Cari Blog Ini

Halaman

Minggu, 04 Juli 2010

Peradilan pajak / Kelemahan

Wakil Ketua Komisi XI DPR, Merchias Markus Mekeng mengeluarkan pendapat bahwa, “kasus Gayus (Tambunan) harus jadi acuan dan kesempatan untuk memperdalam masalah yang terjadi di Pengadilan Pajak. Apakah kekalahan negara itu disebabkan suap-menyuap atau karena kelemahan perundang-undangan yang dimanfaatkan wajib pajak yang nakal.” (kompas 29/3/2010)
Dualisme Kewenangan dan kekuasaan
Hal pertama yang menjadi kelemahan dalam pengadilan pajak adalah dualisme kewenangan dan kekuasaan Pengadilan Pajak . Inilah yang membedakan Pengadilan Pajak dengan pengadilan umum. Kewenangan pengadilan pajak adalah memeriksa dan memutuskan sengketa pajak (pasal 31 ayat 1). Sedangkan dari kekuasaannya, pengadilan pajak merupakan pengadilan pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutuskan sengketa pajak (pasal 33). Sehingga putusan Pengadilan Pajak bersifat final and binding (putusan terakhir dan berkekuatan hukum tetap)
Dalam sengketa pajak yang terjadi antara Wajib Pajak (WP) dengan pejabat yang berwenang , maka yang dapat diajukan ke pengadilan pajak adalah termasuk banding atau gugatan. Sedangkan prosedur keberatannya tidak diatur dalam UU peradilan pajak tetapi diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (KUP), yang mana disebutkan dalam pasal 25 (ayat 1) bahwa WP dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak . Itupun dengan syarat, WP harus melunasi dulu hutang pajaknya, sehingga dapat diperkenan mengajukan keberatan.
Dari sini, terdapat kelemahannya;
a. WP diperhadapkan pada kekuasaan dan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk memutuskan, mengabulkan seluruhnya, sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar (pasal 26 ayat 3 UU KUP) bukan pada kewenangan dan kekuasaan hakim pada Pengadilan Pajak dalam memutuskan sengketa pajak sesuai yang diatur dalam UU Pengadilan Pajak
b. Dengan dualisme seperti ini, maka menjadi pertanyaan mendasar, kenapa keberatan di Direktorat Jenderal Pajak ditolak, namun pada tingkat banding sebagian besar keberatan itu diterima oleh Pengadilan Pajak?
c. Bahwa keberatan pajak yang ditangani diluar peradilan pajak adalah sebuah pintu yang terbuka lebar hingga terjadinya “makelar kasus” dan suap, karena pengawasan untuk hal ini tidak diatur.
Kekuasaan Kehakiman
Kelemahan selanjutnya dalam Pengadilan Pajak adalah tidak dintegrasikannya Pengadilan Pajak di bawah Mahkamah Agung (MA). Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan UU Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan pengadilan satu atap di bawah MA. Kekuasaan MA hanya dibatasi menyangkut pembinaan teknis peradilan (pasal 5 ayat 1 UU Pengadilan Pajak) sedangkan urusan pembinaan organisasi , administrasi dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan yang sekarang telah menjadi Kementrian Keuangan (pasal 5 ayat 2)
Posisi Pengadilan Pajak yang saat ini dibawah Kementrian Keuangan, menurut penulis akan melemahkan fungsi pengawasan dan independensi hakim dalam Pengadilan Pajak. Lembaga negara apapun dalam struktur pemerintahan suatu negara, memakai sistem checks and balances. Pengawasan internal tentu saja tidak cukup sehingga memerlukan pengawasan eksternal. Untuk itulah, lingkaran dan praktik mafia kasus dalam Pengadilan Pajak sulit untuk diputuskan karena sulitnya MA dan pengawasan eksternal lainnya masuk lebih jauh ke dalam sistem peradilan pajak.
Mengenai hakim yang beracara dalam Pengadilan Pajak, menurut Kepala Sub Bagian Informasi Sekretariat Pengadilan Pajak, Jefri Wagiu, mayoritas dari 48 hakim di Pengadilan Pajak adalah mantan pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementrian Keuangan. Hakim karier yang ingin menjadi hakim Pengadilan Pajak harus mengikuti ujian negara yang diadakan Ditjen Pajak (kompas 30/3/2010)
Jika demikian faktanya, maka tidak heran saat ini ada sekitar 9700-an kasus sengketa pajak yang menumpuk di Pengadilan Pajak karena faktor diatas. Barangkali, penulis menyarankan agar kedepannya, seleksi dan penerimaan calon hakim Pengadilan Pajak harus dibuka pada publik, sehingga publik dapat mengetahui dan mengukur sampai sejauh mana profesionalisme dan independensi hakim-hakim yang memutuskan sengketa pajak. Hal ini juga dapat diteruskan dengan membuka putusan Pengadilan Pajak kepada publik, mengingat Pengadilan Pajak menganut asas terbuka.
Titik awal
Dengan terkuaknya kasus mafia hukum yang melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Tambunan, maka menjadi titik awal untuk membenahi sistem perpajakan serta Pengadilan Pajak itu sendiri demi cita-cita reformasi birokrasi dan reformasi hukum.
Reformasi Birokrasi di Kementrian Keuangan bukan hanya dititikberatkan pada persoalan remunerasi, tetapi pembinaan mental aparaturnya, pelayanan yang prima, sehingga menurut penulis, sebesar apapun gaji yang diterima, jika mentalnya seorang aparatur sudah bobrok, maka sama saja.
Mengenai reformasi hukum dalam lingkup Pengadilan Pajak, seperti yang penulis sudah uraikan diatas, maka sudah saatnya mengevaluasi kembali UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, mencakup dintegrasikan kembali Pangadilan Pajak di bawah MA, perekrutan hakim yang benar-benar akuntabel, jujur dan mempunyai integritas tinggi serta kemudahan pengawasan dalam hukum acara Pengadilan Pajak.
Jika kelemahan dalam UU Pengadilan Pajak ini dapat segera diatasi, maka setidaknya, kekalahan negara dalam skala besar melawan WP dapat diminimalisir. Pajak merupakan garda terdepan untuk penerimaan negara. Jika pemerintah menutup mata dengan hal ini, maka tidak heran perbandingan penerimaan pajak akan tidak berbanding lurus dengan produk domestik bruto (PDB).
Kini tantangan-tantangan lain harus segera dijawab, seperti beranikah jajaran aparatur di Kementrian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak untuk memberikan pembuktian terbalik bahwa tidak ada lagi pelanggaran dan penyelewengan lainnya setelah Gayus. Kalau tidak, apa kata dunia?
Salam Damai untuk Indonesia Maju!
*Yustus Maturbongs, Asisten pada Ombudsman Republik Indonesia kantor Perwakilan Sulawesi Utara dan Gorontalo. Pernah mengikuti Pelatihan Penanganan Keluhan tentang Kasus Perpajakan dan Kepabeanan, Medan 13-16 Oktober 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut