasihat hukum tersangka, dengan alasan bahwa barang bukti sudah diperoleh, hingga tidak diperlukan lagi kehadiran penasihat hukum. Kalaupun diperlukan semata-mata untuk mendampingi hanya dalam persidangan di pengadilan, bahkan seringkali kehadiran penasihat hukum baru ada setelah berita acara pemeriksaan (BAP) dibuat atau tidak hadir pada saat dibutuhkan.
Demikian pula pada penyidikan tindak pidana di bidang pajak, kehadiran penasihat hukum dianggap akan mengganggu proses penyidikan dan pengembangan penyidikan yang tengah berlangsung. Tindak pidana perpajakan tidak mungkin bisa dilakukan oleh seorang pelaku saja. Berbeda dengan tindak pidana Psikoterapika, yang bisa dilakukan oleh seorang pelaku yang tertangkap tangan kedapatan membawa barang bukti. Oleh karena itu, untuk melakukan tindak pidana pajak, seperti dalam kasus penggelapan pajak tidak mungkin dilakukan oleh seorang saja karena merupakan tindak kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok orang, yang mempunyai peran masing-masing, berbeda antara yang satu dengan yang lainnya seperti yang melakukan, menyuruh melakukan, turut serta atau membantu melakukan tindak pidana tersebut. Didalam praktek penyidik punya kecenderungan membatasi informasi atau keterangan yang sudah diperoleh untuk tidak menyampaikan kepada pihak lain, termasuk tidak segera menyerahkan berkas secara lengkap kepada penuntut umum, kecuali pada hari-hari terakhir masa penyidikan habis Waktunya. Pada saat proses penyidikan masih berlangsung seperti dalam hal belum tertangkapnya semua pelaku tindak pidana, sehingga di khawatirkan kejahatan tersebut sulit untuk diungkap secara komprehensif. Untuk mengungkap kejahatan di bidang perpajakan, seperti dalam mengumpulkan keterangan dan barang bukti, kemudian menganalisanya, diperlukan data yang begitu banyak dan rumit, sehingga memerlukan waktu yang tidak sedikit. Hal ini bertambah kompleks bila tersangka ditahan, menurut KUHAP batas waktu penahanan sudah ditetapkan yaitu dua puluh hari oleh penyidik di tambah empat puluh hari atas ijin penuntut umum, yang keseluruhannya menjadi enam puluh hari saja. Di dalam prakteknya, terdapat perbedaan antara keinginan pembuat undang-undang yang ingin memberi perlindungan terhadap tersangka di satu pihak, dan perlakuan yang diberikan oleh Penyidik PNS di bidang perpajakan dilain pihak. Perbedaan tersebut dapat terlihat di dalam penyidikan tindak pidana pajak, dengan mengambil contoh kasus bantuan hukum yang diberikan kepada tersangka dalam penyidikan pajak. Tersangka dalam kasus tersebut adalah karyawan PT. CRP yang berkedudukan di Jakarta, yang diduga telah melakukan tindak pidana penggelapan pajak. Perkara tersebut ditangani oleh Penyidik PNS Pajak pada Direktorat Intelejen dan Penyidikan, Direktorat Jendral Pajak, Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut