Cari Blog Ini

Halaman

Minggu, 04 Juli 2010

Konstitusi Munurut Para Pakar

Muh. Ridhwan Indra
Suatu konstitusi juga memiliki sifat yang fleksibel (flexible) dan rigid (rigid). Akan tetapi—perlu dibatasi—fleksibel dan rigid di sini bukanlah fleksibel dan rigid yang dipandang dari sisi cara mengubahnya, tetapi dipandang dari muatannya, karena konstitusi yang bersifat fleksibel tersebut merupakan bagian dari klasifikasi konstitusi rigid. Berkenaan dengan hal ini, Muh. Ridhwan Indra mengatakan bahwa konstitusi juga bersifat fleksibel dan rigid, tetapi yang dimaksud bukanlah dari sisi cara mengubahnya, namun dilihat dari sisi materinya, apakah mudah atau sukar mengikuti perkembangan zaman. Kalau konstitusi itu dapat dengan mudah mengikuti perkembangan zaman, maka ia dikatakan bersifat fleksibel (elastis), dan jika sebaliknya berarti ia bersifat rigid.
Sebagai catatan, suatu konstitusi karena berbentuk (diklasifikasikan) sebagai konstitusi rigid dalam perubahannya, ia harus memiliki sifat fleksibel (elastis) dalam materinya. Guna menghilangkan keraguan tersebut—antara pemahaman fleksibel dari sisi perubahannya dengan fleksibel daris sisi materinya—dalam tulisan ini selanjutnya akan digunakan kata elastis saja, sebagai sifat pokok atau mendasar dari materi suatu konstitusi. Indikasi sifat elastis tersebut biasanya diungkapkan dengan ungkapan “diatur dengan undang-undang”, “ditetapkan dengan undang-undang”, “diatur dalam undang-undang”, atau ungkapan “sesuai dengan undang-undang”. Semua ungkapan tersebut memiliki arti bahwa pengaturan selanjutnya diserahkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.
Ringkas dan elastis merupakan sifat yang diperlukan bagi suatu konstitusi. Selain suatu konstitusi bermuatan segi-segi yang bersifat pokok, mendasar atau asas-asasnya saja, konstitusi juga harus terdiri dari muatan-muatan yang dapat dengan elastis (mudah) mengikuti perkembangan zaman, agar tetap eksis sebagai suatu UUD (Rechtsverfassung). Sebaliknya, jika konstitusi itu bersifat rigid, ia akan kaku menghadapi perkembangan yang terjadi, akhirnya ia mempunyai nilai nominal saja.
Sungguhpun demikian, ada juga yang beranggapan kalau konstitusi itu terdiri dari muatan-muatan yang panjang (tidak ringkas), khususnya menurut paham kodifikasi, di mana keseluruhan masalah-masalah yang dianggap penting oleh negara harus dimasukkan ke dalam UUD. Namun, anggapan tersebut dalam perkembangan berikutnya tidak lagi dianut sepenuhnya. Adapun yang menyebabkan tidak seluruh masalah yang dianggap penting oleh negara dimasukkan ke dalam UUD sesuai dengan paham kodifikasi tersebut, menurut Muh. Ridhwan Indra, dikarenakan oleh dua faktor; pertama, disadari bahwa tidak semua yang dianggap penting dalam suatu negara merupakan suatu hal yang bersifat pokok atau mendasar; kedua, bahwa sesuai dengan nafas atau pembawaan hukum itu sendiri mengisyaratkan bahwa hukum selalu akan berubah dan berkembang menurut perkembangan zaman, apabila semua yang penting dimasukkan dalam UUD, maka UUD itu harus sering diubah, karena sesuatu yang penting bahkan sangat penting sekalipun pada suatu zaman, seringkali pada zaman yang lain seiring dengan perkembangan yang terjadi, sudah menjadi kurang penting atau bahkan tidak lagi penting sama sekali.17
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, sebaiknya muatan dari UUD hanyalah hal-hal yang bersifat mendasar atau pokok saja. Adapun terhadap hal-hal yang dianggap penting meskipun kurang bersifat mendasar, upayanya kemudian dengan memasukkannya ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya. Karena peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UUD, lebih mudah untuk diubah dan dibuat sesuai dengan tuntutan zaman.
Berkenaan dengan bentuknya, konstitusi dikenal mempunyai sifat tertulis dan tidak tertulis,18 dan juga bersifat derajat tinggi dan tidak derajat tinggi.19 Akan tetapi, terhadap adanya konstitusi yang bersifat tertulis dan tidak tertulis tersebut, penulis sedikit keberatan dengan dua pertimbangan. Pertama, sepakat dengan pandangan C.F. Strong, bahwa pembagian konstitusi ke dalam jenis konstitusi tertulis (written contitution) dan tidak tertulis (unwritten contitution) merupakan pembedaan yang keliru (false distinction), karena menurutnya tidak ada konstitusi yang seluruhnya tertulis maupun tidak tertulis.20 Seperti halnya Inggris, menurut sebagian pandangan tidak memiliki konstitusi tertulis, tetapi kenyataannya Inggris memiliki kontitusi tertulis, seperti Bill of Rights (1689), Parliament Acts of 1911 dan sebagainya. Kedua, adanya pembagian konstitusi ke dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis tersebut merupakan suatu klasifikasi (pembagian) dari jenis-jenis konstitusi, namun bukan merupakan sifat dari konstitusi. Dengan kata lain, penulis tidak sepakat dengan pandangan tentang adanya pembagian konstitusi ke dalam jenis tertulis dan tidak tertulis, dan jika pandangan tersebut ada, maka yang dimaksudnya adalah bentuk pembagian tetapi bukan sifat konstitusi.
Hans Kelsen
Menurut Hans Kelsen (ahli filsafat hukum) menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang atau bertingkat. Suatu norma hukum berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi, dan bersumber lagi pada norma hukum yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma dasa / norma yang tertinggi dalam suatu negara disebut “Grundnorm”. Jadi Grandnorm merupakan puncak dalam kesatuan tata hukum / norma-norma hukum yang berlaku disuatu negara.
Hans Nawiasky (murid Hans Kelsen) mengembangkan lebih lanjut teori jenjang norma hukum disuatu negara itu berkelompok-kelompokkedalam 4 tingkat, yaitu :
1.staatfundamentalnorm atau norma fundamental negara.
2.staatgrundgesetz atau aturan dasar / pokok negara.
3.formellgesetz atau undang-undang.
4.verordnung and autonome satzung atau aturan pelaksana dan aturan otonom.
Jadi menurut Hans Nawiyasky, norma hukum tertinggi dan merupakan kelompok pertama disebut staatfundamentalnorm atau fundamental negara. Notonegoro SH. Menamakan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental. Joeniarto menyebutnya sebagai norma pertama, dan Hamid S. Attamimi menyebutnya sebagai cita hukum (rechts-idee). Norma fundamental ini ditetaokan oleh masyarakat / pembentuk negara dan menjadi landasan dasar filosofi yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pembentukan norma-norma hukum dibawahnya atau bagi pengaturan negara lebih lanjut.
Untuk memperjelas , perhatikan bagan perbandinga antar jenjang norma hukum diatas !



Sri Soemantri
Konstitusi dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri (Sri Soemantri) :
- Kabinet dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dibentuk berdasarkan kekuatan yang menguasai parlemen
- Anggota kabinet sebagian atau seluruhnya dari anggota parlemen
- Presiden dengan saran atau nasihat Perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakan pemilihan umum.
Konstitusi dengan ciri-ciri seperti itu oleh Wheare disebut “Konstitusi sistem pemerintahan parlementer”. Menurut Sri Soemantri, UUD 1945 tidak termasuk ke dalam kedua konstitusi di atas. Hal ini karena di dalam UUD 1945 terdapat ciri konstitusi pemerintahan presidensial, juga terdapat ciri konstitusi pemerintahan parlementer. Pemerintahan Indonesia adalah sistem campuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut