Cari Blog Ini

Halaman

Minggu, 23 Januari 2011

PTUN

AAUPL
Asas-asas umum pemerintahan adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan aturan hukum. Asas-asas ini tertuang pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Asas hukum adalah jantungnya aturan hukum, ia menjadi titik tolak untuk berpikir, membentuk dan mengintepretasikan hukum. Peraturan hukum merupakan pedoman tentang perilaku yang seharusnya, berisi apa yang boleh, apa yang diperintahkan, dan apa yang dilarang.
Beberapa istilah untuk menyebut asas pemerintahan yang baik ini bermacam-macam, misalnya di Belanda dikenal dengan Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuungr (ABBB), di Inggris dikenal The Principal of Natural Justice , di Perancis diistilahkan Les Principaux Generaux du Darioit Coutumier Publique, di Belgia disebut Aglemene Rechtsbeginselen, di Jerman dinamakan Verfassung Sprinzipien dan di Indonesia dikatakan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak”.
Asas-asas umum pemerintahan yang layak berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi penggugat. Sebagian besar asas-asas umum pemerintahan yang layak, masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan masyarakat. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah Hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan Hukum positif.
Arti penting dan fungsi asas-asas umum pemerintahan yang layak bagi administrasi negara adalah sebagai pedoman dalam penafsirkan dan penerapan terhadap ketentuan perundang-undangan yang sumir, samar atau tidak jelas, juga untuk membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara mempergunakan freies ermessen yang jauh menyimpang dari ketentuan Undang-Undang. Administrasi negara dapat terhindar dari perbuatan onrechtmatige daad, detournement de pouvoir, abus de darioit, dan ultravires. Bagi masyarakat, sebagai pencari keadilan, asas-asas umum pemerintahan yang layak dapat digunakan sebagai dasar gugatan. Bagi hakim Tata Usaha Negara, dapat digunakan segabai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan pejabat Tata Usaha Negara dan asas-asas umum pemerintahan yang layak juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang Undang-Undang.
Dua jenis penyimpangan penggunaan wewenang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yakni penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvoir), yaitu badan/pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Sewenang-wenang (willekuer), yaitu badan/pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
Pembagian asas-asas umum pemerintahan yang layak terkait dengan beschikking, adalah asas-asas yang bersifat formal/prosedural yaitu yang berkaitan dengan prosedur yang harus dipenuhi dalam pembuatan ketetapan. Seperti asas kecermatan, asas permainan yang layak. Asas-asas yang bersifat material/substansial yaitu isi dari keputusan pemerintah. Seperti asas kepastian Hukum, asas persamaan, asas larangan sewenang-wenang, larangan penyalahgunaan wewenang. Untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka syarat pertama adalah mewujudkan Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Untuk itu perlu diletakkan asas-asas umum penyelenggaraan negara agar dapat tercipta Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance). Kemudian, peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mengawasi mereka, baik Eksekutif, yudikatif atau pun legislatif supaya tetap berpegang teguh pada Asas-asas Umum Pemerintahan ini.
Pelaksanaan sistem pemerintahan di negara kita tentu didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang layak. Maka dari itu apabila terjadi akibat hukum yang merugikan dari adanya penetapan tertulis dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, lebih-lebih bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mendapat keputusan. Dalam hal ini badan atau pejabat tata usaha negara sebagai tergugat. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukum formal yang mengatur prosedur jalannya sistem peradilan tata usaha negara dari mulai pengajuan gugatan samapai pada keluarnya keputusan hakim.
Dalam terjadinya sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat ketidakseimbangan kedudukan antara pihak tergugat dengan pihak penggugat. Karean itu sangat dibutuhkan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak sebagai pedoman bagi hakim dalam memutus sengketa tersebut.
Asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL), dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Asas-asas umum pemerintahan yang layak ini merupakan konsep terbuka (open begrif). Karena itu akan berkembang dan disesuaikan dengan ruang dan waktu dimana konsep ini berada.
Asas-asas pemerintahan yang layak dapat dibedakan dalam asas-asas yang tertulis, yaitu :
1. Larangan menyalahgunakan kekuasaan (pasal 53 ayat 2 b UU Nomor 5 tahun 1986 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Asas ini melarang untuk menggunakan suatu wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang itu. Setiap wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan selalu diberikan dengan maksud/tujuan-tujuan tertentu. Larangan ini diartikan sebagai kewajiban penyelenggaraan pemerintahan agar menggunakan wewenang pemerintahannya itu sesuai dengan maksud pembuat undang-undang serta agar berbuat dengan niat dan motif-motif yang bersih dan murni.
2. Larangan berbuat sewenang-wenang (pasal 53 ayat 2 c UU Nomor 5 tahun 1986 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Larangan ini terutama berperan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan yang bersangkutan memiliki kebebasan (Freiss Ermessen), ialah dalam arti bahwa wewenang itu tidak boleh jelas-jelas dipergunakan dengan tidak menurut nalar. Penguasa harus selalu menimbang-nimbang semua kepentingan-kepentingan yang tersangkut. Asas ini menghendaki agar kepentingan-kepentingan yang tersangkut itu ditimbang-timbang secara obyektif dengan memperhatikan ukuran-ukuran dalam hubungannya satu dengan yang lain, sehingga tidak terjadi bahwa ada kepentingan-kepentingan yang tidak ditimbang/diperhatikan, bahwa sebaliknya ada kepentingan yang terlalu diberi bobot yang berlebihan.
Asas-asas yang tidak tertulis ialah :
Asas-asas formal mengenai pembentukan keputusan :
1. Asas kecermatan formal
Asas ini menghendaki bahwa semua fakta-fakta dan masalah–masalah yang relevan diinventarisasi dan diperiksa, untuk dipertimbangkan dalam mengambil keputusannya. Asas ini dapat dilanggar dengan berbagai cara ialah :
- Pihak-pihak yang berkepentingan tidak didengar dengan cara yang tidak benar.
- Fakta-fakta tidak diperiksa dengan cermat.
- Advis-advis dipergunakan dengan tidak cermat.
2. Asas fair play
Warga masyarakat harus diberi segala kesempatan untuk mempertahankan kepentingannya. Juga harus dihindari kesan seolah-olah penguasa yang bersangkutan berpihak. Asas ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara. Asas ini penting dalam peradilan administrasi negara karena terdapat perbedaan kedudukan antara pihak penggugat dengan tergugat. Pejabat selaku pihak tergugat secara politis memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan penggugat.


Asas-asas formal mengenai formalitas keputusan :
1. Asas kepastian hukum formal
Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang mengunytungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas kepastian hukum memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki daripadanya. Asas ini berkaitan dengan prinsip dalam hukum administrasi Negara, yaitu asas het vermoeden van rechtmatig heid atau presumtio justea causa, yang berarti setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan hukum oleh hakim administrasi.
2. Asas motivasi
Asas motivasi untuk keputusan, asas ini menghendaki setiap ketetapan harus mempunyai motivasi/alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan ketetapan. Alasan harus jelas, terang, benar, obyektif, dan adil. Alasan sedapat mungkin tercantum dalam ketetapan sehingga yang tidak puas dapat mengajukan banding dengan menggunakan alasan tersebut. Alasan digunakan hakim administrasi untuk menilai ketetapan yang disengketakan.

Asas-asas material mengenai keputusan :
1. Asas kepastian hukum material
Hukum material terkait erat dengan asas kepercayaan. Asas ini ini menghendaki dihotmatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarakan suatu keputusan pemerintah, meskipun itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan. Asas kepastian hukum materiil terutama berarti bahwa hukum yang berlaku harus dilaksanakan, serta bahwa keputusan-keputusan tidak diubah dengan berlaku surut untuk kerugian warga masyarakat yang bersangkutan.
2. Asas kepercayaan
Asas kepercayaan yaitu legal expectation, harapan-harapan yang ditimbulkan (janji-janji, keterangan-keterangan, aturan-aturan kebijaksanaan dan rencana-rencana) sedapat mungkin harus dipenuhi.
3. Asas persamaan
Asas ini menghendaki agar kasus yang sama seharusnya memperoleh perlakuan yang serupa. Asas ini megandung juga larangan diskriminasi, ialah membeda-bedakan suatu /beberapa golongan penduduk berdasarkan hal-hal yang khusus dimiliki masing-masing golongan itu.
4. Asas kecermatan material
Asas ini menghendaki agar perbuatan-perbuatan penyelenggara pemerintahan sesedikit mungkin menyebabkan kerugian. Kadang-kadang tidak dapat dihindari bahwa ada kepentingan-kepentingan yang dirugikan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu demi kepentingan umum. Dalam hal itu kerugian harus sebanyak mungkin dibatasi, dalam hal-hal tertentu dengan memberi sejumlah ganti rugi.
5. Asas keseimbangan
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan pegawai dan adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum. Artinya terhadap pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan orang yang berbeda akan dikenakan sanksi yang sama, sesuai dengan criteria yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Asas larangan willekeur
Asas pemberian alasan yakni ketetapan harus memberikan alasan, harus ada dasar fakta yang teguh dan alasannya harus mendukung. Penyalahgunaan wewenang yaitu tidak boleh menggunakan wewenang untuk tujuan yang lain. Willekeur atau wewenang, kurang memperhatikan kepentingan umum, dan secara kongkret merugikan
PUTUSAN
A. Pengertian Putusan
Pada dasarnya penggugat mengajukan suatu gugatan ke pangadilan adalah bertujuan agar pengadilan melalui hakim dapat menyelesaikan perkaranya dengan mengambil suatu putusan. Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting bukanlah hukumnya, karena hakim dianggap tahu hukumnya (ius curia novit), tetapi mengetahui secara objektif fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang sebenarnya sebagai dasar putusannya., bukan secara aprori lansung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yag sebenarnya.
Fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara akan dapat diketahui hakim dari alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Setelah dianggap cukkup hakim harus menentukan peraturan hokum yang dapat diterapkan. Menyakut tentang peraturan hukum yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan sengketa itu oleh hakim. Pada dasarnya menunjukan bahwa sebelum menjatuhkan suatu putusan hakim hakim melakukan penelitian dalam rangka menemukan hukum.
Dari uraian diatas kiranya cukup tepat apabila disebutkan bahwa putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak menpunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan dipersidangan oleh hakim. Putusan yang diucapkan dipersidangan tidak boleh berbeda dengan yang tetulis (vonnis). Selanjutnya juga dijelaskan bahwa didalam literatur Belanda dikenal istilah vonnis atau gewijsde. Yang dimkasud dengan vonnis adalah putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga hanya tersedia upaya hukum yang khusus. Dalam kaitannya dengan hukum acara PTUN, putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah :
a. Putusan pengadilan tingkat pertama ( Pengadilan Tata Usaha Negara) yang sudah tidak dapat dimintakan upaya banding.
b. Putusan pengadilan tinggi ( Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) yang tidak dimintakan kasasi.
c. Putusan mahkamah agung dalam tingkat kasasi
Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada dasarnya adalah putusan pengadilan yang tidak memiliki upaya hukum ( banding dan kasasi), namun sebagaimana yang disebutkan diatas banding dan kasasi adalah upaya hukum biasa, disamping itu terdapat upaya hukum istimewa atau upaya hukum luar biasa. Dengan demikian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap juga masih bias dilawan dengan upaya hukum istimewa itu. Dalam praktik, hukum acara perdata maupun hukum acara pidana hal ini bukan merupakan hal yang baru lagi. Bahkan, ada perkembangan bahwa upaya hukum istimewa itu tidak lagi dapat dimiliki penggugatdalam rangka memperjuangkan hak-haknya, tetapi dapat juga dipergunakan pihak tergugat. Penggunaan upaya hukum istimewa ini hendaknya dikembalikan kepada latar belakang filosofis yang mendasarinya, yakni dalam rangka memberikan perlindungan hukum secara maksimal kepada rakyat bukan kepada penguasa.
B. ISI PUTUSAN
Dari pasal 97 ayat (7) tersebut, maka dapat diketahui bahwa isi putusan pengadilan TUN dapat berupa gugatan ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima, atau gugatan gugur.
1. Gugatan ditolak
Apabila isi putusan pengadilan TUN adalah berupa penolakan terhadap gugutan penggugat berarti memperkuat KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang bersangkutan. Pada umumnya suatu gugatan ditolak oleh majelis hakim, karena alat-alat bukti yang diajukan pihak penggugat tidak mendukung gugatannya, alat-alat bukti yang diajukan pihak tergugat lebih kuat.
2. Gugatan dikabulkan
Suatu gugatan dikabulkan, ada kalanya pengabulan seluruhnya atau menolak sebagian lainnya. Isi putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak penggugat itu, berarti tidak membenarkan KTUN yang dikeluarkan oleh pihak tergugat atau tidak membenarkan sikap tidak berbuat apa-apa yang dilakukan oleh tergugat, padahal itu sudah merupakan kewajibannya (dalam hal pangkal sengketa berangkat dari pasal 3) .
Dalam hal gugtan dikabulkan, maka putusan tersebut ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat, yang dapat berupa :
a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan atau;
b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru.
c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3
Disamping kewajiban yang disebutkan diatas, dalam putusan pengadilan dapat pula menetapkan kewajiban bagi pihak tergugat untuk membayar ganti kerugian (untuk sengketa yang bukan sengketa kepegawaian), kompensasi dan rehabilitasi untuk sengketa kepegawaian.
3. Gugatan tidak diterima
Putusan pengadlan yang berisi tidak menerima gugatan pihak penggugat berarti gugatan itu tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam prosedur dismissal dan atau pemeriksaan persiapan. Dalam prosedur atau tahap tersebut, ketua pengadilan dapat menyatakan gugatan tidak dapat diterima, karena alas an gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
4. Gugatan gugur
Putusan pengadilan yang dinyatakan gugatan gugur dalam hal para pihak atau kuasanya tidakhadir dalam persidangan yang telah ditentukan dan mereka dipanggil secara patut, atau perbaikan gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat telah melampaui tenggang waktu yang ditentukan (daluwarsa).
UU PTUN tidak mengatur perihal tentang mana kalah penggugat meninggal dunia dalam hukum acara perdata setelah kematian diberitahukan, pemeriksaan perkara terhenti, segala tindakan-tindakan prosesuil tidak sah, gugatan kemudian dapat dilanjutkan oleh ahli waris. Dalam perkara adminnistrasi tidak dengan sendirinya gugatan dinyatakan gugur, akan tetapi pihak ahli waris penggugat akan dipanggil untuk ditanya, apakah gugatan akan diteruskan atau dicabut. Demikian pula perubahan status salah satu pihak, misalnya apabila salah satu pihak kehilangan kemampuan untuk bertindak, dan juga apabila kualitas seseorang dalam beracara berhenti, meniggalkan wakil salah satu pihak yang berperkara, menyebabkan pula terhentinya jalan pemeriksaan.
C. BENTUK DAN ISI PUTUSAN
Susunan isi putusan
Dalam pasal 109 UU PTUN disebutkan susunan isi putusan sebagai berikut:
1) Putusan pengadilan harus memuat :
a. Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
b. Nama jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
c. Rinkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa
e. Alas an hukum yang mejadi dasar putusan
f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara
g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yg memutus, nama penitera, serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak.
2) Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.
3) Selambat-lambatnya 30 hari sesudah putusan pengadilan diucapkan, putusan itu harus ditandatangi oleh hakim yang memutuskan dan panitera yang turut bersidang.
4) Apabila hakim ketua majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat hakim ketua siding berhalangan menandatangani, maka putusan pengadilan ditandatangi oleh ketua pengadilan dengan menyatakan berhalangan hakim ketua majelis hakim atau hakim ketua siding tersebut.
5) Apabila hakim anggota majelis berhalangan menandatangi, maka putusan pengadilan ditandatangi oleh hakim ketua majelis dengan menyatakan berhalangannya hakim anggota majelis tersebut.
Suatu putusan harus memuat dan memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Kepala putusan
Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala putusan pada bagian atas putusan yang berbunya “Demi Keadilan Berdasrkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan, apabila kepala putusan ini tidak dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan, maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut
Dengan demikian huruf a pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagai kepala putusan.
2. Identitas para pihak
Suatu perkara atau gugatan sekurang kurangnya mempunyai dua pihak (penggugat dan tergugat), maka didalam putusan harus di muat identitas para pihak tersebut.
Dengan demikian huruf b pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagai identitas para pihak
3. Ringkasan
4. Pertimbangan (konsideran)
Dalam hukum acara perdata suatu putusan pengadilan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang lazimnya dibagi dua bagian; pertimbanga tentang duduknya perkara atau pristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan-pertimbangan itu tidak lain dimaksudkan sebagai alasan-alasan hakim, sebagai pertanggungjwaban kepada masyarakat mengapa ia mengambil putusan yang demikian itu, sehingga putusan dapat bernilai objektif.
Dengan demikian huruf c,d,dan e pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagi bahan pertimbangan.
5. Alasan hukum
6. Amar putusan (dictum)
Merupakan jawaban atas petitum dari gugatan, sehingga amar atau dictum juga merupakan tanggapan atas petitum itu sendiri. Hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan yang diajukan pihak penggugat dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan yang lebih dari yang dituntut.
Dengan demikian huruf f pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagi amar.
7. Biaya perkara
Seluruh biaya perkara biasanya dibebankan kepad pihak yang dikalahkan (kecuali yang dikalah adalah penggugat dan penggugat telah mengajukan permohonan berperkara dengan Cuma-Cuma serta mendapat persetujuan).
Dalam pasal 111 disebutkan bahwa biaya perkara mencakup:
a. Biaya kepaniteraan dan biaya matrai
b. Biaya saksi ahli, dan ahli bahasa
c. Biaya pemeriksaan di tempat lai dari ruangan sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim ketua sidang.
8. Waktu, nama hakim, panitera, dan keterangan lain

HUKUM ACARA
Hukum acara PTUN dibedakan atas :
a. Hukum acara materil yang meliputi :
• Kompetensi absolut dan relatif
o Absolute
Kompetensi absolute dari peradilan tata usaha negara adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata ysaha negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata uusaha negara, termasuk sengketa kepegawaian (pasal 1 angka 4 UU PTUN) dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu perundang-undangan sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan (pasal 3 UU PTUN).
o Relative
Kompetensi relative adalah kewenangan dari pengadilan sejenis yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan peradilan tata usaha negara, maka kompetensi relativenya adalah menyangkut kewenangan pengadilan tata usaha Negara yang mana berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tersebut.
• Hak gugat
• Tenggang waktu menggugat
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan dalam pasal 55 UU PTUN disebutkan :
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu Sembilan puluh hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara.
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan Sembilan puluh hari tersebut dihitung secara bervariasi :
a. Sejak hari diterimanya KTUN yang digugat itu memuat nama penggugat
b. Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi Negara untuk memberikan keputusan, namun ia tidak berbuat apa-apa.
c. Setelah lewat empat bulan, apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kesempatan kepada administrasi Negara untuk memberikan keputusan dan ternyata ia tidak berbuat apa-apa.
d. Sejak hari penmgumuman apabila KTUN itu harus diumumkan.
Dengan demikian, tengggang waktu mengajukan gugatan untuk semua macam keputusan adalah sembilan puluh hari, yang berbeda adalah saat mulai dihitungnya waktu Sembilan puluh hari tersebut.
• Alasan menggugat
Alasan mengajukan gugatan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN dan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN – 2004, disamping memiliki persamaan juga memiliki beberapa perbedaan. Dari perbedaan tersebut setidak-tidaknya akan diketahui kelebihan dan kelemahan masing-masing. Untuk memahami hal tersebut dibawah ini akan dikemukakan alasan mengajukan gugatan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN. Dan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN – 2004.
Dalam pasal 53 ayat (2) UU PTUN menyebutkan ada tiga alasan menggugat suatu KTUN kepengadilan tata usaha Negara yaitu :
a. Keputusan tata usaha Negara yang diguguat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
b. Badan atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 telah menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
c. Badan atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut.
• Alat bukti
Dalam pasal 100 sampai dengan pasal 106 UU PTUN disebutkan sebagai alat bukti yang diajukan dalam hukum acara PTUN :
a. Surat atau tulisan
b. Keterangan ahli
c. Keterangan saksi
d. Pengakuan para pihak
e. Pengetahuan hakim
Untuk kelancaran proses pemeriksaan perkara, sebelum mengajukan gugatan sebaiknya penggugat telah mempersiapkan alat-alat bukti yang dapat menguatkan gugatannya, sehingga dapat memenangkan perkara dari alat-alat bukti yang disebutkan diatas, maka dapat diketahui bahwa alat-alat bukti yang perlu dipersiapkan penggugat adalah surat atau tulisan dan saksi. Pada umumnya pihak tergugat juga akan mengajukan alat-alat bukti yang dapat menggagalkan gugatan pihak tergugat.
b. Hukum acara formil (hukum acara dalam arti sempit) berupa langkah-langkahatau tahapan yang terbagi atas :
• Acara biasa
Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa dari gugatan penggugat, terlebih dahulu melalu proseur rapat permusyawaratan dan pemeriksaan persiapan, setelah melalui kedua prosedur itu tidak ada alasan bagi hakim untuk menyatakan dalam suatu penetapan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar, maka selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa dengan acra biasa.
Pemeriksaan sengketa dengan acara biasa, diatur dalam pasal 68 sampai dengan pasal 97 UU PTUN.
Dari pasal-pasal tersebut yang dikemukakan disini berkaitan dengan pemeriksaan sengketa dengan acara biasa adalah bahwa pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan dengan majelis hakim (tiga orang hakim). Hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir dipersidangan pada hari pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alsan yang dapat dipertanggung jawabkan, meskipun setiap kali dipanggil dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan pengugat harus membayar biaya perkara.

Berbeda halnya, apabila tergugat atau kuasanya, tidak hadir di persidangan dua kali siding berturut-turut dan atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka hakim ketua siding dengan surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir dan atau menanggapi gugatan tersebut. Apabila dalam jangka waktu dua ulan setelah surat tersebut dikirimkan lewat surat tercatat tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka hakim ketua sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat. Putusan terhadap pokok gugatandapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya telah dilakukan secra tuntas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam hukum acara PTUN tidak dikenal adanya putusan verstek, meskipun akhirnya ada kesan seperti itu, tetapi harus diingat putusan verstek tidak memerlukan pemeriksaan pokok sengketa dan segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.
• Acara cepat
Pemerikasaan dengan acara cepat diatur dalam pasal 98 dan 99 UU PTUN, yang menyebutkan :
1) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
2) Ketua pengadilan dalamjangka waktu 14 hari setelah diterimanya pemohonan sebaimana dimaksud dalam ayat 1 mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat digunakan upaya hukum.
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa kepentingan penggugat cukup mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat.
Alasan mengajukan permohonan pemeriksaan dengan acara cepat ini mempunyai kemiripan dengan alasan mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN, yakni; sama-sama terdapat kepentingan penggugat yang mendesak.


Selanjutnya dalam pasal 99 UU PTUN disebutkan sebagai berikut :
1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal.
2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (1) dikabulkan, ketua pengadilan dalam jangka waktu 7 hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63.
3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari.
Dengan dimuatnya pemeriksaan dengan acara cepat ini akan dapat membantu para pencari keadilan untuk dapat mengetahui secepat mungkin tentang kepastian hukum dari hak-hak yang diperjuangkan.
• Acara singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat di PTUN dapat dilakukan apabila terjai perlawanan (verzet) atas penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan.
Pemeriksaan acara singkat diatur dalam pasal 62 UU PTUN. Ketua pengadilan sebelum memutuskan dalam suatu penetapan bahwa gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, terlebih dahulu harus melakukan penelitian administratif (prosedur dismissal), apakah gugatan penggugat termasuk dari salah satu yang disebutkan dalam pasal 62 ayat 1. Alasan atau pertimbangan ketua pengadilan menyatakan gugatan penggugat tidak diterima atau tidak berdasar harus mengacu pada salah satu huruf yang disebutkan dalam pasal 62 ayat 1.
Dalam angka II SEMA No.2 Tahun 1991 disebutkan prosedur dismissal. Putusan mengenai gugatan perlawanan yang dilakukan melalu pemeriksaan dengan acara singkat itu dapat diterima dan dapat tolak. Apabila gugatan diterima, maka penetapan ketua pengadilan yang dilawan itu menjadi gugur demi hukum (ex lege), selanjutnya perkara tesebut oleh majelis akan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan persiapan dengan acara biasa. Sebaliknya, apabila gugatan perlawanan itu ditolak, maka penetapan ketua pengadilan tersebut tetap sah untuk dipakai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut