Cari Blog Ini

Halaman

Minggu, 04 Juli 2010

Proses Beracara Di Mahkamah Internasional

PROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL (ICJ); STUDI KASUS HAK INTERVENSI

Oleh. Sunan J. Rustam
Center for Law Information
2003

Bab I
PENDAHULUAN

1 Latar Belakang

Sejak dibentuk pada tahun 1945, Mahkamah Internasional (MI) atau International Court of Justice (ICJ), telah menangani kurang lebih 100 kasus internasional, baik yang bersifat sengketa antara dua pihak (contentious) maupun advisory . Sebagai penerus dari PCIJ atau Permanent Court International of Justice yang didirikan pada tahun 1921, MI telah dianggap sebagai salah satu cara utama atau primary means untuk penyelesaian konflik antar negara di dunia,

“The International Court of Justice is often thought of as the primary means for the resolution of disputes between states”


Sebagai salah satu institusi hukum internasional, MI hanya menerima negara sebagai pihak yang dapat beracara di dalamnya . Special Agreement atau perjanjian khusus tentang penundukan (consent to be bound) kepada jurisdiksi MI, harus terlebih dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara . Penundukan ini didasarkan pada prinsip kedaulatan Negara atau state sovereignty. Hakim Oda dalam keputusannya berkenaan tentang jurisdiksi MI berpendapat,

“When considering the jurisdiction of the International Court of Justice in contentious cases, I take as my point of departure the conviction that the Court’s jurisdiction must rest upon the free will of sovereign state, clearly and categorically expressed, to grant the Court the competence to settle the dispute in question”


Proses beracara di MI hanya dapat dilakukan dengan adanya consent dari para pihak yang akan beracara. Consent ini didasarkan atas asas konsensualisme atau free will dari Negara yang terkait.
Dari syarat ini dapatlah dilihat bahwa MI menjunjung tinggi kedaulatan sebuah Negara untuk tunduk atas dasar free will. Lebih jauh lagi, pengakuan MI akan kedaulatan Negara ini juga dapat dilihat dari kekuatan mengikat dari keputusan MI. Keputusan yang dikeluarkan oleh MI hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan terbatas pada kasus yang diajukan.
Sekilas mekanisme MI sangatlah ideal melihat dari sisi free will ketundukan negara sebagai pihak yang beracara dan kekuatan mengikatnya kepada para pihak yang bersengketa (disputant states). Akan tetapi persoalan akan timbul jika hasil keputusan MI berdampak kepada negara lain sebagai pihak ketiga yang tidak bersengketa (non-disputant states). Setidaknya ada dua persoalan penting yang timbul berkaitan dengan kondisi diatas. Pertama, kekuatan mengikat keputusan MI terhadap pihak ketiga yang tidak ikut beracara. Kedua, posisi pihak ketiga yang akan terkena dampak keputusan tersebut.
Melihat dari sisi ini, nampaknya asas konsensualisme atau free will tidaklah berlaku mutlak dalam proses beracara di MI. Keadaan free will hanya dapat dilakukan pada saat pertama pengajuan special agreement antara para pihak yang akan beracara.
Seperti layaknya pengadilan nasional atau domestic court, MI juga mempunyai mekanisme keterlibatan untuk pihak ketiga yang tidak menjadi pihak yang beracara. Salah satu mekanisme keterlibatan itu adalah dengan melakukan mekanisme intervensi.
Berbeda dengan special agreement yang menggunakan asas konsensualisme atas dasar free will ketika pertama kali mengajukan proses beracara, mekanisme intervensi lebih terkesan memiliki unsur pemaksaan.
Unsur pemaksaan ini didasari dari keputusan MI yang mempunyai dampak terhadap Negara ketiga yang bukan menjadi pihak yang beracara di MI. Walupun diatas kertas, Negara ketiga ini mempunyai pilihan untuk terlibat ataupun tidak terlibat dalam sebuah kasus yang diajukan di MI, akan tetapi secara realita adalah mustahil atau impossible jika Negara ketiga ini tidak ikut terlibat dalam proses beracara tersebut. Keputusan untuk tidak ikut terlibat dalam proses beracara di MI hanya akan membawa kerugian bagi Negara ketiga yang bersangkutan.
Keadaan free will yang pada awalnya menjadi dasar ketundukan berubah menjadi indirect forced will atau pemaksaan secara tidak langsung kepada non-disputant states yang terkena dampak hasil putusan tersebut.
Pemaksaan secara tidak langsung ini dapat dilihat pada kasus Continental Shelf 1981, Continental Shelf 1982, Land, Island & Maritime Frontier 1990, Land & Maritime Boundary 1999 dan Sovereignty over Sipadan & Ligitan 2001.
Mulai dari jaman PCIJ sampai jaman MI, tercatat hanya enam kasus yang diintervensi oleh Negara ketiga. Dari kelima kasus intervensi yang pernah diajukan ke MI diatas, hanya dua kasus intervensi yang dikabulkan atau granted oleh MI. Kasus intervensi pertama yang dikabulkan MI adalah kasus Land, Island & Maritime Frontier 1990 dimana Negara ketiganya adalah Negara Nikaragua. Sedangkan kasus intervensi kedua yang dikabulkan adalah kasus Land & Maritime Boundary 1999, dimana Negara Equatorial Guinea menjadi Negara yang melakukan intervensi.
Berkenaan dengan hal ini, MI secara khusus telah mengatur mekanisme bagi negara ketiga untuk melakukan hak intervensi (right of intervention) atas sengketa yang sedang diajukan . MI membagi dua jenis intervensi, yaitu intervensi atas dasar pasal 62 statuta MI dan intervensi atas dasar pasal 63 Statuta MI.

Bab II
PROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL


1 Dasar Hukum Beracara

Secara keseluruhan, ada 5 (lima) aturan yang berkenaan dengan MI sebagai sebuah organisasi internasional. Adapun kelima aturan tersebut adalah: Piagam PBB (1945), Statuta MI (1945), Aturan Mahkamah atau Rules of the Court (1970) yang telah diamandemen pada tanggal 5 Desember 2000, Panduan Praktek atau Practice Directions I – IX dan Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah atau Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court yang diadopsi pada tanggal 12 April 1976 dari Pasal 19 Aturan Mahkamah (1970).
Di dalam Piagam PBB 1945, dasar hukum yang berkenaan tentang MI terdapat dalam BAB XIV tentang MI sebanyak 5 pasal yaitu pasal 92-96. Sedangkan di dalam Statuta MI sendiri, ketentuan yang berkenaan dengan proses beracara terletak pada BAB III yang mengatur tentang Procedure dan BAB IV yang memuat tentang Advisory Opinion. Ada 26 pasal (pasal 39 - 46) yang tercantum di dalam BAB III, sementara di dalam BAB IV hanya terdapat 4 pasal (pasal 65-68)
Dasar hukum yang ketiga yaitu Aturan Mahkamah (Rules of the Court), (1970) yang terdiri dari 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa amandemen dimana amandemen terakhir adalah pada tahun 2000. Aturan ini berlaku atau entry into force sejak tanggal 1 Februari 2001 dan bersifat tidak berlaku surut atau non-rectroactive,


“…..The amended Rules shall come into force on 1 February 2001, and shall as from that date replace the Rules adopted by the Court on 14 April 1978, save in respect of any case submitted to the Court before 1 February 2001, or any phase of such a case, which shall continue to be governed by the Rules in force before that date”.



Dasar hukum yang berikutnya adalah Panduan Praktek (Practice Directions) I-IX. Ada 9 panduan praktek yang dijadikan dasar untuk melakukan proses beracara di MI. Panduan praktek ini secara umum berkisar tentang surat pembelaan (written pleadings) yang harus dibuat dalam beracara di MI. Dasar hukum terakhir dari proses beracara di MI adalah Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah (Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court), (1976). Resolusi ini terdiri dari 10 ketentuan tentang beracara di MI yang telah diadopsi pada tanggal 12 Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi yang sama tentang Internal Judicial Practice yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1968.

2 Para Pihak yang Beracara

Untuk kasus yang bersifat contentious, Statuta MI membatasi hanya Negara yang dapat beracara di MI. Ada tiga kategori Negara atau state yang dapat beracara di MI yaitu, kategori pertama adalah Negara Anggota PBB. Mengacu kepada pasal 35(1) dari Statuta MI dan pasal 93 (1) dari Piagam PBB, Negara anggota PBB adalah ipso facto terhadap statuta MI dan otomatis mempunyai akses ke MI. Kurang lebih ada 189 negara telah yang menjadi anggota PBB.
Kategori Negara yang kedua adalah Negara Bukan Anggota PBB akan tetapi party kepada Statuta MI. Selain itu Negara yang bukan anggota PBB dan bukan anggota Statuta MI dapat juga beracara di MI dengan persyaratan tertentu yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB. Adapun persyaratan yang dimaksud adalah menerima ketentuan dari Statuta MI, Piagam PBB (pasal 94) dan segala ketentuan berkenaan dengan pengeluaran dari MI atas dasar pertimbangan Majelis Umum PBB.
Kategori yang terakhir adalah Negara yang bukan anggota kepada Statuta MI. Untuk Negara-negara yang masuk dalam kategori ini harus membuat deklarasi untuk tunduk kepada segala ketentuan MI dan Piagam PBB (pasal 94),
“The International Court of Justice shall be open to a State which is not a party to the Statute of the International Court of Justice, upon the following condition, namely, that such State shall previously have deposited with the Registrar of the Court a declaration by which it accepts the jurisdiction of the Court, in accordance with the Charter of the United Nations and with the terms and subject to the conditions of the Statute and Rules of the Court, and undertakes to comply in good faith with the decision or decisions of the Court and to accept all the obligations of a Member of the United Nations under Article 94 of the Charter”

Salah satu landmark case atau kasus utama berkaitan dengan status Negara untuk beracara di MI adalah kasus tentang Pelaksanaan dari Konvensi Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Pembunuhan. Kasus ini mengetengahkan sengketa tentang penafsiran pasal 35 Statuta MI, siapa yang berhak menjadi pihak yang dapat beracara di MI, dalam hal ini, sengketa antara Bosnia-Herzegovina atau Yugoslavia. Pada keputusannya, MI menerima locus standi dari kedua pihak dengan dasar bahwa keduanya adalah anggota dari konvensi tersebut diatas.

3 Jurisdiksi MI
Secara umum, jurisdiksi dapat diartikan sebagai kemampuan atas dasar hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Hal ini juga berlaku bagi MI dimana jurisdiksi dijadikan dasar untuk menyelesaikan sengketa atas dasar hukum internasional. Untuk sebuah kasus dapat diterima atau admissible di MI, negara sebagai pihak yang beracara harus menerima jurisdiksi dari MI. Penerimaan jurisdiksi di dalam MI ini dapat dalam bentuk:

Perjanjian Khusus atau Special Agreement
Negara yang akan menjadi pihak bersengketa pada umumnya menyerahkan perjanjian khusus yang berisikan subjek sengketa dan pihak yang bersengketa. Ada 14 kasus yang memakai cara pembuatan perjanjian khusus antara para pihak untuk menerima jurisdiksi dari MI, yaitu kasus Asylum (Kolombia/Peru); Minquiers and Ecrehos (Perancis/Inggris); Sovereignty over Certain Frontier Land (Belgia/Belanda); North Sea Continental Shelf (Jerman/Denmark; Jerman/Belanda); Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya); Delimitation of the Maritime Boundary in the Gulf of Maine Area (Kanada/Amerika Serikat); Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta); Frontier Dispute (Burkina Faso/Mali); Land, Island and Maritime Frontier Dispute (El Salvador/Honduras); Territorial Dispute (Libya Arab Jamahiriya/Chad); GabcĂ­kovo-Nagymaros Project (Hongaria/Slovakia); Kasikili/Sedudu Island (Botswana/Namibia); Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia); Corfu Channel (Inggris v. Albania); Arbitral Award Made by the King of Spain on 23 December 1906 (Honduras v. Nikaragua)
Ketundukan dari Perjanjian Internasional
Dalam bentuk ini, jurisdiksi MI ditarik dari perjanjian internasional yang memang mengharuskan anggotanya untuk tunduk kepada jurisdiksi MI jika terjadi sengketa. Para pihak tinggal memakai dasar ketentuan dari perjanjian internasional tersebut yang mengharuskan untuk menerima jurisdiksi dari MI,
“The application shall specify as far as possible the legal grounds upon which the jurisdiction of the Court is said to be based; it shall also specify the precise nature of the claim, together with a succinct statement of the facts and grounds on which the claim is based”

Kurang lebih ada 300 perjanjian internasional yang menerima jurisdiksi MI jika ada sengketa. Pada umumnya jurisdiksi MI dari perjanjian internasional ini berkisar pada kasus tentang aplikasi atau interpretasi dari perjanjian internasional yang akan dimintakan kepada MI.
Deklarasi Ketundukan bagi negara Anggota Statuta MI

Pada bentuk ini, Negara yang menjadi anggota dari Statuta MI yang kemudian beracara di MI dapat dalam waktu yang tidak ditentukan untuk menyatakan ketundukannya ke MI , jadi tanpa membuat perjanjian khusus terlebih dahulu atau bersifat compulsory ipso facto. Kurang lebih ada 60 negara di dunia yang memakai cara ini untuk menerima jurisdiksi dari MI. salah satu contoh adalah :
“I have the honour, by direction of the Minister for Foreign Affairs, to declare on behalf of the Government of Japan, that in conformity with paragraph 2 of Article 36 of the Statute of the International Court of Justice, Japan recognizes as compulsory ipso facto and without special agreement, in relation to any other State accepting the same obligation and on condition of reciprocity, the jurisdiction of the International Court of Justice, over all disputes which arise on and after the date of the present declaration with regard to situations or facts subsequent to the same date and which are not settled by other means of peaceful settlement. This declaration does not apply to disputes which the parties thereto have agreed or shall agree to refer for final and binding decision to arbitration or judicial settlement. This declaration shall remain in force for a period of five years and thereafter until it may be terminated by a written notice”.

Keputusan MI tentang Jurisdiksi MI
Jika terjadi sengketa mengenai jurisdiksi MI maka sengketa tersebut akan diselesaikan oleh keputusan MI sendiri. Para pihak dapat mengajukan preliminary objections atau keberatan awal atas jurisdiksi MI. Ada 26 kasus dimana diajukan keberatan awal atas jurisdiksi MI.

Interpretasi Putusan
Jurisdiksi MI dilihat dari Statuta MI, Pasal 60, dimana MI harus memberikan interpretasi jika diminta oleh baik satu maupun kedua pihak yang beracara. Cara permintaan interpretasi putusan tersebut dapat dalam bentuk perjanjian khusus antara para pihak yang bersengketa, ataupun aplikasi sendiri dari salah satu pihak yang bersengketa. Contoh kasus interpretasi putusan dilakukan oleh negara Kolombia pada kasus Asylum antara Kolombia melawan Peru dan juga negara Nigeria dalam kasus Land and Maritime Boundary antara Nigeria melawan Kamerun

Revisi Putusan
Ketundukan pada jurisdiksi MI dengan cara ini adalah melalui aplikasi dengan syarat bahwa ada fakta baru (novum) yang belum diketahui MI dan para pihak ketika keputusan itu dibuat dan bukan karena ada unsur kesengajaan dari para pihak. Jangka waktu yang diberikan untuk revisi putusan adalah 10 tahun sejak keputusan dikeluarkan. Contoh untuk kasus revisi putusan adalah pada kasus Continental Shelf yang diajukan oleh negara Tunisia (Tunisia melawan Libya Arab Jamahiriya)

4 Urutan Beracara di MI
Secara umum mekanisme beracara di MI akan dijelaskan berurutan menurut bagiannya. Perlu digarisbawahi bahwa mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang sifatnya contentious.

Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement) atau Aplikasi (Application)

Bagian awal proses beracara dapat dilakukan dengan penyerahan perjanjian khusus (bilateral) antara kedua belah pihak untuk menerima jurisdiksi MI. Perjanjian khusus ini harus berisikan inti sengketa dan identitas para pihak. Karena tidak ada pembagian sebelumnya apakah negara A disebut sebagai Respondent atau Applicant, maka MI membedakan para pihak dengan cara memakai stroke oblique atau garis miring pembeda, contoh Indonesia/Malaysia.
Selain penyerahan perjanjian, juga ada bentuk lain proses awal beracara di MI, yaitu dengan penyerahan aplikasi (unilateral) oleh salah satu pihak. Pihak yang menyerahkan aplikasi berisikan identitas, Negara yang menjadi pihak lawan dan subjek dari konflik , disebut sebagai Applicant. Sementara negara yang lain disebut Respondent. Untuk bentuk ini, MI menggunakan singkatan v. atau versus dalam bahasa latinnya guna membedakan para pihak yang bersengketa, contoh Indonesia v. Malaysia
Perjanjian khusus atau aplikasi tersebut biasanya ditandatangani oleh wakil atau agent yang dilampirkan juga surat dari Menteri Luar Negeri atau Duta Besar di Hague dari negara yang bersangkutan.
Setelah diterima oleh Registrar (selanjutnya register) MI dan dilengkapi kekurangan-kekurangan jika ada sesuai dengan statuta MI dan Aturan Mahkamah, maka register MI akan mengirimkan perjanjian atau aplikasi tersebut ke kedua belah pihak dan negara anggota dari MI. Kemudian hal tersebut akan dimasukan ke dalam Daftar Umum Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan diteruskan dengan press release. Versi dua bahasa (Perancis dan Inggris) dari perjanjian atau aplikasi tersebut setelah didaftar, dialih-bahasakan dan dicetak, akan dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB, negara yang mengakui jurisdiksi MI dan setiap orang yang memintanya. Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh register adalah tanggal permulaan dimulainya proses beracara di MI.
Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di MI, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings). Pada dasarnya, MI memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis maupun presentasi pembelaan.

Pembelaan Tertulis (Written Pleadings)
Pada tahap ini urutan pembelaannya jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam hal perjanjian khusus maupun aplikasi, adalah Memorial dan Tanggapan Memorial (Counter Memorial). Jika ternyata para pihak meminta kesempatan pertimbangan dan MI menyetujuinya, maka dapat diberikan kesempatan untuk memberikan Jawaban (Reply).
Batasan waktu yang diberikan untuk menyusun memorial maupun tanggapan memorial ditentukan secara sama oleh MI, jika kedua belah pihak tidak mengaturnya. Ketentuan yang serupa juga berlaku dalam hal pemilihan bahasa resmi yang nantinya akan dipakai.
Sebuah memorial harus berisikan sebuah pernyataan fakta, hukum yang relevan dan submissions yang diminta, sedangkan tanggapan memorial harus berisikan argumen pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memorial, tambahan fakta baru jika diperlukan, jawaban atas pernyataan hukum memorial dan petitum yang diminta. Dokumen pendukung biasanya langsung menyertai memorial, akan tetapi jika dokumen tersebut terlalu panjang, maka dimasukan ke dalam lampiran. Di dalam tahap tertulis ini, MI dapat meminta dokumen dan penjelasan yang relevan dari para pihak yang bersengketa

Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)
Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka dimulailah proses presentasi pembelaan atau oral pleadings. MI menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan dari MI dan para pihak. Tahap ini bersifat terbuka untuk umum atau open for public, jika para pihak tidak menentukan lain dan disetujui oleh MI.
Para pihak mendapat dua kali kesempatan untuk memberikan presentasi pembelaan di depan MI. Jika para pihak menginginkan pengunaan bahasa selain bahasa resmi dari MI, maka pihak tersebut harus memberitahukan terlebih dahulu kepada register guna dipersiapkan terjemahan simultan yang telah dilakukan sejak 1965.
Waktu untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika MI beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untuk hearing tersebut dapat diperpanjang. Akan tetapi menurut Aturan Mahkamah 1978, pasal 60, proses hearing tersebut berada dibawah pengawasan MI dan waktu hearing disesuaikan dengan pertimbangan MI,

“The oral statements made on behalf of each party shall be as succinct as possible within the limits of what is requisite for the adequate presentation of that party's contentions at the hearing. Accordingly, they shall be directed to the issues that still divide the parties, and shall not go over the whole ground covered by the pleadings, or merely repeat the facts and arguments these contain. The Court may at any time prior to or during the hearing indicate any points or issues to which it would like the parties specially to address themselves, or on which it considers that there has been sufficient argument."

Perihal Khusus
Selain dari proses normal beracara di MI, juga ada perihal khusus yang dapat mempengaruhi jalannya proses beracara tersebut. Perihal tersebut adalah Keberatan Awal atau Preliminary Objection, Ketidakhadiran Salah Satu Pihak atau Non-Appearance, Keputusan Sela/Sementara atau Provisional Measures, Beracara Bersama atau Joinder Proceedings dan Intervensi atau Intervention.
Keberatan Awal (Preliminary Objections)
Keberatan awal diajukan oleh pihak yang dituduhkan atau respondent atas dasar aplikasi yang diajukan oleh pihak applicant untuk mencegah MI dari proses pengambilan keputusan. Adapun alasan yang biasanya digunakan untuk melakukan Keberatan Awal ini adalah bahwa MI tidak mempunyai jurisdiksi, aplikasi yang diajukan tidak sempurna dan hal lain yang dianggap signifikan oleh MI. Adapun keputusan MI berkenaan dengan Keberatan Awal ini adalah antara lain bahwa MI akan menerima Keberatan Awal tersebut kemudian menutup kasus yang diajukan dan menolak kemudian meneruskan proses beracara Keberatan Awal ini diatur dalam pasal 79 Aturan Mahkamah 1978.
Ketidakhadiran Salah Satu Pihak (Non-Appearance)
Non-Appearance biasanya dilakukan oleh pihak respondent dengan dasar antara lain menolak jurisdiksi MI. Akan tetapi ketidakhadiran pihak respondent ini tidak menghentikan jalannya proses beracara di MI. Proses normal beracara baik tertulis maupun presentasi akan terus berjalan yang kemudian diberikan keputusan MI.
Keputusan Sela/Sementara (Provisional Measures)
Jika pada suatu waktu dalam proses beracara terjadi hal-hal yang akan membahayakan subjek dari applikasi yang diajukan, maka pihak applicant dapat meminta MI untuk mengindikasikan usaha-usaha perlindungan (interim measures of protection) atau keputusan sela (provisional measures). MI dapat meminta para pihak untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membahayakan efektifitas keputusan MI atas permintaan Keputusan Sela tersebut. Ketentuan mengenai Keputusan Sementara ini diatur di dalam Aturan Mahkamah pasal 73-78


Beracara Bersama (Joinder Proceedings)
Jika MI menemukan bahwa ada dua pihak atau lebih dari proses beracara yang berbeda, akan tetapi mempunyai argumen dan petitum yang sama atas satu pihak lawan yang sama, maka MI dapat memerintahkan adanya proses beracara bersama (joinder proceedings). Para pihak tersebut hanya bisa mempunyai satu hakim ad hoc dengan satu pembelaan baik tertulis maupun presentasi yang digabung untuk melawan satu pihak yang sama.
Intervensi (Intervention)
MI memberikan hak kepada Negara lain (non-disputant party) yang bukan pihak dari sengketa di MI untuk melakukan intervensi atas sengketa yang diajukan . Hak ini dapat diajukan jika Negara tersebut beranggapan bahwa ada kepentingan dari sisi hukum atau legal nature interest yang akan terkena dengan adanya keputusan dari MI. Lebih jauh mengenai intervensi ini akan dibahas pada bab berikutnya.
Keputusan (Judgment)
Ada tiga cara untuk sebuah kasus dianggap telah selesai. Pertama, para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir. Kedua, pihak applicant atau kedua belah pihak telah sepakat untuk menarik diri dari proses beracara yang mana secara otomatis maka kasus itu dianggap selesai. Dan, ketiga, MI memutus kasus tersebut dengan keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan.
Selain itu pendapat hakim MI dibagi atas tiga bagian, yaitu pendapat yang menolak atau dissenting opinion, pendapat yang menyetujui tetapi berbeda dalam hal tertentu atau separate opinions dan pendapat yang menyetujui atau declarations.










Bab III

HAK INTERVENSI PADA MAHKAMAH INTERNASIONAL



1 Definisi Umum

Secara umum, tidak ada perbedaan definisi hak intervensi dalam kerangka hukum nasional maupun hukum internasional. Turunan atau derivasi kata intervensi dalam bahasa Inggris yang relevan pada karya tulis ini adalah intervention atau intervensi dalam bentuk kata benda dan intervene atau meng-intervensi dalam bentuk kata kerja. Kedua kata turunan ini mempunyai arti yang berbeda. Arti kata intervention lebih menekankan pada sebuah prosedur, sedangkan kata intervene lebih menekankan pada perbuatan untuk mendapatkan ijin dari pengadilan untuk melakukan intervensi, intervensi adalah sebuah cara yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk ikut serta atas kepentingannya dalam sebuah proses beracara yang sedang berlangsung,

“ Intervention is the procedure under which a third party may join an on-going lawsuit, providing the facts and the law issues apply to the intervenor as much as to one of the existing contestants. The determination to allow intervention is made by a judge after a petition to intervene and a hearing on the issue. Intervention must take place fairly early in the lawsuit, shortly after a complaint and answer have been filed and not just before trial since that could prejudice one or both parties who have prepared for trial on the basis of the original litigants. Intervention is not to be confused with joinder, which involves requiring all parties who have similar claims to join in the same lawsuit to prevent needless repetitious trials based on the same facts and legal questions, called multiplicity of actions”
“To intervene is to obtain the court's permission to enter into a lawsuit which has already started between other parties and to file a complaint stating the basis for a claim in the existing lawsuit. Such intervention will be allowed only if the party wanting to enter into the case has some right or interest in the suit and will not unduly prejudice the ability of the original parties to the lawsuit to conduct their case”

Perbedaan mendasar yang menjadi karakter hak intervensi dalam hukum internasional adalah ketundukan pihak yang melakukan intervensi. Jika kita mengambil pandangan dari sisi hukum nasional, intervensi dilakukan dengan dua cara yaitu sukarela atau voluntary dan wajib atau oligatory. Hal ini berbeda jika kita mengambil pandangan dari hukum internasional berkenaan dengan intervensi, yaitu dilakukan secara sukarela atau voluntary atas dasar konsesualisme
Sekilas persamaan hak intervensi dalam kerangka hukum nasional dan hukum internasional adalah bahwa hak intervensi sama-sama didasarkan dari kebutuhan untuk menghindari penuntutan ulang atau repetitive litigation. Jika ada beberapa kasus membahas permasalahan yang sama, maka hampir dapat dipastikan bahwa akan terjadi hasil yang bertentangan atau contradictory. Hal ini hanya akan memberikan ketidakjelasan hukum atau law obscurity dari hukum yang berlaku. Hakim Oda melihat kepentingan intervensi dalam hal penuntutan ulang ini dari segi economy of international justice, menunjuk pada sisi kemudahan beracara.
Sejarah intervensi dalam kerangka hukum internasional dimulai pada tahun 1899 dan 1907 ketika perumusan konvensi multilateral tentang Pacific Settlement of International Disputes di Den Hag, Belanda. Kemudian pada tahun 1920, jenis kedua dari intervensi terbentuk. Ketentuan bahwa sebuah Negara dapat melakukan intervensi jika kepentingan Negara tersebut terkena dampak dari sebuah putusan mahkamah, termaktub di dalam pasal 62 Statuta PCIJ. Dari titik ini hak intervensi kemudian berkembang seiring dengan kasus-kasus yang diajukan. Perlu diingat bahwa MI menganut system precedent, yaitu sistem yang memakai putusan-putusan terdahulunya atau past decisions sebagai bahan pertimbangan untuk keputusan yang akan diambil.
Kasus intervensi yang pertama adalah kasus tentang Continental Shelf antara Tunisia dan Libya Arab Jamihiriya pada tanggal 14 April 1981. Di dalam kasus ini MI memutuskan secara mutlak untuk menolak aplikasi intervensi Negara Malta. Kasus yang kedua tentang intervensi adalah kasus Continental Shelf antara Libya Arab Jamahiriya dengan Malta pada tanggal 21 Maret 1985, dimana MI kembali menolak aplikasi Negara Italia untuk melakukan intervensi. Keputusan kasus ke 2 diambil secara voting dengan 11 melawan 5 suara, berbeda dengan kasus yang pertama dimana secara mutlak menolak aplikasi Negara Malta.
Hak intervensi dalam hukum internasional mengalami perkembangan pada kasus ketiga, dimana aplikasi Negara Nikaragua di dalam kasus Land, Island and Maritime Frontier Dispute dikabulkan oleh MI. Keputusan yang dikeluarkan pada tanggal 13 September 1990, diambil secara mutlak atau unanimous. Keputusan sama yang mengabulkan intervensi oleh Negara ketiga kembali dikeluarkan pada kasus Land and Maritime Boundary antara Negara Kamerun dan Nigeria tertanggal 21 Oktober 1999. Dalam kasus ini Negara Equatorial Guinea mendapat ijin untuk melakukan intervensi pada kasus diatas.
Kasus yang paling akhir berkenaan dengan intervensi adalah kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, 2001 antara Negara Malaysia dan Indonesia. Di dalam kasus ini Negara Filipina megajukan hak intervensinya berkenaan dengan klaim Kalimantan Utara (North Borneo). MI, dengan voting 14 melawan 1 suara, menolak aplikasi Negara Filipina untuk melakukan intervensi.

2 Hukum Internasional tentang Intervensi
Ada dua aliran berkenaan dengan intervensi dalam hukum internasional, aliran yang mendukung dan yang menolak intervensi.
2.1. Aliran yang mendukung intervensi.
Aliran ini mempunyai pendapat antara lain sebagai berikut, pertama dari segi efektifitas. Intervensi akan berguna dalam arti baik yang menghilangkan kasus-kasus yang mempunyai objek sama maupun keputusan yang berbeda dalam kasus yang sama.
Kedua dari segi kepentingan umum, yaitu tentang waktu penyelesaian kasus untuk menghindari kemungkinan kontorversi yang ada atau Interest rei publicae ut sit finis litium. Kemudian jika melihat dari perkembangan hukum internasional, Intervensi bukan hanya menyelesaikan sengketa (Solving) akan tetapi juga pencegahan sengketa (Prevention).
Lebih jauh, intervensi memberikan MI kesempatan yang lebih banyak dalam rangka menarik negara-negara untuk menggunakan MI sebagai penyelesaian sengketa. Selain itu, intervensi juga memberikan MI pertimbangan hukum yang lebih objektif dengan masuknya pihak ketiga ke dalam proses beracara yang tengah berlangsung.
2.2 Aliran yang menolak intervensi
Aliran ini mempunyai pendapat sebagai berikut, pertama evolusi sejarah memperlihatkan bahwa hukum internasional lebih memilih diam atau reticence berkenaan dengan intervensi pihak ketiga di dalam sebuah penyelesaian hukum.
Kedua, jika dilihat dari sisi Negara yang melakukan intervensi ketika hak intervensi tidak dibatasi, maka kemungkinan negara ketiga untuk melakukan intervensi akan lebih banyak. Kemudian pihak ketiga dapat memanipulasi hak intervensi dengan cara mendapatkan quasi-advisory opinion, tetapi tidak terikat untuk melaksanakan kewajiban dari keputusan MI.
Sebaliknya, jika dilihat dari sisi Negara yang melakukan proses beracaranya, intervensi akan menyebabkan Negara cenderung untuk tidak menggunakan MI sebagai penyelesaian sengketa jika intervensi tidak dibatasi. Dan yang terakhir, walaupun keputusan MI hanya mengikat pihak yang bersengketa, akan tetapi pada faktanya pihak ketiga dapat terkena dampak putusan MI
2 Jenis Intervensi dan Dasar Hukum

MI membagi hak intervensi dalam dua ketegori yaitu, hak intervensi sebuah Negara atas keputusan sebuah kasus MI dan atas konstruksi sebuah perjanjian internasional.

3.1 Intervensi atas keputusan sebuah kasus MI
Secara preseden, kasus pertama intervensi jenis ini dilakukan dihadapan MI pada tahun 1981, kasus Continental Shelf antara Tunisia dan Libya Arab Jamahiriya, dimana Negara malta sebagai pihak yang melakukan intervensi. Jenis intervensi ini diatur di dalam pasal 62 dari statuta MI, yaitu :
“Should a state consider that it has an interest of a legal nature which may be affected by the decision in the case, it may submit a request to the Court to be permitted to intervene”
“It shall be for the Court to decide upon this request”

Lebih jauh lagi, hak intervensi jenis ini diatur dalam Aturan Mahkamah, 1978 di dalam pasal 81, 83, 84 dan 85. Mengacu dari pasal-pasal tersebut diatas, pengajuan hak intervensi harus mengandung tiga hal, yaitu kepentingan yang mempunyai karakter hukum atau “interest of legal nature”, objek yang jelas dan pasti atau “precise object” dan hubungan jurisdiksi atau “jurisdictional link”.

3.1.1 Kepentingan yang mempunyai karakter hukum

Kelemahan atau plaucity dari elemen ini adalah bahwa tidak ada definisi yang jelas, dalam hukum internasional yang berkenaan dengan kata “interest of legal nature”. Setiap Negara bebas menginterpretasikan kepentingannya dalam mengajukan hak intervensi berkenaan dengan kasus yang sedang berlangsung di MI. Hakim ad hoc Weeramantry dalam kasus Sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan memberikan pernyataan yang sama berkaitan dengan definisi dari kepentingan yang mempunyai karakter hukum. Akan tetapi, ada beberapa pedoman yang telah berkembang di dalam hukum internasional tentang intervensi, yaitu :
3.1.1.1 Kepentingan umum yang mungkin mendapatkan dampak dari keputusan MI
3.1.1.2 Kepentingan politik atau sosial
3.1.1.3 Kepentingan tentang perkembangan umum dari hukum atau “general development of law”
3.1.1.4 Kepentingan tentang penggunaan prinsip dan aturan umum hukum internasional pada kasus yang dimintakan intervensi
3.1.1.5 Kepentingan tentang hukum yang dipakai MI di dalam kasus lain
3.1.2 Objek yang jelas dan pasti
Elemen ini lebih menekankan pada diskresi dari MI atas pengajuan sebuah intervensi. Tidak ada, baik aturan maupun preseden MI yang mengatur lebih lanjut berkenaan dengan objek yang jelas dan pasti dalam hak intervensi.
3.1.3 Hubungan Jurisdiksi
Ada dua hal yang cukup menarik mengenai elemen ketiga dari hak intervensi ini. Pertama berkenaan dengan persetujuan dari pihak yang bersengketa terhadap intervensi tersebut, dan kedua tentang kekuatan mengikat dari putusan yang akan dibuat MI kepada pihak yang mengajukan intervensi tersebut.

3.1.3.1 Persetujuan dari pihak yang bersengketa

Ada perubahan mendasar dalam hukum internasional mengenai persetujuan dalam hak intervensi. Secara sejarah, persetujuan dari pihak yang bersengketa kepada pihak yang akan melakukan hak intervensi adalah obligatory,

“the voluntary intervention of a third party is admissible only with the consent of the parties that have concluded the compromise”


Kemudian paradigma ini berubah seiring dengan perkembangan hukum internasional. Pasal 62 dari Statuta MI tidak menyebutkan adanya keharusan untuk mendapat persetujuan dari pihak yang bersengketa guna melakukan sebuah hak intervensi. Jika sebuah Negara beranggapan bahwa kepentingannya akan terkena dampak dari sebuah keputusan MI, maka Negara tersebut mempunyai hak untuk melakukan intervensi.
3.1.3.2 Kekuatan mengikat putusan MI terhadap pihak yang mengajukan intervensi

Tidak ada ketentuan yang menyebutkan adanya keharusan untuk menjadi party dalam proses beracara bagi pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pihak ketiga dapat memilih untuk menjadi full party atau tidak dalam pengajuan intervensinya. Konsekwensi yang timbul akibat kondisi ini adalah bahwa sebuah Negara yang melakukan intervensi tetapi tidak consent untuk menjadi full party tidak terikat pada keputusan MI yang dibuat.

“a state permitted to intervene under Article 62 of the statute, but which does not acquire the status of party to the case, is not bound by the judgment in the proceedings in which it has intervened”


Keputusan MI hanya mengikat pada pihak yang bersengketa dan pada kasus yang tersebut saja. Akan tetapi jika hakim Oda berpendapat bahwa pihak ketiga tidak akan mendapat keadilan yang sama dibanding dengan pihak yang bersengketa jika tidak menjadi full party di dalam kasus yang sedang diproses,

“the intervening state will thus been able to protect its own rights merely so far as the judgment declines to recognize as countervailing the rights of either of the original litigant states. On the other hand, to the extent that the Court gives judgment positively recognizing rights of either of the litigant states, the intervening state will certainly lose all present or future claims in conflict with those rights.”


Menjadi full party atau tidak, nampaknya bukan suatu hal yang berpengaruh positif kepada pihak ketiga. Hal ini disebabkan karena walaupun pihak ketiga menyatakan tidak menjadi full party pada kasus yang sedang diproses, pihak ketiga tetap akan bound pada keputusan MI tersebut. Di dalam preseden kasus yang berkenaan intervensi, hakim Oda berpendapat bahwa,

“Nicaragua, as a non-party intervener, will certainly be bound by the judgment in so far as it relates to the legal situation of the maritime spaces of the Gulf”

Belum ada konsensus para hakim MI tentang urgensi adanya hubungan jurisdiksi dalam pengajuan hak intervensi jenis ini yang akan membawa pengaruh yang signifikan dalam penentuan apakah sebuah hak intervensi dapat dikabulkan atau tidak.

3.2 Intervensi atas konstruksi sebuah perjanjian internasional

Kasus pertama mengenai intervensi jenis ini terjadi di kasus S.S. Wimbledon. Pasal 63 dari Statuta MI menyebutkan,
“Whenever the construction of a convention to which states other than those concerned in the case are parties is in question, the Registrar shall notify all such states forthwith”.
“Every state so notified has the right to intervene in the proceedings; but if it uses this right, the construction given by the judgment will be equally binding upon it”.

Ketentuan lain yang mengatur hak intervensi jenis ini terdapat dalam Aturan Mahkamah, 1978, pasal 82, 83, 84, 86. Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hak intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional mempunyai elemen-elemen yaitu, pertama hanya Negara yang menjadi party dari konvensi yang dapat mengajukan hak intervensi jenis ini, dan kedua keputusan MI yang diambil mengikat kepada pihak yang melakukan intervensi seperti pada pihak yang beracara di sengketa tersebut.
Berbeda dengan jenis intervensi yang pertama, intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional ini belum membawa perdebatan yang substantial. Hal ini mungkin lebih disebabkan oleh sedikitnya kasus yang berkenaan dengan jenis intervensi ini.
Hubungan jurisdiksi tidak menjadi isu yang signifikan karena ketentuan yang jelas bahwa hanya Negara yang party dari perjanjian tersebut yang dapat melakukan intervensi. Selain itu keputusan MI pada pihak yang melakukan intervensi jenis ini, mengikat seperti pada pihak yang beracara, jadi sifat dari intervensi ini adalah obligatory setelah consent untuk melakukan intervensi. Hal ini berbeda dengan jenis intervensi atas dasar impact keputusan MI yang diberikan pilihan untuk tunduk atau tidak sebagai party dalam kasus yang sedang berjalan.
4 Mekanisme untuk Mengajukan Hak Intervensi

Untuk lebih memudahkan, pembahasan tentang mekanisme mengajukan hak intervensi dibagi atas dua bagian sesuai dengan jenis intervensi yang diatur di dalam pasal 62 dan 63 dari statuta MI. Baik jenis intervensi atas dasar sebuah keputusan MI ataupun atas dasar konstruksi perjanjian internasional, ketentuan pasal 38 dari Aturan Mahkamah tentang permulaan beracara atau institution of Proceedings harus diikuti

4.1 Intervensi atas dasar sebuah keputusan MI
4.1.1 Aplikasi Intervensi
Sebuah aplikasi intervensi jenis ini harus berisikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :

4.1.1.1 Nama wakil yang mengajukan aplikasi
4.1.1.2 Kepentingan yang mempunyai karakter hukum
4.1.1.3 Objek yang jelas dan pasti
4.1.1.4 Dasar jurisdiksi atau hubungan jurisdiksi yang diklaim antara pihak yang mengintervensi dan pihak yang bersengketa
4.1.1.5 Dokumen pendukung yang relevan

4.1.2 Waktu Pengajuan
Waktu pengajuan yang diperbolehkan dalam intervensi jenis ini adalah secepat mungkin atau as soon as possible dan sebelum waktu pembelaan tertulis atau written proceedings ditutup. Pengecualian untuk kondisi tertentu, exceptional circumstances, aplikasi dapat diajukan pada tahap yang berikutnya

4.2 Intervensi atas dasar konstruksi Perjanjian Internasional

4.2.1 Aplikasi Intervensi
Sebuah aplikasi intervensi jenis ini harus berisikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
4.2.1.1 Nama Wakil yang mengajukan aplikasi
4.2.1.2 Ketentuan yang menyebutkan bahwa Negara yang melakukan intervensi adalah party dari konvensi yang menjadi objek sengketa
4.2.1.3 Identifikasi dari ketentuan konvensi yang menjadi objek intervensi
4.2.1.4 Pernyataan atau pendapat tentang objek intervensi
4.2.1.5 Dokumen pendukung yang relevan

4.2.2 Waktu Pengajuan
Waktu pengajuan yang diperbolehkan pada dasarnya sama dengan intervensi jenis pertama (pasal 62) yaitu secepat mungkin dan sebelum tanggal dimulainya pembelaan presentasi atau oral presentation. Kondisi pengecualian seperti pada intervensi jenis pertama juga berlaku pada jenis intervensi ini

Setelah diajukan, register akan mengatur pembagian administratif dari aplikasi tersebut yang kemudian MI akan menentukan tanggal dimana para pihak yang bersengketa akan memberikan pendapat tertulis mereka atau written observations. Jika terjadi keberatan atau objection dari baik satu maupun pihak yang bersengketa atas intervensi yang diajukan, maka MI akan mendengarkan seluruh pendapat dari para pihak yang bersengketa dan pihak yang mengintervensi.
Jika intervensi atas dasar keputusan MI dikabulkan atau granted, maka pihak yang melakukan intervensi akan diberikan salinan pembelaan para pihak yang bersengketa. Selain itu pihak yang melakukan intervensi juga dapat memberikan pernyataan tertulis, written statement, dalam waktu yang ditentukan MI. Para pihak yang bersengketa berhak memberikan pendapat tertulis atas pernyataan tertulis dari pihak yang melakukan intervensi, dengan jangka waktu yang ditentukan oleh MI sebelum dimulainya waktu presentasi pembelaan. Pada waktu presentasi pembelaan, pihak yang melakukan intervensi dapat memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek sengketa.
Jika intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional diterima atau admitted, maka pihak yang melakukan intervensi akan diberikan salinan pembelaan para pihak yang bersengketa dan berhak memberikan pendapat tertulisnya berkenaan dengan objek dari intervensi yang bersangkutan dalam waktu yang ditentukan MI. Pada waktu presentasi pembelaan, pihak yang melakukan intervensi dapat memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek intervensi.


Bab IV

STUDI KASUS HAK INTERVENSI



1. Kasus Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya), Intervensi Malta, 14 April 1981

1.1. Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus ini dimulai tanggal 1 Desember 1978 antara Tunisia dan Libya Arab Jamahiriya. Subjek yang diajukan ke MI adalah mengenai perbatasan dasar benua atau delimitation of continental shelf antar kedua Negara tersebut. Pada tanggal 30 Januari 1981, Malta mengajukan intervensi atas kasus tersebut dengan dasar pasal 62 dari ketentuan Statuta MI. Keberatan atas intervensi ini diajukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Setelah melalui proses hearing, kemudian MI memutuskan untuk menolak intervensi yang diajukan Malta secara mutlak atau unanimous dengan Keputusan MI tertanggal 14 April 1981.


1.2. Analisa Kasus

Mengacu kepada ketentuan Aturan Mahkamah, 1978 pasal 81 paragraf 2 tentang intervensi, setiap Negara ketiga yang bermaksud untuk mengajukan hak intervensi harus mencantumkan kepentingan hukum atau interest of legal nature, objek yang jelas dan pasti atau precise object of intervention dan dasar hubungan jurisdiksi atau base for jurisdictional link. Setelah melihat aplikasi intervensi Malta dan keberatan-keberatan yang diajukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, MI sampai pada satu kesimpulan jika salah satu keberatan yang diajukan terbukti, maka MI tidak akan melanjutkan untuk membuktikan keberatan-keberatan yang lain dan menolak intervensi Malta.
Pada dasarnya Malta mengklaim mempunyai kepentingan pada kemungkinan-kemungkinan atau possible concern dari MI yang akan mengindentifikasi dan mempelajari faktor-faktor geografis dan geomorfis dari dasar benua yang disengketakan,


“Any findings of the Court that identified and assessed the geographical and geomorphological factors relevant to the delimitation of the Libya/Tunisia continental shelf and with any pronouncements made by the Court regarding, for example, the significance of special circumstances or the application of equitable principles in that delimitation”


Lebih jauh lagi, possible concern itu juga dapat berupa keputusan-keputusan MI yang akan memberikan dampak terhadap hak dan kepentingan hukum Malta jika Malta bermaksud untuk membuat batas dasar benua terhadap salah satu atau kedua pihak yang bersengketa. Selain itu Malta juga membuat reservasi tertulis yang menyatakan bahwa intervensi yang dilakukannya tidak dimaksudkan untuk membuat klaim baru atas subjek yang disengketa-kan. Melihat dari tanggal pengajuan, Malta tidak melewati waktu pengajuan intervensi, yaitu sebelum berakhirnya waktu pembelaan tertulis.
Berdasarkan permintaan tersebut MI berpandangan bahwa aplikasi yang diajukan Malta adalah sebuah kesempatan untuk melawan keputusan MI dalam penggunaan suatu kriteria tertentu atas kasus tersebut. Kemudian MI memutuskan jika intervensi atas dasar ini dikabulkan, maka akan terjadi ketidakpastian hukum dari para pihak yang bersengketa, yaitu batasan atas kepentingan hukum yang harus diajukan jika salah satu pihak ikut beracara tanpa ada klaim yang dipertahankan atas subjek sengketa. Selanjutnya MI berpendapat bahwa kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi atau future implications tidak dapat dijadikan kepentingan dari sisi hukum untuk pengajuan sebuah intervensi. MI mengambil dasar pada putusan PCIJ tahun 1922 yang menjadi pedoman MI yaitu untuk tidak berusaha menyelesaikan permasalahan yang mungkin terjadi,

“It should not attempt to resolve in the Rules of the Court the various questions which have been raised, but leave them to be decided as and when they occurred in practice and in the light of the circumstances of each particular case”

Syarat kedua dan ketiga dari intervensi yaitu precise object dan jurisdictional link, tidak dilanjutkan dibahas oleh MI karena salah satu keberatan yang diajukan kedua pihak yang bersengketa telah terbukti.
Keputusan MI yang menolak intervensi Malta adalah cukup rasional, walaupun secara geografis letak Negara Malta dapat terkena dampak seperti yang dimaksud dalam pasal 62 statuta MI. Kepastian hukum tidak akan ada jika ada sebuah Negara ketiga yang ikut beracara tanpa ada klaim atau petitum atas subjek sengketa.
Harus juga diingat bahwa kasus Intervensi Malta ini adalah kasus pertama yang berkenaan dengan jenis intervensi pasal 62 atau intervensi atas dasar keputusan MI yang diajukan ke MI. Penerapan ketat yang dilakukan MI atas pasal 62 pada kasus ini menggambarkan pandangan hukum internasional yang masih cenderung menolak kehadiran pihak ketiga untuk ikut beracara dalam sebuah penyelesaian sengketa.


2. Kasus Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), Intervensi Italia, 21 Maret 1984

2.1. Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus kedua berkenaan dengan intervensi masih berkisar tentang batas kontinen, yang kali ini diajukan oleh Libya Arab Jamahiriya dan Malta. Berdasarkan pada perjanjian khusus kedua belah pihak, pemberitahuan bersama atau joint notification disampaikan kepada register MI pada tanggal 26 Juli 1982. Pada tanggal 24 Oktober Negara Italia mengajukan aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 dari statuta MI. Proses hearing yang mendengarkan pendapat dari para pihak dan pihak ketiga dimulai tanggal 25 Januari 1984. Kemudian pada tanggal 21 Maret 1984, MI mengeluarkan keputusan untuk menolak aplikasi intervensi Italia dengan perbandingan suara 11 melawan 5.

2.2. Analisa Kasus
Pengajuan intervensi yang dilakukan Italia memenuhi persyaratan formal untuk sebuah intervensi. Dalam kasus ini, MI tidak memberikan pendapat tentang syarat yang ketiga yaitu jurisdictional link. Hal ini dilakukan atas dasar bahwa syarat pertama dan kedua telah tidak terpenuhi dalam aplikasi intervensi dari Italia. Selain itu, alasan MI menolak untuk memutuskan tentang status jurisdictional link dari Italia adalah karena mengadopsi preseden yang telah diambil pada kasus sebelumnya, yaitu intervensi dari Malta pada tahun 1981.

2.2.1. Kepentingan Hukum atau Interest of a Legal Nature

Dari sisi ini, MI diminta untuk memberikan perlindungan seperti yang termaktub dalam pasal 62 statuta MI dengan cara mencegah dampak yang mungkin terjadi atas sebuah keputusan yang dikeluarkan. Italia meminta MI untuk melindungi hak-haknya. Dari permintaan yang relatif cukup umum ini membawa konsekwensi praktek beracara MI untuk mengindentifikasi hak-hak dari Italia. Untuk mengindentifikasikan hak-hak dari Italia, maka MI juga harus mengindentifikasi hak-hak dari baik Libya maupun Malta sebagai pihak yang bersengketa.
Berdasarkan permintaan ini, MI berpandangan bahwa untuk menentukan hak-hak Italia dan hak-hak Negara yang bersengketa, secara otomatis akan melibatkan hubungan hukum dari ketiga Negara tersebut. MI tidak dapat menilai hubungan hukum dari ketiga Negara tersebut tanpa persetujuan yang Negara bersangkutan. Jika MI mengabulkan intervensi Italia, berarti MI telah melanggar azas konsensualisme yang menjadi dasar beracara di MI.


2.2.2. Objek yang pasti dan jelas atau Precise Object of Intervention

Selain akan membuat sengketa baru atau fresh dispute jika intervensi Italia dikabulkan, objek yang diajukan Italia juga tidak termasuk dalam past decisions dari MI yang berkenaan dengan intervensi. Kasus preseden MI tentang intervensi hanya menunjuk pada perlindungan hak, bukan pada identifikasi hak, seperti yang terjadi pada kasus Italia,

“…, since the only cases of intervention afforded by that Article [62] would be those in which the intervener was only seeking the preservation of its rights, without attempting to have them recognized.”


MI melihat objek intervensi dari Italia tidak masuk dalam kategori precise object seperti dalam pasal 81 Aturan Mahkamah. Tidak ada dalam baik wording maupun preseden MI yang mengatakan bahwa pasal 62 Statuta MI dimaksudkan sebagai cara alternatif untuk mengajukan sengketa baru ke MI.


3. Kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute (El Savador/Honduras), Intervensi Nikaragua, 13 September 1990


3.1. Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus ini diajukan kepada Register MI pada tanggal 11 Desember 1986, 2 tahun stelah kasus intervensi Italia tahun 1984. Objek sengketa pada kasus ini adalah Teluk Fonseca, yaitu batas daratan dan status hukum atas pulau dan daerah maritim dari Negara Honduras dan El Savador. Pada tanggal 17 November 1990, Nikaragua mengajukan aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 Statuta MI. Keputusan MI atas intervensi Nikaragua secara mutlak adalah mengabulkan intervensi Nikaragua pada tanggal 13 September 1990.


3.2. Analisa Kasus
Kasus intervensi Nikaragua ini adalah kasus pertama dalam sejarah MI dimana sebuah Negara ketiga dikabulkan untuk melakukan hak intervensinya. Di dalam kasus ini juga mulai dapat disimpulkan bahwa MI tidak mempersoalkan hubungan jurisdiksi dalam jenis intervensi pasal 62 (intervensi atas Keputusan MI).

3.2.1. Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature

Untuk sebuah intervensi dapat dipertimbangkan, pihak ketiga harus memperlihatkan adanya kepentingan hukum yang akan terkena dampak keputusan dari sebuah sengketa yang sedang diajukan. Beban pembuktian atau burden of proof, menurut hemat MI, berada pada pihak ketiga yang melakukan intervensi, bukan di MI. Pembuktian yang dimaksud hanya untuk memperlihatkan secara meyakinkan bahwa kepentingan hukumnya mungkin akan terkena dampak keputusan yang akan diambil MI, bukan harus maupun yang akan terkena dampak. Disini pembuktian hanya didasarkan pada kemungkinan yang relatif lebih mudah untuk dibuktikan,

“In the Chamber’s opinion, it is clear, first, that it is for a state seeking to intervene to demonstrate convincingly what it asserts, and thus to bear the burden of proof, and second that it has only to show that its interest “may” be affected not that it will or must be affected”



Di dalam kasus intervensi Nikaragua ini, MI menentukan bahwa ada tiga klaim dimana Nikaragua harus memperlihatkan kemungkinan terkena dampak keputusan MI, yaitu Keadaan Hukum atau Legal Situations dari pulau-pulau, Perairan Dalam dan Luar teluk Fonseca. Dari ketiga klaim tersebut, Nikaragua hanya mampu untuk memenuhi satu klaim, yaitu berkenaan tentang kondisi hukum di perairan dalam teluk. Akan tetapi , walaupun hanya satu klaim yang dapat dipenuhi, MI mengabulkan intervensi dari Nikaragua ini.

Jika melihat secara sejarah, memang Teluk Fonseca ini telah diputuskan oleh Central American Court of Justice sebagai sebuah historic bay yang mempunyai karakteristik sebuah laut tertutup atau closed sea. Lebih jauh lagi diputuskan oleh institusi yang sama bahwa teluk Fonseca itu dimiliki oleh tiga Negara secara bersama atau co-ownership, yaitu Negara El savador, Honduras dan Nikaragua. Sesuai dengan pasal 38 statuta, MI mengambil keputusan ini sebagai subsidiary means dan dianggap sebagai sebuah keputusan yang objektif.

3.2.2. Objek yang Jelas dan Pasti atau Precise Object of Intervention

Nikaragua mengajukan dua klaim untuk persyaratan yang kedua ini, yaitu untuk melindungi hak-hak hukumnya dan untuk memberikan informasi kepada MI berkenaan dengan hak-hak hukum Nikaragua atas Teluk Fonseca,

“First, generally to protect the legal rights of the Republic of Nicaragua in the Gulf of Fonseca and the adjacent maritime areas by all legal means available, and second to intervene in the proceedings in order to inform the Court of the nature of the legal rights of Nicaragua which are in issue in the dispute. This form of intervention would have the conservative purpose of seeking to ensure that the determination of the Chamber did not trench upon the legal rights and interests of the Republic of Nicaragua..”


Atas pertimbangan MI, kedua klaim tersebut diputuskan sebagai objek yang sesuai dengan persyaratan intervensi yang kedua yaitu precise object of intervention. Secara logika, memang objek yang diajukan Nikaragua relatif lebih mudah dan tidak membuat sebuah kasus baru atau fresh dispute seperti yang diajukan oleh kasus-kasus intervensi yang terdahulu.


3.2.3. Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link


Posisi MI tetap sama berkenaan dengan persyaratan ketiga yaitu bahwa hubungan jurisdiksi bukan sesuatu yang signifikan yang dapat mempengaruhi pertimbangan sebuah hak intervensi. MI kembali menegaskan alur logika atau logical links bahwa jika setiap Negara yang akan melakukan intervensi harus mempunyai hubungan jurisdiksi dengan Negara yang bersengketa, maka akan terjadi pemaksaan ketundukan ke MI, atau dengan kata lain bertentangan dengan asas konsesualisme yang menjadi dasar proses beracara di MI.
Dari seluruh reasoning MI yang berkenaan dengan hubungan jurisdiksi dalam hak intervensi, maka dapat diambil sebuah pedoman umum yang menggambarkan sistem hukum yang dipakai MI, yaitu system common law yang menekankan pada sumber persuasif keputusan-keputusan sebelumnya. Pedoman itu terlihat dari indikasi bahwa walaupun dalam aturan mahkamah, 1978 jelas tertulis kata “shall” yang berarti suatu keharusan bagi Negara ketiga untuk mempelihatkan hubungan jurisdiksi, tetapi dari keputusan yang telah dibuatnya hubungan jurisdiksi bukan merupakan suatu yang penting.


4. Kasus Land & Maritime Boundary (Kamerun/Nigeria), Intervensi Equatorial Guinea, 21 Oktober 1999


4.3. Posisi dan Keputusan Intervensi
Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Nigeria dan Kamerun yang meminta MI untuk memutuskan batas daerah dan maritim Bakassi Peninsula. Kasus ini dimulai tanggal 29 Maret 1994 dengan Aplikasi Kamerun dimana Nigeria mengajukan keberatan awal atau preliminary objection. Setelah Nigeria memberikan consent ke MI, maka kemudian MI mulai memeriksa kasus yang diajukan.
Lima tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Juni 1999, Negara Equatorial Guinea mengajukan intervensi dengan dasar pasal 62 yaitu intervensi atas keputusan MI. Aplikasi hak intervensi Negara Equatorial Guine dikabulkan secara mutlak oleh MI dengan putusannya tanggal 21 Oktober 1999.


4.4. Analisa Kasus

Salah satu alasan yang cukup mendasar berkenaan tentang kasus ini adalah bahwa secara tidak langsung Negara ketiga diundang atau invited untuk melakukan hak intervensi dengan putusan MI tentang keberatan awal dari Nigeria,

“ The Court notes that the geographical location of the territories of the other states bordering the Gulf of Guinea…, demonstrates that it is evident that the prolongation of the maritime zones where the rights and interests of Cameroon and Nigeria will overlap those of other states.”


Lebih jauh lagi, kedua Negara yang bersengketa baik Kamerun maupun Nigeria tidak mengajukan keberatan atas aplikasi intervensi yang diajukan oleh Equatorial Guinea.
Di sini Equatorial Guinea secara spesifik menyatakan bahwa kepentingan hukumnya lebih terletak pada batas maritim dari Bakassi Peninsula. Pada poin ini, kembali kedua Negara yang bersengketa tidak mengajukan keberatan atas hal tersebut,


“…which could allow the court to better informed on the general background of the case and to determine more completely the dispute submitted to it.”


“Whether or not Equatorial Guinea’s application is accepted, it will in Nigeria’s view make no difference to the legal position of Nigeria to the present proceedings, or to the jurisdiction of the court. On that basis, Nigeria leaves it to the court to judge whether and to what extent it is appropriate or useful to grant Equatorial Guinea’s Application.”


Pada kasus ini, tidak lagi dibahas tentang convincing demonstration yang diperlukan untuk memenusi syarat pertama ini, seperti pada kasus terdahulunya. Dapatlah diambil sebuah kesimpulan bahwa MI mengabulkan aplikasi Equatorial Guinea in advance dengan undangan tidak langsungnya kepada Negara ketiga untuk melakukan intervensi.
Untuk persyaratan yang kedua, posisi MI menjadi lebih permanen dengan menggunakan dasar kasus terdahulunya berkenaan tentang precise object yaitu untuk memberikan informasi agar MI dapat lebih memutus dengan objektif atas kasus yang disengketakan. Hal yang sama juga dapat dilihat dari signifikansi hubungan jurisdiksi yang tidak menjadi keharusan untuk pihak ketiga dalam melakukan hak intervensi.





5. Kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan (Malaysia/Indonesia), Intervensi Filipina, 12 Oktober 2001

5.3. Posisi dan Keputusan Intervensi
Indonesia dan Malaysia sebagai para pihak yang bersengketa memulai beracara di MI pada tanggal 2 November 1998. Objek sengketa dalam kasus ini adalah kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan. Pada tanggal 13 Maret 2001, Negara Filipina mengajukan aplikasi untuk melakukan intervensi atas dasar pasal 62. Sebelum mengajukan aplikasi tersebut, Filipina meminta salinan pembelaan dan dokumen terkait pada tanggal 22 Februari 2001 dengan dasar pasal 53 paragraf 1 Aturan Mahkamah. Kemudian, permintaan tersebut ditolak MI. Penolakan inilah yang nantinya menjadi salah satu argument dasar dari pihak Filipina. MI menolak intervensi Filipina atas kasus kedaulatan dari Pulau Sipadan dan Ligitan dengan keputusannya tanggal 23 Oktober 2001.

5.4. Analisa Kasus
Sebelum masuk ke pembahasan inti dari tiga persyaratan utama dalam pengajuan hak intervensi, ada baiknya jika melihat terlebih dahulu keberatan yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa atas intervensi yang dilakukan. Keberatan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, in casu Indonesia dan Malaysia terhadap aplikasi intervensi Filipina adalah bahwa Aplikasi Filipina terlambat diajukan dan dalam aplikasinya Filipina tidak memasukan daftar dokumen pendukung.
Dalam putusannya MI menyatakan bahwa aplikasi Filipina tidak melanggar ketentuan pasal 81 paragaf 1, karena dari para pihak sendiri belum memberikan pernyataan yang tegas tentang akhir dari pembelaan tertulis. MI melihat bahwa dari perjanjian khusus yang ditandatangani para pihak, masih ada kesempatan untuk melakukan tahap akhira dari proses pembelaan tertulis. Baru pada tanggal 28 Maret 2001 para pihak yang bersengketa memberikan pernyataan untuk tidak meneruskan proses pembelaan terulis, sedangkan aplikasi Filipina diajukan pada tanggal 13 Maret 2001, walaupun akhir dari putaran ketiga pembelaan tertulis berakhir pada tanggal 2 Maret 2001. MI melihat bahwa pemberitahuan para pihak akan telah selesainya proses pembelaan tertulis memang harus ditentukan dan dinyatakan.
Untuk klaim yang kedua yaitu tidak memasukan daftar dokumen pendukung, MI juga memutuskan sama, yaitu Filipina tidak melanggar pasal yang terkait, karena maksud dari pasal 81 paragraf 3 tersebut adalah bahwa hanya jika ada dokumen pendukung maka daftar dokumen tersebut harus disertakan. Tidak ada kewajiban bagi Negara yang melakukan intervensi untuk menyertakan dokumen pendukung aplikasinya.

5.4.1. Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature

Berkenaan dengan kepentingan hukum ini, Filipina mengajukan kepentingan hukumnya yaitu pada perjanjian-perjanjian dan bukti-bukti lain yang berkaitan dengan sengketa diatas. Lebih jauh lagi, Filipina mengajukan dua klaim untuk kepentingan hukumnya, yaitu interpretasi kata decision atau keputusan yang termasuk didalamnya reasoning atau analisa yang melatarbelakangi keputusan tersebut, dan sifat kepentingan hukum yang dapat mendasari suatu hak intervensi terjadi.
Untuk klaim yang pertama menggunakan dasar pasal 62 dengan referensi pasal 59 bahwa bukan saja hanya keputusan atau decision dari MI, akan tetapi juga analisa atau reasoning yang dapat membawa dampak pada kepentingan hukum Filipina. Dalam kaitannya dengan klaim ini, MI setuju dengan klaim Filipina karena jika mengambil textual interpretation dari redaksional kata decision, maka harus dilihat dari naskah aslinya yaitu naskah dalam Bahasa Perancis yang mempunyai arti lebih luas termasuk pada analisa dari keputusan tersebut.
Melihat dari kesamaan pandangan MI dengan Filipina, nampaknya akan membawa sedikit masalah untuk kasus-kasus yang nantinya akan diajukan ke MI. Tidak jelas mana yang lebih kuat sifat persuasive antara keputusan dengan analisa yang melatarbelakangi keputusan tersebut,

“…but, to interpret a decision as including “reasoning” might somehow stymie the Court in the performance of its judicial function in a particular case and place too onerous a burden on States by requiring them to be extra vigilant for fear of what the Court’s reasoning might be in particular case”.


Analisa disini juga diartikan sebagai separate dan dissenting opinion dari para hakim MI. Selain itu, kemungkinan untuk intervensi akan semakin terbuka dengan adanya unsure analisa yang dapat dijadikan dasar atas dampak yang mungkin didapati atas suatu kasus. Akan tetapi, jika melihat dari sisi pertimbangan hukumnya, memang MI dapat lebih mendapatkan pertimbangan hukum jika unsur analisa mempunyai kedudukan yang sama dengan keputusan.
Dalam proses keseluruhan beracara, Filipina tidak dapat membuktikan kepentingan hukum yang akan terkena dampak, baik dari unsur keputusan maupun unsur analisanya.
Klaim yang kedua mengenai sifat kepentingan hukum dari intervensi, MI melihat bahwa sifat kepentingan hukum untuk melakukan intervensi harus mengacu langsung kepada perihal atau objek sengketa. Hal ini didukung oleh mayoritas klaim dari Negara yang diperbolehkan melakukan intervensi, kasus Nikaragua dan Equatorial Guinea. Untuk klaim yang kedua ini, kembali Filipina gagal menunjukan kepentingan hukum yang mengacu langsung kepada inti sengketa. Unsur convincing demonstration kembali diambil sebagai dasar oleh MI dalam memutus klaim ini.


5.4.2. Objek yang jelas dan pasti atau Precise Object of Intervention

Filipina mengajukan tiga objek berkenaan dengan aplikasi intervensinya, yaitu:

“First, to preserve and safeguard the historical and legal rights of the Government of the Republic of the Philippines arising from its claim to dominion and sovereignty over the territory of North Borneo, to the extent that these rights are affected, by a determination of the Court of the question of sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan; Second, to intervene in the proceedings in order to inform the Honourable Court of the nature and extent of the historical and legal rights of the Republic of the Philipines which may be affected by the Court’s decision; and third, to appreciate more fully the indispensable role of the Honourable Court in comprehensive conflict prevention and not merely for the resolution of legal disputes.”



Untuk objek yang pertama dan kedua, MI mengambil formulasi yang sama dari keputusan terdahulunya tentang intervensi, bahwa melindungi dan memberikan informasi kepada MI atas hak-hak hukum yang ada, adalah diperbolehkan. Sedangkan untuk objek yang ketiga, karena dalam proses pembelaan presentasinya Filipina tidak menjelaskan serta menguatkan objeknya tersebut, maka MI menolak objek ketiga tersebut.

5.4.3. Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link

Seperti yang telah diputuskan pada kasus terdahulunya, tidak diperlukan adanya hubungan jurisdiksi dalam sebuah aplikasi intervensi dengan catatan bahwa Negara yang mengajukan intervensi tidak mempunyai maksud untuk ikut beracara di dalam MI. Pada kasus ini Filipina dengan jelas menyebutkan untuk tidak menjadi pihak yang bersengketa. Hubungan Jurisdiksi diperlukan hanya jika pihak yang melakukan intervensi bermaksud untuk menjadi pihak yang bersengketa dan maksud tersebut disetujui oleh para pihak yang sedang bersengketa.

Tata Cara Peradilan Pidana

TAHAP-TAHAP ACARA PERADILAN PERDATA

Proses beracara dalam Pengadilan Perdata diatur dalam HIR dan uu No 14 tahun 1970, yang mencakup:

TAHAPAN-TAHAPAN DALAM PERADILAN PERDATA:

A. TAHAP ADMINISTRATIF

a. Penggugat memasukkan surat gugatan ke Pengadilan Negeri yang berwenang
Menurut pasal 118 HIR, ditentukan bahwa kewenangan Pengadilan Negeri yang berhak untuk memeriksa perkara adalah:
(1) Pengadilan Negeri dimana terletak tempat diam (domisili) Tergugat.
(2) Apabila Tergugat lebih dari seorang, maka tuntutan dimasukkan ke dalam Pengadilan Negeri di tempat diam (domisili) salah seorang dari Tergugat tersebut. Atau apabila terdapat hubungan yang berhutang dan penjamin, maka tuntutan disampaikan kepada Pengadilan Negeri tempat domisili sang berhutang atau salah seorang yang berhutang itu.
(3) Apabila Tergugat tidak diketahui tempat domisilinya atau Tergugat tidak dikenal, maka tuntutan dimasukkan kepada Pengadilan Negeri tempat domisili sang Penggugat atau salah seorang Penggugat. Atau apabila tuntutan tersebut mengenai barang tetap, maka tuntutan dimasukkan ke dalam Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya barang tersebut terletak.
(4) Tuntutan juga dapat dimasukkan ke Pengadilan Negeri yang telah disepakati oleh pihak Penggugat

b. Penggugat membayar biaya perkara,
c. Penggugat mendapatkan bukti pembayaran perkara,
d. Penggugat menerima nomor perkara (roll).



Hak dan Kewajiban Tergugat/Penggugat:

Dalam hal pemahaman bahasa:
Pasal 120: Bilamana Penggugat buta huruf, maka surat gugatnya yang dapat dimasukannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat gugatan itu.
Pasal 131:
(1) Jika kedua belah pihak menghadap, akan tetapi tidak dapat diperdamaikan (hal ini mesti disebutkan dalam pemberitahuan pemeriksaan), maka surat yang dimasukkan oleh pihak-pihak dibacakan, dan jika salah satu pihak tidak paham bahasa yang dipakai dalam surat itu diterjemahkan oleh juru bahasa yang ditunjuk oleh ketua dalam bahasa dari kedua belah pihak.
(2) Sesudah itu maka penggugat dan tergugat didengar kalau perlu memakai seorang juru bahasa.
(3) Jika juru bahasa itu bukan berasal dari juru bahasa pengadilan negeri yang sudah disumpah, maka harus disumpah terlebih dahulu di hadapan ketua.
Ayat ketiga dari pasal 154 berlaku bagi juru bahasa.

Dalam hal gugatan balik:
Pasal 132 a:
(1) Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan/gugat balik, kecuali:
1e. kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
2e. kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan
3e. dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.
(2) Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugat melawan, maka dalam bandingan tidak dapat memajukan gugatan itu.

Dalam hal kewenangan Pengadilan:
Pasal 134: Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu dapat diminta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakimpun wajib mengakuinya karena jabatannya.

Dalam hal pembuktian:
Pasal 137: Pihak-pihak dapat menuntut melihat surat-surat keterangan lawannya dan sebaliknya surat mana diserahkan kepada hakim untuk keperluan itu.

Dalam hal berperkara tanpa biaya:
Pasal 237: Orang-orang yang demikian, yang sebagai Penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak berbiaya.
Pasal 238:
(1) Apabila penggugat menghendaki izin itu, maka ia memajukan permintaan untuk itu pada waktu memasukkan surat gugatan atau pada waktu ia memajukan gugatannya dengan lisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 118 dan 120.
(2) Apabila izin dikehendaki oleh tergugat, maka izin itu diminta pada waktu itu memasukkan jawabnya yang dimaksudkan pada Pasal 121.
(3) Permintaan dalam kedua hal itu harus disertai dengan surat keterangan tidak mampu, yang diberikan oleh Kepala polisi pada tempat tinggal si pemohon yang berisi keterangan yang menyatakan bahwa benar orang tersebut tidak mampu.

Penentuan hari sidang:
Pasal 122:
Ketika menentukan hari persidangan maka ketua menimbang jauh letaknya tempat diam atau tempat tinggal kedua belah pihak daripada tempat pengadilan negeri bersidang, dan dalam surat perintah sedemikian, maka waktu antara memanggil kedua belah pihak dan hari persidangan ditetapkan, kecuali dalam hal yang perlu sekali, tidak boleh kurang dari tiga hari pekerjaan.
Kemungkinan- kemungkinan yang dapat terjadi pada sidang pertama:

1.Penggugat hadir, tergugat tidak hadir
Pasal 125
(1) : jikalau si Tergugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap Pengadilan Negeri pada hari yang telah ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tak hadir, kecuali jika tuntutan itu melawan hak atau tidak beralasan.

2.. Penggugat tidak hadir, Tergugat hadir
Pasal 124: jikalau si Penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap Pengadilan Negeri pada hari yang telah ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka tuntutannya dipandang gugur dan si penggugat dihukum membayar biaya perkara; akan tetapi si penggugat berhak, sesudah membayar biaya tersebut, memasukkan tuntutannya sekali lagi.

3. Kedua belah pihak tidak hadir
Ada anggapan bahwa demi kewibawaan badan peradilan serta agar jangan sampai ada perkara yang berlarut-larut dan tidak berketentuan, maka dalam hal ini gugatan perlu dicoret dari daftar dan dianggap tidak pernah ada.

4. Kedua belah pihak hadir.
Apabila kedua belah pihak hadir, maka sidang pertama dapat dimulai dengan sebelumnya hakim menganjurkan mengenai adanya perdamaian di antara kedua belah pihak tersebut.


Hak dan Kewajiban Hakim

Hak:
• Dalam hal pemberian nasehat
Pasal 119: Ketua Pengadilan Negeri berkuasa memberi nasehat dan pertolongan kepada Penggugat atau wakilnya tentang hal memasukkan surat gugatnya.
Pasal 132: Ketua berhak, pada waktu memeriksa, memberi penerangan kepada kedua belah pihak dan akan menunjukan supaya hukum dan keterangan yang mereka dapat dipergunakan jika ia menganggap perlu supaya perkara berjalan dengan baik dan teratur.

• Dalam hal kewenangan hakim:
Pasal 159 ayat (4): Hakim berwenang untuk menolak permohonan penundaan sidang dari para pihak, kalau ia beranggapan bahwa hal tersebut tidak diperlukan.
Pasal 175: Diserahkan kepada timbangan dan hati-hatinya hakim untuk menentukan harga suatu pengakuan dengan lisan, yang diperbuat di luar hukum.
Pasal 180
(1) Ketua PN dapat memerintahkan supaya suatu keputusan dijalankan terlebih dahulu walaupun ada perlawanan atau bandingnya, apabila ada surat yang sah, suatu tulisan yang menurut aturan yang berlaku yang dapat diterima sebagai bukti atau jika ada hukuman lebih dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuasaan yang pasti, demikian juga dikabulkan tuntutan dahulu, terlebih lagi di dalam perselisihan tersebut terdapat hak kepemilikan.
(2) Akan tetapi dalam hal menjalankan terlebih dahulu ini, tidak dapat menyebabkan sesorang dapat ditahan.

Kewajiban:
• Dalam hal pembuktian:
Pasal 172: Dalam hal menimbang harga kesaksian, hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi; cocoknya kesaksian yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselsiihkan; tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi itu untuk menerangkan duduk perkara dengan cara begini atau begitu; tentang perkelakuan adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi-saksi itu dapat dipercaya benar atau tidak.
Pasal 176: Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tidak bebas untuk menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang mengaku itu, kecuali orang yang berutang itu dengan masksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti dengan kenyataan yang dusta.

• Dalam hal menjatuhkan putusan:
Pasal 178
(1) Hakim karena jabatannya, pada waktu bermusyawarah wajib mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
(2) Hakim wajib mengadili atas seluruh bagian gugatan.
(3) Ia tidak diijinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari yang digugat.

• Dalam hal pemeriksaan perkara di muka pengadilan:
Pasal 372:
(1) Ketua-ketua majelis pengadilan diwajibkan memimpin pemeriksaan dalam persidangan dan pemusyawaratan.
(2) Dipikulkan juga pada mereka kewajiban untuk memelihara ketertiban baik dalam persidangan; segala sesuatu yang diperintahkan untuk keperluan itu, harus dilakukan dengan segera dan seksama.


UU No. 14 Tahun 1970
Tugas Hakim:
Pasal 2 ayat (1): Tugas pokok daripada hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Pasal 5 ayat (2): Dalam perkara perdata hakim harus membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pasal 14 ayat (1): Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan ia wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Upaya Hukum:
Sifat dan berlakunya upaya hukum berbeda tergantung apakah merupakan upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa.

1.Upaya Hukum Biasa:
Upaya hukum ini pada azasnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh UU. Upaya hukum ini bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara.
Upaya hukum biasa ini terbagi dalam:

a. Perlawanan; yaitu upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat. Pada dasarnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang dikalahkan. Bagi penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan tersedia upaya hukum banding.

b. Banding; yaitu pengajuan perkara kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan.

c. Prorogasi; yaitu mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu persetujuan kedua belah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak wenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada hakim dalam tingkat peradilan yang lebih tinggi.

d. Kasasi; yaitu tindakan MA untuk menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan tertinggi. Alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan kasasi adalah:
1). Tidak berwenang atau emlampaui batas wewenang,
2). Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
3). Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

2. Upaya Hukum Luar Biasa
• Peninjauan Kembali; yaitu peninjauan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dengan syarat terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan oleh UU.
• Derdenverzet atau Perlawanan Pihak Ketiga; yaitu perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga terhadap putusan yang merugikan pihaknya. Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa. Apabila perlawanannya itu dikabulkan, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga.

Peradilan pajak / Kelemahan

Wakil Ketua Komisi XI DPR, Merchias Markus Mekeng mengeluarkan pendapat bahwa, “kasus Gayus (Tambunan) harus jadi acuan dan kesempatan untuk memperdalam masalah yang terjadi di Pengadilan Pajak. Apakah kekalahan negara itu disebabkan suap-menyuap atau karena kelemahan perundang-undangan yang dimanfaatkan wajib pajak yang nakal.” (kompas 29/3/2010)
Dualisme Kewenangan dan kekuasaan
Hal pertama yang menjadi kelemahan dalam pengadilan pajak adalah dualisme kewenangan dan kekuasaan Pengadilan Pajak . Inilah yang membedakan Pengadilan Pajak dengan pengadilan umum. Kewenangan pengadilan pajak adalah memeriksa dan memutuskan sengketa pajak (pasal 31 ayat 1). Sedangkan dari kekuasaannya, pengadilan pajak merupakan pengadilan pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutuskan sengketa pajak (pasal 33). Sehingga putusan Pengadilan Pajak bersifat final and binding (putusan terakhir dan berkekuatan hukum tetap)
Dalam sengketa pajak yang terjadi antara Wajib Pajak (WP) dengan pejabat yang berwenang , maka yang dapat diajukan ke pengadilan pajak adalah termasuk banding atau gugatan. Sedangkan prosedur keberatannya tidak diatur dalam UU peradilan pajak tetapi diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (KUP), yang mana disebutkan dalam pasal 25 (ayat 1) bahwa WP dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak . Itupun dengan syarat, WP harus melunasi dulu hutang pajaknya, sehingga dapat diperkenan mengajukan keberatan.
Dari sini, terdapat kelemahannya;
a. WP diperhadapkan pada kekuasaan dan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk memutuskan, mengabulkan seluruhnya, sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar (pasal 26 ayat 3 UU KUP) bukan pada kewenangan dan kekuasaan hakim pada Pengadilan Pajak dalam memutuskan sengketa pajak sesuai yang diatur dalam UU Pengadilan Pajak
b. Dengan dualisme seperti ini, maka menjadi pertanyaan mendasar, kenapa keberatan di Direktorat Jenderal Pajak ditolak, namun pada tingkat banding sebagian besar keberatan itu diterima oleh Pengadilan Pajak?
c. Bahwa keberatan pajak yang ditangani diluar peradilan pajak adalah sebuah pintu yang terbuka lebar hingga terjadinya “makelar kasus” dan suap, karena pengawasan untuk hal ini tidak diatur.
Kekuasaan Kehakiman
Kelemahan selanjutnya dalam Pengadilan Pajak adalah tidak dintegrasikannya Pengadilan Pajak di bawah Mahkamah Agung (MA). Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan UU Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan pengadilan satu atap di bawah MA. Kekuasaan MA hanya dibatasi menyangkut pembinaan teknis peradilan (pasal 5 ayat 1 UU Pengadilan Pajak) sedangkan urusan pembinaan organisasi , administrasi dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan yang sekarang telah menjadi Kementrian Keuangan (pasal 5 ayat 2)
Posisi Pengadilan Pajak yang saat ini dibawah Kementrian Keuangan, menurut penulis akan melemahkan fungsi pengawasan dan independensi hakim dalam Pengadilan Pajak. Lembaga negara apapun dalam struktur pemerintahan suatu negara, memakai sistem checks and balances. Pengawasan internal tentu saja tidak cukup sehingga memerlukan pengawasan eksternal. Untuk itulah, lingkaran dan praktik mafia kasus dalam Pengadilan Pajak sulit untuk diputuskan karena sulitnya MA dan pengawasan eksternal lainnya masuk lebih jauh ke dalam sistem peradilan pajak.
Mengenai hakim yang beracara dalam Pengadilan Pajak, menurut Kepala Sub Bagian Informasi Sekretariat Pengadilan Pajak, Jefri Wagiu, mayoritas dari 48 hakim di Pengadilan Pajak adalah mantan pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementrian Keuangan. Hakim karier yang ingin menjadi hakim Pengadilan Pajak harus mengikuti ujian negara yang diadakan Ditjen Pajak (kompas 30/3/2010)
Jika demikian faktanya, maka tidak heran saat ini ada sekitar 9700-an kasus sengketa pajak yang menumpuk di Pengadilan Pajak karena faktor diatas. Barangkali, penulis menyarankan agar kedepannya, seleksi dan penerimaan calon hakim Pengadilan Pajak harus dibuka pada publik, sehingga publik dapat mengetahui dan mengukur sampai sejauh mana profesionalisme dan independensi hakim-hakim yang memutuskan sengketa pajak. Hal ini juga dapat diteruskan dengan membuka putusan Pengadilan Pajak kepada publik, mengingat Pengadilan Pajak menganut asas terbuka.
Titik awal
Dengan terkuaknya kasus mafia hukum yang melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Tambunan, maka menjadi titik awal untuk membenahi sistem perpajakan serta Pengadilan Pajak itu sendiri demi cita-cita reformasi birokrasi dan reformasi hukum.
Reformasi Birokrasi di Kementrian Keuangan bukan hanya dititikberatkan pada persoalan remunerasi, tetapi pembinaan mental aparaturnya, pelayanan yang prima, sehingga menurut penulis, sebesar apapun gaji yang diterima, jika mentalnya seorang aparatur sudah bobrok, maka sama saja.
Mengenai reformasi hukum dalam lingkup Pengadilan Pajak, seperti yang penulis sudah uraikan diatas, maka sudah saatnya mengevaluasi kembali UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, mencakup dintegrasikan kembali Pangadilan Pajak di bawah MA, perekrutan hakim yang benar-benar akuntabel, jujur dan mempunyai integritas tinggi serta kemudahan pengawasan dalam hukum acara Pengadilan Pajak.
Jika kelemahan dalam UU Pengadilan Pajak ini dapat segera diatasi, maka setidaknya, kekalahan negara dalam skala besar melawan WP dapat diminimalisir. Pajak merupakan garda terdepan untuk penerimaan negara. Jika pemerintah menutup mata dengan hal ini, maka tidak heran perbandingan penerimaan pajak akan tidak berbanding lurus dengan produk domestik bruto (PDB).
Kini tantangan-tantangan lain harus segera dijawab, seperti beranikah jajaran aparatur di Kementrian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak untuk memberikan pembuktian terbalik bahwa tidak ada lagi pelanggaran dan penyelewengan lainnya setelah Gayus. Kalau tidak, apa kata dunia?
Salam Damai untuk Indonesia Maju!
*Yustus Maturbongs, Asisten pada Ombudsman Republik Indonesia kantor Perwakilan Sulawesi Utara dan Gorontalo. Pernah mengikuti Pelatihan Penanganan Keluhan tentang Kasus Perpajakan dan Kepabeanan, Medan 13-16 Oktober 2009.

Konstitusi Munurut Para Pakar

Muh. Ridhwan Indra
Suatu konstitusi juga memiliki sifat yang fleksibel (flexible) dan rigid (rigid). Akan tetapi—perlu dibatasi—fleksibel dan rigid di sini bukanlah fleksibel dan rigid yang dipandang dari sisi cara mengubahnya, tetapi dipandang dari muatannya, karena konstitusi yang bersifat fleksibel tersebut merupakan bagian dari klasifikasi konstitusi rigid. Berkenaan dengan hal ini, Muh. Ridhwan Indra mengatakan bahwa konstitusi juga bersifat fleksibel dan rigid, tetapi yang dimaksud bukanlah dari sisi cara mengubahnya, namun dilihat dari sisi materinya, apakah mudah atau sukar mengikuti perkembangan zaman. Kalau konstitusi itu dapat dengan mudah mengikuti perkembangan zaman, maka ia dikatakan bersifat fleksibel (elastis), dan jika sebaliknya berarti ia bersifat rigid.
Sebagai catatan, suatu konstitusi karena berbentuk (diklasifikasikan) sebagai konstitusi rigid dalam perubahannya, ia harus memiliki sifat fleksibel (elastis) dalam materinya. Guna menghilangkan keraguan tersebut—antara pemahaman fleksibel dari sisi perubahannya dengan fleksibel daris sisi materinya—dalam tulisan ini selanjutnya akan digunakan kata elastis saja, sebagai sifat pokok atau mendasar dari materi suatu konstitusi. Indikasi sifat elastis tersebut biasanya diungkapkan dengan ungkapan “diatur dengan undang-undang”, “ditetapkan dengan undang-undang”, “diatur dalam undang-undang”, atau ungkapan “sesuai dengan undang-undang”. Semua ungkapan tersebut memiliki arti bahwa pengaturan selanjutnya diserahkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.
Ringkas dan elastis merupakan sifat yang diperlukan bagi suatu konstitusi. Selain suatu konstitusi bermuatan segi-segi yang bersifat pokok, mendasar atau asas-asasnya saja, konstitusi juga harus terdiri dari muatan-muatan yang dapat dengan elastis (mudah) mengikuti perkembangan zaman, agar tetap eksis sebagai suatu UUD (Rechtsverfassung). Sebaliknya, jika konstitusi itu bersifat rigid, ia akan kaku menghadapi perkembangan yang terjadi, akhirnya ia mempunyai nilai nominal saja.
Sungguhpun demikian, ada juga yang beranggapan kalau konstitusi itu terdiri dari muatan-muatan yang panjang (tidak ringkas), khususnya menurut paham kodifikasi, di mana keseluruhan masalah-masalah yang dianggap penting oleh negara harus dimasukkan ke dalam UUD. Namun, anggapan tersebut dalam perkembangan berikutnya tidak lagi dianut sepenuhnya. Adapun yang menyebabkan tidak seluruh masalah yang dianggap penting oleh negara dimasukkan ke dalam UUD sesuai dengan paham kodifikasi tersebut, menurut Muh. Ridhwan Indra, dikarenakan oleh dua faktor; pertama, disadari bahwa tidak semua yang dianggap penting dalam suatu negara merupakan suatu hal yang bersifat pokok atau mendasar; kedua, bahwa sesuai dengan nafas atau pembawaan hukum itu sendiri mengisyaratkan bahwa hukum selalu akan berubah dan berkembang menurut perkembangan zaman, apabila semua yang penting dimasukkan dalam UUD, maka UUD itu harus sering diubah, karena sesuatu yang penting bahkan sangat penting sekalipun pada suatu zaman, seringkali pada zaman yang lain seiring dengan perkembangan yang terjadi, sudah menjadi kurang penting atau bahkan tidak lagi penting sama sekali.17
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, sebaiknya muatan dari UUD hanyalah hal-hal yang bersifat mendasar atau pokok saja. Adapun terhadap hal-hal yang dianggap penting meskipun kurang bersifat mendasar, upayanya kemudian dengan memasukkannya ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya. Karena peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UUD, lebih mudah untuk diubah dan dibuat sesuai dengan tuntutan zaman.
Berkenaan dengan bentuknya, konstitusi dikenal mempunyai sifat tertulis dan tidak tertulis,18 dan juga bersifat derajat tinggi dan tidak derajat tinggi.19 Akan tetapi, terhadap adanya konstitusi yang bersifat tertulis dan tidak tertulis tersebut, penulis sedikit keberatan dengan dua pertimbangan. Pertama, sepakat dengan pandangan C.F. Strong, bahwa pembagian konstitusi ke dalam jenis konstitusi tertulis (written contitution) dan tidak tertulis (unwritten contitution) merupakan pembedaan yang keliru (false distinction), karena menurutnya tidak ada konstitusi yang seluruhnya tertulis maupun tidak tertulis.20 Seperti halnya Inggris, menurut sebagian pandangan tidak memiliki konstitusi tertulis, tetapi kenyataannya Inggris memiliki kontitusi tertulis, seperti Bill of Rights (1689), Parliament Acts of 1911 dan sebagainya. Kedua, adanya pembagian konstitusi ke dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis tersebut merupakan suatu klasifikasi (pembagian) dari jenis-jenis konstitusi, namun bukan merupakan sifat dari konstitusi. Dengan kata lain, penulis tidak sepakat dengan pandangan tentang adanya pembagian konstitusi ke dalam jenis tertulis dan tidak tertulis, dan jika pandangan tersebut ada, maka yang dimaksudnya adalah bentuk pembagian tetapi bukan sifat konstitusi.
Hans Kelsen
Menurut Hans Kelsen (ahli filsafat hukum) menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang atau bertingkat. Suatu norma hukum berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi, dan bersumber lagi pada norma hukum yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma dasa / norma yang tertinggi dalam suatu negara disebut “Grundnorm”. Jadi Grandnorm merupakan puncak dalam kesatuan tata hukum / norma-norma hukum yang berlaku disuatu negara.
Hans Nawiasky (murid Hans Kelsen) mengembangkan lebih lanjut teori jenjang norma hukum disuatu negara itu berkelompok-kelompokkedalam 4 tingkat, yaitu :
1.staatfundamentalnorm atau norma fundamental negara.
2.staatgrundgesetz atau aturan dasar / pokok negara.
3.formellgesetz atau undang-undang.
4.verordnung and autonome satzung atau aturan pelaksana dan aturan otonom.
Jadi menurut Hans Nawiyasky, norma hukum tertinggi dan merupakan kelompok pertama disebut staatfundamentalnorm atau fundamental negara. Notonegoro SH. Menamakan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental. Joeniarto menyebutnya sebagai norma pertama, dan Hamid S. Attamimi menyebutnya sebagai cita hukum (rechts-idee). Norma fundamental ini ditetaokan oleh masyarakat / pembentuk negara dan menjadi landasan dasar filosofi yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pembentukan norma-norma hukum dibawahnya atau bagi pengaturan negara lebih lanjut.
Untuk memperjelas , perhatikan bagan perbandinga antar jenjang norma hukum diatas !



Sri Soemantri
Konstitusi dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri (Sri Soemantri) :
- Kabinet dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dibentuk berdasarkan kekuatan yang menguasai parlemen
- Anggota kabinet sebagian atau seluruhnya dari anggota parlemen
- Presiden dengan saran atau nasihat Perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakan pemilihan umum.
Konstitusi dengan ciri-ciri seperti itu oleh Wheare disebut “Konstitusi sistem pemerintahan parlementer”. Menurut Sri Soemantri, UUD 1945 tidak termasuk ke dalam kedua konstitusi di atas. Hal ini karena di dalam UUD 1945 terdapat ciri konstitusi pemerintahan presidensial, juga terdapat ciri konstitusi pemerintahan parlementer. Pemerintahan Indonesia adalah sistem campuran.

Peradilan Cepat dan Biaya Ringan

Sejak keluarnya hukum agama sebagai dasar salah satu dari empat lembaga peradilan di Indonesia, Pengadilan Agama semakin teguh dan mantap dalam menjalankan fungsinya. Hal ini ditegaskan dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal ini.Dalam kesempatan ini penulis ingin mengemukakn satu persoalan yang menyangkut tentang proses beracara di Pengadilan Agama, yaitu bagaimanakah penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam memeriksa, menyelesaikan, dan memutus perkara perceraian yang menjadi wewenangnya, mengingat bunyi ketentuan pasal 57 ayat (3) dan pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yaitu Pengadilan Agama membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Karena hal ini tidak lain adalah untuk melindungi hak-hak para pencari keadilan di samping menambah kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan itu sendiri. Tetapi proses beracara di Pengadilan tetap tidak boleh mengurangi ketepatan dalam pemeriksaan dan penilaian terhadap hukum dan keadilan dan Pengadilan harus tetap memberi perlakuan yang sama terhadap diri setap orang di muka Pengadilan sesuai dengan asas Equality before the law. Dalam penelitian ini penulis memilih Pengadilan Agama Surakarta sebagai tempat untuk melakukan penelitian dan para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama Surakarta. Karena luasnya kompetensi absolut yang dipegang oleh Pengadilan Agama Surakarta, maka penulis membatasi penelitian hanya pada perkara perceraian saja. Untuk mendapatkan data yang valid, peulis menggunakan tekhnik pengumpulan data dngan cara interview dan observasi menggali sumber data dari pihak Pengadilan Agama Surakarta dan juga para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama Surakarta, peraturan perundang-undangan yang terkait, buku-buku kepustakaan yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama Surakarta dalam menerapkan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam memeriksa, menyelesaikan, dan memutus perkara perceraian belum sepenuhnya berjalan dengan efektif. Beberapa kendala yang menyebabkan belum terlaksananya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan di Pengadilan Agama Surakarta antara lain berasal dari pihak Pengadilan Agama sendiri dan juga dari para pihak yang berperkara. Kendala-kendala dari pihak Pengadilan Agama yaitu antara lain banyaknya perkara yang masuk dan kurangnya ruang sidang yang tersedia, adanya ketidak beresan di Pengadilan Agama sendiri yaitu adanya oknum Pegawai Pengadilan Agama yang meminta biaya kepada para pihak apabila ingin perkaranya cepat selesai. Sedangkan kendala yang berasal dari pihak yang berperkara antara lain salah satu pihak tidak hadir padahal kepadanya sudah dilakukan pemanggilan secara patut sehingga perlu dilakukan pemanggilan sampai dua kali atau lebih, para pihak yang mengemukakan alasan yang berbelit-belit sehingga hakim belum bisa menyimpulkan duduk perkaranya, para pihak tidak segera menghadirkan saksi atau alat bukti sehingga belum ada cukup bukti untuk memutuskan perkaranya, adanya kuasa hukum yang terkesan bertele-tele dalam membantu kliennya untuk menyelesaikan perkara perceraiannya serta pandangan para pihak yang berperkara tentang mahalnya berperkara dengan menggunakan jasa pengacara.

Batuan Hukum pajak

BANTUAN HUKUM TERHADAP TERSANGKA DALAM PENYIDIKAN PERKARA PERPAJAKAN

A. Latar Belakang Masalah
Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara perlu terus ditingkatkan sehingga pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan kemampuan sendiri, berdasarkan prinsip kemandirian. Peningkatan kesadaran masyarakat dibidang perpajakan harus ditunjang dengan iklim yang mendukung peningkatan peran aktif masyarakat serta pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan undang-undang pajak yang demikian itu diharapkan dapat memberikan penekanan yang lebih pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat Wajib Pajak dan kepentingan negara. Keseimbangan kepentingan dimaksud berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang tidak berat sebelah atau tidak memihak, adil, serasi dan selaras dalam wujud tata aturan yang jelas dan sederhana serta memberikan kepastian hukum. Peranan sektor pajak yang menyumbang hampir delapan puluh persen pembiayaan Anggaran Pembiayaan dan Belanja Negara (APBN) yang menentukan penghidupan rakyat Indonesia, bukan dari minyak atau hasil hutan, sehingga kejahatan penggelapan atau manipulasi pajak sangat merugikan kepentingan rakyat luas. Dalam upaya untuk meningkatkan penerimaan negara tersebut diperlukan penegakan hukum atau Law Enforcement yang dijalankan secara adil dan tanpa pandang bulu, yang selalu mengedepankan supremasi hukum diatas kepentingan lainnya. Supremasi hukum pada penegakan hukum dalam meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, maka akan terkait dengan konsep negara hukum. Dalam kaitan ini konsep negara hukum yang menempatkan kekuasaan yudikatif itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri, bebas dan merdeka, yang merupakan inspirasi lahirnya negara demokrasi, dipelopori oleh Baron de Montesquieu, (1698-1755), seorang ahli hukum Perancis dan penulis filsafat tentang sej arah dan masalah kenegaraan, dalam bukunya “De l’ esprit des Lois”, tentang Konstitusi Inggris, menyebutkan perlunya kekuasaan yang terpisah yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif. Prinsip kedaulatan hukum kita wujudkan dalam gagasan Rechtsstaat atau Rule of Law serta prinsip supremasi hukum yang selalu kita dengung-dengungkan setiap waktu. Adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah: Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan; Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun; Legalitas dalam arti dalam segala bentuknya. Negara Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechts staat), demikian bunyi penjelasan Undang Undang Dasar Republik Indonesia. Kemudian UUD 1945, Pasal I ayat (3) hasil perubahan ketiga menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Demikian diatur dalam Pasal I ayat (3) UUD 1945, hasil perubahan ketiga. Penegakan negara hukum, tercermin dalam Pasal 24, Undang- Undang Dasar 1945, yang mengatur kekuasaan kehakiman, yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang yaitu Undang-Undang No. 14 tahun 1970, sebagaimana telah diubah lagi yang terakhir dengan undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Ketentuan Pasal 8 undang-undang tersebut mengatur: Setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah, sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap atau disebut juga Asas praduga tidak bersalah atau Presumption of Innocent. Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 11 ayat (1) dalam Universal Declaration of Human Rights (DUHAM). Majelis Umum PBB, melalui Resolusi No. 217 A (III), tanggal 10 Desember 1948, menyatakan: Setiap orang yang dituntut, karena disangka melakukan suatu pelanggaran pidana, dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka dan di dalam sidang itu diberikan segala j aminan yang perlu untuk pembelaannya. Pentingnya hak-hak tersangka untuk dihormati juga diatur dalam Pasal 14 dan 15 Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan telah diadopsi pada tanggal 16 Desember 1966 dan diterima dalam Sidang Umum PBB yang mengatur perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap hak-hak tersangka. Konsep mengenai Hak Asasi Manusia itu di perlakukan dalam konteks hukum nasional positif, yang dalam hal ini tidak saja merupakan ketentuan konstitusional, melainkan juga terpancar dalam TAP MPR dan Perundang¬Undangan lain, dimana UUD 1945 dan TAP MPR sebagai garis bimbingan, disamping ideologi kita Pancasila dan masing-masing agama itu dapat merupakan faktor determinant yang dapat memberi bentuk pada isi dan substansi dari konsep mengenai Hak Asasi Manusia itu sendiri. Kemudian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam sidangnya tanggal 13 Nopember 1998 mengeluarkan TAP MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang memuat perintah kepada lembaga-lembaga negara untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM dan menugaskan kepada Presiden dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen mengenai HAM. Berdasarkan TAP MPR tersebut, kemudian terbentuk Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pada Pasal 18 undang-undang tersebut yang jelas mengatur pentingnya perlindungan HAM terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana. Diberlakukannya undang-undang tentang HAM tersebut, diilhami dengan telah diterapkannya peraturan perundang-undangan tentang HAM yang telah menjadi norma hukum Internasional di belbagai negara di dunia, terutama di negara-negara maju, sebagai bentuk penghargaan atas hak-hak asasi manusia, khususnya terkait dengan perlindungan terhadap hak-hak tersangka yang diduga melakukan suatu tindak pidana, untuk mendapatkan bantuan atau penasehat hukum. Demikian sebagaimana halnya di Amerika Serikat dengan adanya Putusan Supreme Court ( Mahkamah Agung ) tertanggal 16 Juni 1966, dalam Penetapan Miranda Ys. Arizona, yang Membatalkan Putusan Pengadilan sebelumnya dan Memerintahkan Penyidik untuk Mengulang Proses Penyidikan kasus tersebut, karena hak-hak tersangka atau terdakwa tidak dipenuhi sesuai dengan Amandemen kelima Konstitusi Amerika Serikat. Sejak saat itu berlaku asas yang dikenal dengan Miranda Warning dan telah menjadi praktek Polisi Penyelidik atau Penyidik untuk membacakan hak-hak tersangka. Inti asas ini adalah seseorang yang dituduh dan akan diperiksa karena diduga melakukan suatu tindak pidana, Polisi harus lebih dahulu memberitahu hak-hak tersangka. Namun salah satu problematika hukum terbesar di Indonesia adalah permasalahan implementasinya, meskipun Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM, membuat beberapa aturan perundang-undangan yang mengatur mengenai HAM, melakukan amandemen konstitusi yang menurut prinsip-prinsip HAM tetapi masih saja aturan-aturan tersebut bersifat normatif, pelaksanaan dan implementasi HAM tidak boleh hanya di atas kertas belaka namun harus berwujud melalui implementasi kebijakan, pola pikir, gaya hidup, cara pandang dan penegakkan hukum. Menurut pendapat Luhut M.P. Pangaribuan: Pengalaman menunjukkan bahwa pencari keadilan belum merasa terayomi oleh hukum karena proses peradilan yang terlaksana belum mampu mewujudkannya. Dalam banyak hal sangat mengecewakan bahkan mulai ada kecenderungannya untuk menjauhkannya. Bila ditelaah sesungguhnya banyak penyebabnya, termasuk demoralisasi yang terus menerus pada aparatur penegak hukum, namun bila di generalisasikan adalah karena asas peradilan cepat, mudah dan sederhana, serta jujur, imparsial dan obyektif belum bisa secara terus menerus dilakukan dan dipertahankan. Kedudukan penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan pada tingkat penyidikan, terbatas hanya melihat serta mendengar atau Within Sight and Within Hearing. Ketentuan Pasal 115 ayat (1) undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), masih bersifat fakultatif, ada kecenderungan penyidik tidak memperhatikan hak tersangka akan haknya memperoleh bantuan hukum atau disediakan penasihat hukum bagi yang terkena dalam pengaturan Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Keberadaan penasihat hukum masih di curigai sebagai orang-orang yang mengganggu kelancaran pemeriksaan. Logika hukum masyarakat belum terbiasa menerima, mengapa orang yang melakukan kejahatan harus dibela, akibatnya sering penasehat hukum harus menerima caci maki, disini masyarakat belum memahami bahwa walaupun seorang itu dicap sebagai penjahat, namun hak-haknya secara hukum harus tetap dilindungi, termasuk berhak untuk mendapat bantuan hukum. Keberadaan penasihat hukum bisa mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan besar sekali manfaatnya, apalagi bagi tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, paling tidak mencegah penyidik melakukan tekanan atau pelecehan baik secara fisik ataupun secara mental dan membuat suasana pemeriksaan lebih manusiawi dan dari segi psikologis, kehadiran penasihat hukum dalam pemeriksaan, mendorong tersangka lebih berani mengemukakan kebenaran yang diyakininya. Kata dapat didampingi, bisa juga diartikan, tidak dapat didampingi, seolah-olah tergantung belas kasihan pejabat penyidik. Dengan demikian agar ketentuan dapat didampingi konsisten dan konsekwen dengan asas keseimbangan antara kepentingan tersangka dengan kepentingan umum, serta keseimbangan antara penegakan hukum dan pelaksanaan wewenang dengan kepentingan perlindungan hak asasi tersangka, seyogyanya bersifat hak dengan pengecualian terbatas. Demikian pula ketentuan Pasal 72 KUHAP yang menyatakan: Atas permintaan tersangka atau penasihat hukum, pejabat yang bersangkutan memberikan Salinan Berita Acara Pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya, pada prakteknya sering diabaikan. Hambatan dan kesulitan secara umum pada pemeriksaan penyidikan, yaitu tidak adanya keseimbangan kedudukan dan persamaan derajat antara penyidik dan penasihat hukum. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 115 dan Pasal 72 KUHAP yang bersifat himbauan, sehingga yang terjadi adalah adanya kecenderungan perlakuan yang bersifat diskriminatif. Perlakuan penyidik terhadap satu tersangka atau penasihat hukum bisa berbeda dengan perlakuan terhadap tersangka atau penasihat hukum yang lain. Terhadap pelanggaran ini, pengadilan sering kali bersikap toleran atas alasan demi melindungi kepentingan umum dengan mempergunakan landasan, hak siapa yang lebih diutamakan, hak individu tersangka atau hak kepentingan umum. Dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, belum ada kebijakan baku dari lembaga penegak hukum mengenai parameter yang dapat diajadikan alasan kuat dan masuk akal untuk menentukan, apakah tersangka atau terdakwa memenuhi persyaratan untuk dilakukan penahanan, sampai ada putusan pengadilan yang final. Dalam mengembangkan kebijakan penahanan perlu diperhatikan due process of law khususnya asas praduga tidak bersalah dan memperlakukan seorang tersangka secara lebih manusiawi dan tidak diperlakukan seolah-olah sudah terbukti bersalah, serta tidak membuat nama baik dan integritasnya dilanggar sebelum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Dalam penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang pelaksanaannya mengacu pada ketentuan KUHAP, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan direktorat jendral pajak, diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan di bidang pajak. Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Penyidik PNS) Pajak berbeda dengan wewenang Penyidik Polri, yaitu adanya kewenangan lain yang dimiliki Penyidik PNS Pajak adalah untuk mencari dan mengumpulkan keterangan atau laporan dan kewenangan untuk meminta keterangan dan barang bukti dari orang-orang pribadi atau badan, dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perpajakan. Kewenangan ini menyiratkan adanya inisiatif dari pihak Penyidik PNS pajak, dituntut untuk aktif tidak hanya mengumpulkan keterangan agar menjadi lebih lengkap dan jelas, tetapi juga sudah melangkah lebih maju yakni meneliti kebenaran. Sehingga pada proses penyidikan dengan melakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan, Penyidik PNS pajak sudah memperoleh alat-alat bukti yang diperlukan sebagaimana halnya ditemukannya barang bukti, pada penyidikan tindak pidana Psikotropika. Hal ini membuat penyidik merasa memiliki posisi yang sangat dominan, yang seringkali proses pemeriksaan penyidikan, tidak didampingi oleh penasihat hukum tersangka, dengan alasan bahwa barang bukti sudah diperoleh, hingga tidak diperlukan lagi kehadiran penasihat hukum. Kalaupun diperlukan semata-mata untuk mendampingi hanya dalam persidangan di pengadilan, bahkan seringkali kehadiran penasihat hukum baru ada setelah berita acara pemeriksaan (BAP) dibuat atau tidak hadir pada saat dibutuhkan.
Demikian pula pada penyidikan tindak pidana di bidang pajak, kehadiran penasihat hukum dianggap akan mengganggu proses penyidikan dan pengembangan penyidikan yang tengah berlangsung. Tindak pidana perpajakan tidak mungkin bisa dilakukan oleh seorang pelaku saja. Berbeda dengan tindak pidana Psikoterapika, yang bisa dilakukan oleh seorang pelaku yang tertangkap tangan kedapatan membawa barang bukti. Oleh karena itu, untuk melakukan tindak pidana pajak, seperti dalam kasus penggelapan pajak tidak mungkin dilakukan oleh seorang saja karena merupakan tindak kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok orang, yang mempunyai peran masing-masing, berbeda antara yang satu dengan yang lainnya seperti yang melakukan, menyuruh melakukan, turut serta atau membantu melakukan tindak pidana tersebut. Didalam praktek penyidik punya kecenderungan membatasi informasi atau keterangan yang sudah diperoleh untuk tidak menyampaikan kepada pihak lain, termasuk tidak segera menyerahkan berkas secara lengkap kepada penuntut umum, kecuali pada hari-hari terakhir masa penyidikan habis Waktunya. Pada saat proses penyidikan masih berlangsung seperti dalam hal belum tertangkapnya semua pelaku tindak pidana, sehingga di khawatirkan kejahatan tersebut sulit untuk diungkap secara komprehensif. Untuk mengungkap kejahatan di bidang perpajakan, seperti dalam mengumpulkan keterangan dan barang bukti, kemudian menganalisanya, diperlukan data yang begitu banyak dan rumit, sehingga memerlukan waktu yang tidak sedikit. Hal ini bertambah kompleks bila tersangka ditahan, menurut KUHAP batas waktu penahanan sudah ditetapkan yaitu dua puluh hari oleh penyidik di tambah empat puluh hari atas ijin penuntut umum, yang keseluruhannya menjadi enam puluh hari saja. Di dalam prakteknya, terdapat perbedaan antara keinginan pembuat undang-undang yang ingin memberi perlindungan terhadap tersangka di satu pihak, dan perlakuan yang diberikan oleh Penyidik PNS di bidang perpajakan dilain pihak. Perbedaan tersebut dapat terlihat di dalam penyidikan tindak pidana pajak, dengan mengambil contoh kasus bantuan hukum yang diberikan kepada tersangka dalam penyidikan pajak. Tersangka dalam kasus tersebut adalah karyawan PT. CRP yang berkedudukan di Jakarta, yang diduga telah melakukan tindak pidana penggelapan pajak. Perkara tersebut ditangani oleh Penyidik PNS Pajak pada Direktorat Intelejen dan Penyidikan, Direktorat Jendral Pajak, Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Pengikut