Cari Blog Ini

Halaman

Minggu, 23 Januari 2011

Perbedaan Hukum Pidana, Sosiologis, Kriminologis dan Viktimologi

HUKUM PIDANA
Antara ilmu hukum pidana dan kriminologi memiliki hubungan yang bersifat timbal-balik dan interdependen. Ilmu hukum mempelajari akibat hukum dari perbuatan yang dilarang, sedangkan kriminologi mempelajari sebab dan cara menghadapi kejahatan.

Kejahatan yang dimaksudakan adalah sebagai berbuat dan tidak berbuat yang bertentangan dengan tata cara yang ada dalam masyarakat. Dilihat dari sudut ini maka lapangan penyelidikannya tidak hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang oleh pembentuk UU dinyatakan sebagai delik.

SOSIOLOGIS
Pada teori kejahatan dari perspektif sosiologis berusaha mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum yaitu : strain, cultural deviance (penyimpangan budaya), dan social control.
Perspektif strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatianya pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya pada teori kontrol sosial mempuyai pendekatan berbeda. Teori ini berdasarkan asumsi bahwa motivasi untuk melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Selain itu teori ini mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga sosial membuat aturan yang efektif. Teori strain dan penyimpangan budaya keduanya berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal berhubungan, tetapi berbeda dalam hal sifat hubungan tersebut. Para penganut teori strain beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya yaitu nilai-nilai budaya dari kelas menengah. Satu nilai budaya terpenting adalah keberhasilan ekonomi, karena orang-orang kelas bawah tidak mempunyai sarana-sarana yang sah untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana yang tidak sah. Pada teori penyimpangan budaya menyatakan bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-nilai dari kelas menengah. Sebagai konsekuensinya manakala orang-orang kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma konvensional.
Sudah umum diterima bahwa objek kriminologi adalah norma-norma kelakuan (tingkah laku) yang tidak disukai oleh kelompok-kelompok masyarakat, tetapi kejahatan (crime) sebagai salah satu dari padanya masih merupakan bagian yang terpenting. Dari sudut pandang sosiologi maka dapatlah dikatakan bahwa kejahatan adalah salah satu persoalan yang paling serius dalam hal timbulnya Disorganisasi sosial,karena penjahat-penjahat itu sebenarnya melakukan perbuatan-perbuatan yang mengancam dasar-dasar dari pemerintahan, hukum, ketertiban dan kesejahteraan umum. Beberapa kejahatan menunjukkan sifat-sifat egoistis,ketamakan dari pelaku kejahatan, sama sekali tidak mempedulikan keselamatan, kesejahteraan ataupun barang milik orang lain. Pelaku kejahatan yang lebih besar lagi dan lebih berkuasa umumnya bersatu dan bergabung dengan pegawai-pegawai pemerintah yang korup dan dengan demikian mencoba untuk mencapai tujuan-tujuan mereka dengan melalui saluran pemerintahan.
Sosiologi modern sangat menekankan pada mempelajari struktur dan jalanya masyarakat sekarang ini. Bila dilihat dari sosiologi maka kejahatan adalah salah satu masalah yang paling gawat dari disorganisasi sosial. Karena pelaku kejahatan bergerak dalam aktivitas-aktivitas yang membahayakan bagi dasar-dasar pemerintahan, hukum, Undang-Undang, Ketertiban dan Kesejahteraan sosial. dan oleh karena itulah kejahatan merupakan salah satu bagian dari disorganisasi sosial yang perlu diperhatikan. Dalam culture conflict theory Thomas Sellin menyatakan bahwa setiap kelompok memiliki conduct morm-nya sediri dan dari conduct norms dari satu kelompok mungkin bertentangan dengan conduct norms kelompok lain. Seorang individu yang mengikuti norma kelompoknya mugkin saja dipandang telah melakukan suatu kejahatan apabila norma-norma kelokpoknya itu bertentangan dengan norma-norma dari masyarakat dominan. Menurut penjelasan ini perbedaan utama antara seorang kriminal dengan seorang non kriminal adalah bahwa masig-masing menganut conduct norms yang berbeda. Sebaliknya dalam teori kontrol sosial memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi-strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan membawanya kepada penyesuaian atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat.
KRIMINOLOGIS
Secara kriminologis, kejahatan bukan saja suatu perbuatan yang melanggar undang-undang atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi, yaitu yang mencakup berbuatan yang anti sosial, yang merugikan masyarakat, walaupun perbuatan itu belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana.
Dengan melihat batasan kejahatan seperti telah diuraikan di bagian terdahulu maka penjahat adalah seseorang (atau sekelompok orang yang melakukan perbuatan anti sosial walaupun belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana (kriminologis). Dalam arti sempit, penjahat adalah seseorang yang melakukan pelanggaran undang-undang atau hukum pidana, lalu tertangkap, dituntut, dan dibuktikan kesalahannya di depan pengadilan serta kemudia dijatuhi hukuman.
VIKTIMOLOGI
adalah ilmu yang mempelajari tentang korban (victim = korban) termasuk hubungan antara korban dan pelaku, serta interaksi antara korban dan sistem peradilan - yaitu,polisi, pengadilan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait - serta didalamnya juga menyangkut hubungan korban dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dan institusi lain seperti media, kalangan bisnis, dan gerakan sosial.

Contoh Formil dan Materil Hukum Pajak

Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Ada 2 macam hukum pajak yaitu:
1. Hukum pajak materil, yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan.
2. Hukum pajak formil, memuat bentuk/ tata cara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum iini memuat antara lain:
a. Tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b. Hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dna peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

A. SISTEM PERPAJAKAN
Ludwig von Bertalanffy, seorang biopsikologi bangsa Jerman yang menulis General System Theory pada tahun 1950-an mengemukakan bahwa semua fenomena mempunyai hubungan seperti dalam ilmu alam: ada organ, sel dan mulekul. Suatu masyarakat terdiri dari suprasistem, sistem dan subsistem.
Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke Kas Negara. Contoh: Ditinjau dari tingkatan negara, maka negara adalah suatu suprasistem, Keuangan Negara adalah sistem dan perpajakan adalah subsistem Ditinjau dari tingkatan perpajakan, maka perpajakan di Indonesia adalah suatu suprasistem, pajak penghasilan adalah sistem dan pajak penghasilan atas karyawan adalah subsistem. Dalam sistem perpajakan di Indonesia dikenal Self Asssessment System, Official Assessment System dan Withholding tax System.
Self Assessment System adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya
Withholding tax system adalah suatu sistem perpajakan dimana pihak ketiga diberi kepercayaan (kewajiban), atau diberdayakan (empowerment) oleh undang-undang perpajakan untuk memotong pajak penghasilan sekian persen dari penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak.
Official Assessment System adalah suatu sistem perpajakan dalam mana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus.
B. TARIF PAJAK
Dalam berbagai literatur perpajakan dikenal lima macam tarif pajak yakni tarif tetap (fixed rate), tarif proporsional (proportional rate), tarif progresif (progressive rate), tarif regresif (regressive rate) dan tarif degresif (degressive rate).
Tarif tetap adalah tarif yang jumlah pajaknya dalam rupiah (atau dollar) bersifat tetap walaupun Objek Pajaknya jumlahnya berbeda-beda. Misalnya tarif Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985. Jumlah Bea Meterai atas kuitansi atau tanda terima uang di atas Rp1.000.000,- adalah Rp6.000,- Walaupun uang yang diterima besarnya Rp100.000.000,- atau Rp10.000.000.000,- dan seterusnya, jumlah Bea Meterai yang terutang tetap Rp6.000,-
Sedangkan yang dimaksud dengan tarif proporsional adalah tarif yang prosentasenya tetap walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Misalnya tarif PPN 10% atas Rp100.000,- 10% atas Rp50.000.000,- 10% atas Rp10.000.000.000,-
Tarif Pajak yang bersifat progresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajaknya, maka makin tinggi pula prosentase tarif pajaknya. Misalnya tarif Pajak Pendapatan tahun 1944, Tarif Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Adapun tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajak, maka makin rendah prosentase tarifnya. Sedangkan tarif Pajak Degresif adalah tarif pajak yang apabila objek pajaknya makin tinggi, maka makin rendah tarifnya. Tarif ini pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli waris, maka tarif bea atau pajak atas warisan makin kecil.
C. HUKUM PAJAK
Hukum pajak atau hukum fiskal ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak.
Hukum Pajak dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law). Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.
Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-ketentuan tentang siapa, apa dan berapa. Hukum Pajak Formal berisi ketentuan tentang bagaimana.
Hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak.
D. SANKSI PAJAK
Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas 3 macam yaitu berupa denda, bunga dan kenaikan. Hukum Pidana Fiskal dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
a) Peraturan Hukum Pidana mengenai Pajak Langsung dan Pajak Peredaran (PPe)/PPn;
b) . Peraturan Hukum Pidana mengenai Bea Cukai; dan
c) . Hukum Pidana Pemerintahan/Quasi/ Semu/Tidak Sebenarnya.
Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara.
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT.
Sedangkan sanksi administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang-Undang KUP tahun 2000, kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar.
E. UTANG PAJAK
Menurut faham formal utang pajak timbul karena perbuatan fiskus, yakni fiskus menerbitkan SKP. Dalam contoh di atas, utang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus menerbitkan SKP. Secara ekstrim, si A tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP.
Menurut faham materiil utang pajak timbul karena terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang disyaratkan dalam undang-undang. Terpenuhinya ketentuan dalam undang-undang tersebut disebut sebagai tatbestand. Misalnya syarat timbulnya utang pajak bagi si A dalam contoh di atas menurut UU PPh 2000 antara lain :
Jika si A telah bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP, maka sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu menunggu fiskus menerbitkan SKP. Timbulnya utang pajak menurut faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-Undang atau karena tatbestand, yaitu ‘rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa (baik yang feitelijk, yuridis, persoonlijk maupun zakelijk) yang dapat menimbulkan utang pajak’.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Pajak dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law). Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.
Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-ketentuan tentang siapa, apa dan berapa. Hukum Pajak Formal berisi ketentuan tentang bagaimana.
Hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak
Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas 3 macam yaitu berupa denda, bunga dan kenaikan. Hukum Pidana Fiskal dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
d) Peraturan Hukum Pidana mengenai Pajak Langsung dan Pajak Peredaran (PPe)/PPn;
e) . Peraturan Hukum Pidana mengenai Bea Cukai; dan
f) . Hukum Pidana Pemerintahan/Quasi/ Semu/Tidak Sebenarnya.
Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara.
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT.
Sedangkan sanksi administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang-Undang KUP tahun 2000, kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar.

Teori Upah

Teori dana upah, Oleh Stuart Mill Senior
Menurut teori upah dana buruh tidak perlu menantang seperti yang disarankan oleh teori undang-undang upah besi, karena upah yang diterimanya itu sebetulnya adalah berdasarkan kepada besar kecilnya jumlah dana yang ada pada masyarakat. Jika dana ini jumlahnya besar maka akan besar pula upah yang diterima buruh, sebaliknya kalau dana ini berkurang maka jumlah upah yang diterima buruh pun akan berkurang pula.
Menurut teori ini, yang dipersoalkan sebetulnya bukanlah berapa besarnya upah yang diterima buruh, melainkan sampai seberapa jauhnya tersebut mampu mencukupi segala keperluan hidup buruh beserta keluarganya. Karenanya menurut teori ini dianjurkan, bahwa khusus untuk menunjang keperluan hidup buruh yang besar tanggungannya disediakan dana khusus oleh majikan atau negara yang disebut dana anak-anak


Teori Upah Alam, dari David Ricardo Teori ini menerangkan:
1. Upah menurut kodrat adalah upah yang cukup untuk pemeliharaan hidup
pekerja dengan keluarganya.
2. Di pasar akan terdapat upah menurut harga pasar adalah upah yang
terjadi di pasar dan ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Upah
harga pasar akan berubah di sekitar upah menurut kodrat.
Oleh ahli-ahli ekonomi modern, upah kodrat dijadikan batas minimum dari upah
kerja

sistem upah jangka waktu
sistem upah jangka waktu ini adalah sistem pemberian upah menurut jangka waktu tertentu, misalnya harian, mingguan atau bulanan.
Sistem Skala Upah Berubah
Dalam sistem ini, jumlah upah yang diberikan berkaitan dengan harga penjualan hasil produksi di pasaran. Jika harga naik maka jumlah upah pun akan naik, sebaliknya jika harga turun maka upah pun akan turun. Itulah sebabnya disebut skala upah berubah.
Teori dan sistem yang ideal menurut saya:
1. Perlu diperhatikan adanya kualitas kerja, ada kualitas kerja terdidik dan tidak terdidik, kualitas kerja keahlian dan lain sebagainya. Aliran yang klasik dalam hal ini tidak memperhitungkan jam kerja yang dipergunakan untuk pembuatan barang, tetapi jumlah jam kerja yang biasa dan semestinya diperlukan untuk memproduksi barang. Dari situ maka Carey kemudian mengganti ajaran nilai kerja dengan ”teori biaya reproduksi.”
2. Biaya produksi yang harus ditekan serendah-rendahnya agar harga barangnya nanti tidak terlalu tinggi atau keuntungannya tidak terlalu tinggi dan menjadi perhatian untuk dirundingkan dengan majikan agar dinaikkan.

Teori Upah Alam, dari David Ricardo Teori ini menerangkan:
1. Upah menurut kodrat adalah upah yang cukup untuk pemeliharaan hidup
pekerja dengan keluarganya.
2. Di pasar akan terdapat upah menurut harga pasar adalah upah yang
terjadi di pasar dan ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Upah
harga pasar akan berubah di sekitar upah menurut kodrat.
Oleh ahli-ahli ekonomi modern, upah kodrat dijadikan batas minimum dari upah
kerja

Teori Upah Besi
Teori upah ini dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle. Penerapan sistem upah kodrat menimbulkan tekanan terhadap kaum buruh, karena kita ketahui posisi kaum buruh dalam posisi yang sulit untuk menembus kebijakan upah yang telah ditetapkan oleh para produsen. Berhubungan dengan kondisi tersebut maka teori ini dikenal dengan istilah “Teori Upah Besi”. Untuk itulah Lassalle menganjurkan untuk menghadapi kebijakan para produsen terhadap upah agar dibentuk serikat pekerja.

Sistem pembagian keuntungan
Sistem upah ini dapat disampingkan dengan pemberian bonus apabila perusahaan mendapatkan keuntungan diakhir tahun.

Sistem upah indeks
Sistem upah ini didasarkan atas indeks biaya kebutuhan. Dengan sistem ini upah itu akan naik turun sesuai dengan naik turunnya biaya penghidupan, meskipun tidak mempengaruhi nilai nyata dari upah.


Pendapat.
Kesulitan yang terdapat dalam nilai kerja itu bahwa selain kerja masih banyak lagi jasa produktif yang ikut membantu pembuatan barang itu, harus dihindarkan. Selanjutnya David Ricardo (1772-1823) menyatakan bahwa perbandingan antara kerja dan modal yang dipergunakan dalam produksi boleh dikarakan tetap besarnya dan hanya sedikit sekali perubahan.

Teori Upah Etika
Menurut kaum Utopis (kaum yang memiliki idealis masyarakat yang ideal) tindakan para pengusaha yang memberikan upah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum, merupakan suatu tindakan yang tidak “etis”. Oleh karena itu sebaiknya para pengusaha selain dapat memberikan upah yang layak kepada pekerja dan keluarganya, juga harus memberikan tunjangan keluarga.

Teori Upah Besi
Teori upah ini dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle. Penerapan sistem upah kodrat menimbulkan tekanan terhadap kaum buruh, karena kita ketahui posisi kaum buruh dalam posisi yang sulit untuk menembus kebijakan upah yang telah ditetapkan oleh para produsen. Berhubungan dengan kondisi tersebut maka teori ini dikenal dengan istilah “Teori Upah Besi”. Untuk itulah Lassalle menganjurkan untuk menghadapi kebijakan para produsen terhadap upah agar dibentuk serikat pekerja.


Sistem upah potongan
Sistem ini tujuannya adalah untuk mengganti sistem upah jangka waktu jika hasil pekerjaannya tidak memuaskan. Sistem upah ini hanya dapat diberikan jika hasil pekerjaannya dapat dinilai menurut ukuran tertentu, misalnya diukur dari banyaknya, beratnya dan sebagainya.
Manfaat pengupahan dengan sistem ini adalah:
1. Buruh mendapat dorongan untuk bekerja giat
2. Produktivitas semakin meningkat
3. Alat-alat produksi akan dipergunakan secara intensif
Sedangkan keburukannya adalah:
1. Buruh selalu bekerja secara berlebih-lebihan
2. Buruh kurang menjaga kesehatan dan keselamatannya
3. Kadang-kadang kurang teliti dalam bekerja karena untuk mengerjar jumlah potongan
4. Upah tidak tetap, tergantung jumlah potongan yang dihasilkan
Untuk menampung keburukan dari sistem upah potongan maka diciptakan sistem upah gabungan, yaitu gabungan antara upah minimumnya sehari dengan jumlah minimum dari pekerjaannya sehari.

Sistem pembagian keuntungan
Sistem upah ini dapat disampingkan dengan pemberian bonus apabila perusahaan mendapatkan keuntungan diakhir tahun.


Pendapat tentang teori dan sistem yang ideal:
Teori yang ideal yang di gunakan untuk indonesia adalah teori dana upah karena upah buruh telah diasumsikan sebelumnya artinya upah buruh dianggap sebagai pengeluaran produksi. Dengan maksud pengeluaran dapat menjadi teratur.
Sistem yang ideal adalah sistem upah potongan karena buruh dapat bekerja lebih giat, produktifitas semakin meningkat dan mengurangi kemalasan.

Hubungan Hukum Pidana Dengan Hukum Lain

Hubungan Hukum Pidana dengan Ilmu Lain.
Hukum pidana adalah teori mengenai aturan-aturan atau norma-norma hukum pidana. Dalam ruang lingkup sistem ajaran hukum pidana, yamg dinamakan disiplin hukum pidana sebenarnya mencakup ilmu hukum pidana, politik hukum pidana, dan filsafat hukum pidana. Ilmu hukum pidana mencakup beberapa cabang ilmu, ilmu hukum pidana merupakan mencakup ilmu-ilmu sosial dan budaya. Ilmu-ilmu hukum pidana tersebut mencakup ilmu tentang kaedah dan ilmu tentang pengertian yang keduanya disebut sebagai dogmatika hukum pidana serta ilmu tentang kenyataan.
Politik hukum pidana mencakup tindakkan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut didalam kenyataan. Politik hukum pidana merupakan pemilihan terhadap nilai-nilai untuk mencegah terjadinya delikuensi dan kejahatan.
Filsafat hukum pidana pada hakekatnya merenungkan nilai-nilai hukum pidana, berusaha merumuskan dan menyerasikan nilai-nilai yang berpasangan, tetapi yang mungkin bertentangan.
Objek dalam dogmatik hukum pidana adalah hukum pidana positif, yang mencakup kaidah-kaidah dan sistem sanksi. Ilmu tersebut bertujuan untuk mengadakan analisis dan sistematisasi kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan penerapan yang benar. Ilmu tersebut juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif., yang kemudian menjadi patokan bagi perumusan serta penyusunan secara sistematis.
Sosiologi hukum pidana memusatkan perhatian pada sebab-sebab timbulnya peraturan-peraturan pidana tertentu, serta efektifitasnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu ruang lingkup sosiologi hukum pidana sebagai berikut:[7]
a. Proses mempengaruhi antara kaidah-kaidah hukum pidana dan warga masyarakat;
b. Efek dari proses kriminalisasi serta deskriminalisasi;
c. Identifikasi terhadap mekanisme produk dari hukum pidana;
d. Identifikasi terhadap kedudukkan serta peranan para penegak hukum;
e. Efek dari peraturan-peraturan pidana terhadap kejahatan, terutama pola prilakunya.
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang meneliti delikuensi dan kejahatan, sebagai suatu gejala sosial. Jadi, ruang lingkupnya adalah proses terjadinya hukum pidana, penyimpangan terhadap hukum atau pelanggarannya, dan reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Kriminologi mencakup tiga bagian pokok yaitu:
a. Sosiologi hukum pidana yang meneliti dan menganalisis kondisi-kondisi tempat hukum pidana berlaku;
b. Etiologi kriminal yang meneliti serta mengadakan analisis terhadap sebab-sebab terjadinya kejahatan;
c. Penologi yang ruang lingkupnya mencakup pengendalian terhadap kejahatan.
Kriminologi merupakan teori tentang gejala hukum. Dari pengertian ini nampak adanya hubungan antara hukum pidana dengan kriminologi bahwa keduanya sama-sama bertemu dalam kejahatan, yaitu perbuatan/tingkah laku yang diancam pidana.
Adapun perbedaan hukum pidana dan kriminologi terletak pada objeknya. Objek hukum pidana menunjuk pada apa yang dipidana menurut norma-norma hukum pidana yang berlaku. Sedangkan objek kriminologi tertuju pada manusia yang melanggar hukum pidana dan kepada lingkungan manusia-manusia tersebut. Dengan demikian, wajarlah bila batasan luas kedua objek ilmu itu tidak sama. Hal ini melahirkan kejahatan sebagai objek hukum pidana dan kejahatan sebagai objek kriminologi.
Hukum pidana memperhatikan kejahatan sebagai pristiwa pidana yang dapat mengancam tata tertib masyarakat, serta kriminologi mempelajari kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang melibatkan individu sebagai manusia.
Dengan demikian, hukum pidana melihat bahwa perbuatan melanggar ketentuan hukum pidana disebut sebagai kejahatan, sedangkan kriminologi melihat bahwa perbuatan bertentangan dengan hati nurani manusia disebut kejahatan.
Titik tolak sudut pandang hukum pidana memiliki dua dimensi yaitu, unsur kesalahan dan unsur melawan hukum. Demikian pula kriminologi memiliki dua dimensi, yaitu faktor motif (mental, psikologi, penyakit, herediter) dan faktor sosial yang memberikan kesempatan bergerak. Hukum pidana menekankan pada pertanggungjawaban, sedangkan kriminologi menekankan pada accountabillity apakah perbuatan tersebut selayaknya diperhitungkanpada pelaku, juga cukup membahayakan masyarakat. Dalam kriminologi, unsur kesalahan tidak relevan.
Interaksi hukum pidana dan kriminoligi disebabkan hal-hal berikut:
a. Perkembangan hukum pidana akhir-akhir ini menganut sistem yang memberikan kedudukkan penting bagi kepribadian penjahat dan menghubungkan dengan sifat dan berat-ringannya (ukuran) pemidanaannya.
b. Sejak dulu telah ada perlakuan khusus bagi kejahatan-kejahatan yang dilakukan orang-orang gila dan anak-anak yang menyangkut perspektif-perspektif dan pengertian-pengertiannya. Kriminologi terwujud sedemikian rupa dalam hukum pidana sehingga Criminale science sekarang menghadapi problema-problema dan tugas-tugas yang sama sekali baru dan berhubungan erat dengan kriminologi. Kriminologi tidak tergantung pada perspektif-perspektif dan nilai-nilai hukum pidana. Hubungan yang erat dengan kriminalitas merupakan syarat utama sehingga berlakunya norma-norma hukum pidana dapat diawasi oleh kriminologi.
Dalam hubungan dengan dogmatik hukum pidana, kriminologi memberikan kontribusinya dalam menentukkan ruang lingkup kejahatan atau prilaku yang dapat dihukum.

Pengakhiran Perjanjian International

RESUME BAB XII
PENGAKHIRAN ATAS EKSISTENSI SUATU
PERJANJIAN INTERNASIONAL

A. Pendahuluan
Pada akhirnya suatu perjanjian internasional harus diakhiri, atau terpaksa diakhiri eksistensinya. Seperti halnya penundaan dan ketidakabsahan suatu perjanjian internasional, pengakhiran atas eksistensi suatu perjanjian internasional juga ada penyebabnya, yang dalam beberapa hal sama seperti persoalan penundaan maupun ketidakabsahannya. Itulah sebabnya di dalam Konvensi Wina 1969, ketiganya diatur di dalam satu Bagian (Part), yakni Part V. Oleh karena itu uraian dalam Bab ini, dalam beberapa hal hampir sama dengan Bab X tentang Penundaan dan Bab XI tentang Ketidakabsahan suatu Perjanjian Internasional. Pihak yang dapat mengusulkan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional, adalah pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang memandang, bahwa perjanjian itu tidak perlu dipertahankan lagi dan harus diakhiri. Selanjutnya pengakhiran ini juga akan menimbulkan konsekuensi hukum seperti halnya dengan penundaan maupun ketidakabsahannya yang harus diselesaikan oleh para pihak itu sendiri. Persoalan tentang bagaimana mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional dan penyelesaian segala konsekuensi hukumnya, pertama-tama tergantung pada ada atau tidaknya pengaturannya di dalam perjanjian itu sendiri. Di samping itu, juga turut ditentukan oleh macam perjanjiannya, apakah itu perjanjian bilateral, multilateral, perjanjian yang jangka waktu berlakunya ditentukan ataukah tidak ditentukan, perjanjian terbuka atau tertutup, perjanjian yang merupakan pengkodifikasian dan pengembangan progresif hukum internasional, dan lain sebagainya.

B. Alasan untuk Mengakhiri Eksistensi suatu Perjanjian lnternasional
Dalam praktek kehidupan masyarakat internasional, terdapat beberapa alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional. Misalnya, untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya sudah ditentukan secara pasti di dalam salah satu pasalnya, misalnya berlaku untuk waktu lima tahun, sepuluh tahun, dan lain sebagainya, maka perjanjian itu akan berakhir setelah terpenuhinya jangka waktu tersebut. Meskipun demikian, setelah jangka waktu itu terpenuhi, para pihak dapat bersepakat untuk memperpanjang masa berlakunya untuk suatu jangka waktu tertentu. Kadang-kadang suatu perjanjian internasional semacam inipun dapat diakhiri eksistensinya, jika para pihak sepakat untuk mengakhirinya, meskipun jangka waktu berlakunya belum terpenuhi. Sedangkan untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya tidak ditentukan, dapat diakhiri sebelum tujuan perjanjian itu tercapai, jika memang para pihak sepakat untuk mengakhirinya.

C. Berakhirnya suatu Perjanjian Internasional Tidak Mengakhiri Kewajiban yang Berdasarkan atas Hukum Internasional Umum
Perjanjian-perjanjian internasional jenis tertentu, yakni, perjanjian yang substansinya (sebagian) merupakan formulasi dan kaidah hukum kebiasaan internasional, hak ataupun kewajiban yang semula berasal dari hukum kebiasaan internasional itu masih tetap berlaku. Tegasnya, salah satu atau beberapa ketentuannya merupakan perumusan kern bali atau pengkodifikasian atas kaidah hukum yang sebelum berlakunya perjanjian itu sudah merupakan kaidah hukum kebiasaan internasional. Jika pada suatu waktu perjanjian itu diakhiri eksistensinya, hal ini tidaklah mengakhiri hak ataupun kewajiban negara-negara pesertanya yang bersumber dari hukum kebiasaan internasional tersebut.
Contoh lain, negara A dan negara B membuat perjanjian bilateral tentang kesepakatan untuk hidup berdampingan secara damai, yang salah satu pasalnya berisi ketentuan yang menyatakan bahwa kedua pihak tidak akan saling menyerang dan tidak akan menggunakan kekerasan dalam penyelesaian perselisihan antara mereka. Ketentuan semacam ini adalah merupakan kaidah hukum kebiasaan internasional yang berlaku umum, terlepas dari ada atau tidak adanya penegasan atau pengaturannya di dalam suatu perjanjian internasional. Apabila pada suatu waktu nanti, perjanjian itu diakhiri eksistensinya, ketentuan seperti tercantum di dalam perjanjian itu tetap berlaku terhadap kedua negara, sebab sudah merupakan kaidah hukum internasional umum yang mandiri. Jadi, dengan kata lain, dengan berakhirnya perjanjian itu tidaklah berarti para pihak bisa saling menyerang ataupun menggunakan kekerasan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara keduanya.

D. Pengakhiran atas Eksistensi Perjanjian Internasional menurut Konvensi Wina 1969
Konvensi Wina 1969 Pasal 42 ayat 2 menegaskan, bahwa tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional pertama-tama harus dilihat pada bagaimana peraturannya di dalam perjanjian internasional itu sendiri, kalau memang perjanjian itu secara tegas mengaturnya. Sedangkan jika tidak ada pengaturannya, pengakhiran itu dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Konvensi. Selanjutnya pasal 44 ayat 2 menegaskan, bahwa pada prinsipnya suatu kehendak untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional hendaknya untuk keseluruhannya. Namun, dimungkinkan juga untuk mengakhiri sebagian dari perjanjian itu, apabila ada klausul yang memungkinkan melakukan pengakhirannya untuk sebagian atau untuk beberapa ketentuannya, seperti ditegaskan pada ayat 3. Akan tetapi jika klausul demikian itu tidak ada, pengakhiran untuk sebagian juga dapat dilakukan jika hal itu tampak atau tersimpulkan dari perjanjian itu sendiri, dan pada umumnya pengakhiran atas sebagian dan perjanjian tersebut berkenaan dengan ketentuan yang bukan merupakan syarat yang esensial bagi terikatnya suatu negara pada perjanjian itu secara keseluruhan.
a. Dibuat Perjanjian Internasional Baru
Pasal 59 ayat 1 mengatur tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional (lama/duluan) disebabkan karena dibuat perjanjian yang (baru/belakangan). Dalam hal ini, semua negara peserta pada perjanjian yang lama/duluan kemudian membuat perjanjian baru/belakangan, dan memang para pihak bermaksud untuk menerapkan perjanjian yang baru/belakangan untuk menggantikan perjanjian yang lama/duluan; dan juga karena substansi dari kedua perjanjian itu sangat berbeda bahkan bertentangan sehingga keduanya tidak mungkin untuk diterapkan secara bersamaan. Meskipun perjanjian yang baru/belakangan tidak secara tegas mengakhiri eksistensi atau berlakunya perjanjian yang lama/duluan -- dan hal seperti ini memang tidak lazim dalam hukum perjanjian internasional — tetapi karena keduanya tidak mungkin untuk diterapkan pada waktu dan tempat yang sama, maka salah satu harus dikesampingkan atau diakhiri. Dalam hal ini perjanjian yang lama/duluanlah yang harus diakhiri, dan yang baru/belakanganlah yang harus diterapkan, jadi sesuai dengan asas hukum, lex posteriori derogat legi priori. Akan tetapi masalahnya menjadi lain, apabila negara-negara peserta pada perjanjian yang lama/duluan tidak semuanya negara yang juga menjadi peserta pada perjanjian yang baru/belakangan.
b. Pelanggaran oleh salah satu pihak
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 60 ayat 1, pelanggaran atas substansi perjanjian oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian, baik untuk keseluruhannya ataupun untuk sebagian. Atau seperti ditegaskan dalam ayat 2, pelanggaran atas suatu perjanjian internasional oleh salah satu pihak dapat dijadikan sebagai alasan bagi pihak lainnya untuk bersepakat secara bulat untuk mengakhiri berlakunya perjanjian itu, (i) baik dalam hubungan antara mereka pada satu pihak dengan pihak yang melakukan pelanggaran pada lain pihak, atau (ii) antara semua pihak. Perlu ditegaskan, bahwa pengakhiran suatu perjanjian internasional berdasarkan alasan semacam ini bersifat fakultatif, artinya, para pihak dapat menempuh pilihan, apakah sepakat untuk mengakhiri perjanjian ataukah tetap melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut meskipun terjadi pelanggaran sebagaimana dinyatakan di dalam pasal 60 ini. Meskipun terjadi pelanggaran yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhirinya, tetapi jika para pihak sepakat untuk tetap meneruskan pelaksanaannya, maka perjanjian itu masih tetap eksis dan berlaku sebagaimana biasa. Sebaliknya jika mereka memilih untuk mengakhirinya, pengakhiran ini bisa dilakukan hanya antara pihak yang melakukan pelanggaran dalam hubungannya dengan pihak yang menjadi korban atau pihak yang dirugikan, atau bisa juga dilakukan antara semua pihak, jika semua pihak sepakat untuk itu.
c. Ketidakmungkinan untuk melaksanakannya
Menurut pasal 61 ayat 3, salah satu pihak dapat menyatakan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian dengan alasan bahwa perjanjian itu sudah tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan dan ketidakmungkinan itu sudah bersifat permanen atau ketidakmungkinan yang disebabkan karena kerusakan dan obyeknya yang ternyata tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan perjanjian tersebut. Jadi ada dua macam ketidakmungkinan untuk melaksanakan suatu perjanjian, yakni pertama, ketidakmungkinan untuk melaksanakan perjanjian internasional itu sudah bersifat permanen, dan yang kedua, adalah karena kerusakan dan obyek perjanjian itu tidak dapat dipisahkan dan pelaksanaannya, atau dengan kata lain, kerusakan atas obyeknya itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk tetap melaksanakan perjanjian tersebut.
d. Terjadinya perubahan keadaan yang fundamental (fundamental change of circumstances)
Konvensi mengatur tentang terjadinya perubahan keadaan yang fundamental secara negatif, dalam pengertian, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri berlakunya suatu perjanjian internasional. Selain daripada itu, jika ada pihak yang menjadikannya sebagai alasan, disertai pula dengan pembatasan yang amat ketat dalam penggunaannya, sehingga sangat sempit atau sedikit sekali kesempatan yang dapat digunakan sebagai alasan untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional. Diaturnya secara negatif dan disertai dengan pembatasan yang amat ketat, disebabkan karena kekhawatiran akan disalahgunakannya alasan ini, misalnya negara-negara dengan mudah berlindung dibaliknya untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional. Di samping itu, martabat (dignity) setiap perjanjian internasional supaya tetap dijunjung tinggi mengingat bahwa adanya perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur masyarakat internasional masih jauh lebih baik daripada tidak ada atau hanya ada sedikit perjanjian internasional, sehingga masyarakat internasional menjadi hidup di dalam suasana yang tanpa hukum yang tegas. Dalam hal ini sudah lama diakui, bahwa peranan perjanjian internasional dalam mengatur masalah-masalah internasional semakin lama semakin bertambah penting.
e. Putusnya hubungan diplomatik dan/atau konsuler
Hubungan diplomatik dan/atau konsuler yang baik antara negara-negara merupakan salah satu fondasi bagi pertumbuhan dan perkembangan perjanjian-perjanjian internasional, sebab dengan hubungan semacam itulah negara-negara akan lebih mudah dan cepat melakukan pendekatan untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional dalam rangka mengatur masalah-masalah internasional pada umumnya dan masalah-masalah antara mereka pada khususnya. Akan tetapi dalam hubungan-hubungan internasional, negara-negara yang hubungan diplomatik dan konsulernya semula berlangsung dengan baik, ternyata hubungan baik itu tidak selamanya bisa dipertahankan. Hubungan diplomatik dan/atau konsuler juga kadang-kadang bisa putus. Pelbagai penyebab dapat dikemukakan mengapa hubungan diplomatik dan/atau konsuler antara dua negara bisa putus, misalnya, terjadinya ketegangan yang memuncak sampai mengarah pada konflik bersenjata, atau sudah terjadi peperangan dahsyat antara kedua negara.


f. Bertentangan dengan jus cogens
Walaupun suatu perjanjian internasional merupakan hasil kesepakatan antara negara-negara yang menjadi pesertanya, sesuai dengan asas-asas dari hukum perjanjian itu sendiri, namun tidaklah berarti mereka bebas menentukan isi maupun obyek dan kesepakatannya. Ada beberapa pembatasan yang harus diperhatikan. Salah satunya adalah, substansi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum umum atau universal yang bersifat kuat dan imperatif yang dalam pasal 53 Konvensi disebut dengan a peremptory norm of general international law atau di dalam hukum internasional dikenal sebagai jus cogens. Apa yang dimaksud dengan jus cogens, ditegaskan dalam pasal 53, yakni, suatu kaidah hukum yang diterima dan diakui oleh seluruh anggota masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara sebagai suatu kaidah hukum yang tidak dibenarkan untuk dilakukan penyimpangan dan yang hanya dapat diubah oleh kaidah hukum internasional umumnya yang muncul belakangan yang memiliki sifat atau karakter yang sama. Sebagai contohnya, kewajiban setiap negara untuk menghormati kedaulatan teritorial sesama negara, kewajiban setiap negara untuk menghormati hak-hak asasi manusia, kewajiban negara untuk tidak melakukan tindakan agresi terhadap negara lain, dan lain-lainnya. Jika misalnya dua negara membuat suatu perjanjian bilateral yang substansinya merupakan kesepakatan untuk menyerang negara lain, perjanjian seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan kaidah hukum internasional yang tergolong jus cogens seperti telah dikemukakan di atas, yakni kewajiban untuk menghormati kedaulatan sesama negara. Menurut pasal 53, perjanjian semacam ini adalah batal (void) dan demikian juga menurut pasal 64 adalah batal dan perjanjian yang batal sama artinya dengan berakhir eksistensinya.
g. Pecahnya perang antara para pihak
Pecahnya perang antara dua atau lebih negara akan mengakhiri eksistensi dari perjanjian yang dibuat sebelumnya?. Konvensi Wina 1969 sama sekali tidak mengaturnya, baik langsung ataupun tidak langsung, sehingga tidak bisa dicarikan rujukannya secara langsung pada Konvensi. Dalam hal ini masalahnya hampir sama dengan putusnya hubungan diplomatik antara dua negara. Pada prinsipnya, perang yang terjadi tidak mengakhiri eksistensi perjanjian yang sudah ada dan berlaku sebelumnya antara para pihak yang berperang. Akan lebih tepat dikatakan, bahwa perang itu hanyalah menunda pelaksanaan perjanjian antara para pihak yang bersangkutan. Jika kemudian perang sudah berakhir dan hubungan diplomatik normal kembali, maka perjanjian yang selama berlangsungnya perang tertunda pelaksanaannya, dapat dilaksanakan kembali sebagaimana biasa.

E. Penarikan diri negara-negara pesertanya
Walaupun pasal 55 dan 56 Konvensi tidak memungkinkan suatu perjanjian internasional untuk diakhiri meskipun terjadi penarikan atau pengunduran diri negara-negara peserta hingga jumlah yang tersisa kurang dari jumlah minimum yang dibutuhkan untuk mulai berlakunya, namun dalam praktek tidaklah tertutup kemungkinan terjadinya pengakhiran suatu perjanjian internasional jika negara-negara peserta yang tersisa sudah tidak mungkin lagi untuk melaksanakan ketentuan perjanjian tersebut. Jika terjadi situasi semacam ini, maka para pihak yang masih tersisa (yang tidak menarik diri) dapat menempuh kesepakatan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian itu.

F. Prosedur untuk Mengakhiri Eksistensi suatu Perjanjian Internasional
Suatu perjanjian internasional yang hendak diakhiri eksistensinya berdasarkan kehendak dari salah satu atau beberapa pihak, menurut pasal 65 ayat 1, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu kepada negara-negara peserta yang lainnya. Pengajuan usulnya itu haruslah dilakukan secara tertulis (pasal 67 ayat 1) disertai dengan alasan-alasannya dan langkah-langkah yang seyogianya ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut. Selanjutnya menurut pasal 65 ayat 2, jika dalam rentang waktu tiga bulan terhitung dari saat diterimanya usulan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut, — kecuali dalam keadaan yang sangat khusus — ternyata tidak ada satu pihakpun yang menyatakan penolakan atau keberatannya, maka pihak yang mengajukan usulan itu dapat mengambil langkah-langkah seperti ditentukan dalam pasal 67 yakni menyampaikan pernyataan bahwa perjanjian itu berakhir eksistensinya yang harus disampaikan kepada negara-negara peserta lainnya. Pemberitahuan atau pernyataan itu harus dilakukan sucara tertulis dan ditandatangani oleh kepala negara, atau kepala pemerintah, atau menteri luar negerinya. Jika hal itu dilakukan oleh pejabat lain selain daripada ketiga pejabat negara tersebut, maka pejabat negara itu haruslah disertai dengan surat kuasa atau kuasa penuh (full powers). Jika tidak disertai dengan kuasa penuh, maka keabsahannya dapat dipersoalkan oleh pihak-pihak atau negara-negara peserta yang lainnya.

G. Konsekuensi Hukum dan Berakhirnya Eksistensi suatu Perjanjian Internasional.
Tentang konsekuensi hukum dan pengakhiran suatu perjanjian internasional diatur di dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi. Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya; jika pengaturan itu tidak ada, kemungkinan kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan tersendiri, dan kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada, maka para pihak dapat mengikuti ketentuan seperti ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini. Jika suatu perjanjian internasional mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya tentang konsekuensi (hukum) dari berakhirnya eksistensi perjanjian, maka para pihak cukup menerapkan ketentuan itu saja. Akan tetapi dalam prakteknya, memang sangat jarang ada — bahkan mungkin tidak ada— perjanjian internasional yang mengatur sampai sejauh ini, bahkan lebih banyak dijumpai perjanjian-perjanjian internasional yang sama sekali tidak mengaturnya. Jika tidak ada pengaturan tentang konsekuensinya, maka timbul pertanyaan, bagaimanakah konsekuensi dan berakhirnya eksistensi suatu perjanjian internasional. Dalam hal ini kemungkinan para pihak akan mengatur secara tersendiri. Pengaturan ini merupakan kesepakatan antara para pihak tersebut merupakan kesepakatan tersendiri (di luar perjanjian) sebagai konsekuensi dan pengakhiran atas eksistensi perjanjian tersebut. Pengaturan semacam ini hanyalah mungkin, apabila pengakhiran atas eksistensi perjanjian internasional dilakukan atas dasar kesepakatan (secara damai) antara para pihak. Jika ada kesepakatan semacam ini, maka para pihak tentu saja harus menerapkan kesepakatan ini saja, dan jika semua berlangsung dengan baik dan lancar, maka berakhirlah semua masalahnya.

H. Kesimpulan
Beberapa alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional. Misalnya, untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya sudah ditentukan secara pasti di dalam salah satu pasalnya, misalnya berlaku untuk waktu lima tahun, sepuluh tahun, dan lain sebagainya, maka perjanjian itu akan berakhir setelah terpenuhinya jangka waktu tersebut. Meskipun demikian, setelah jangka waktu itu terpenuhi, para pihak dapat bersepakat untuk memperpanjang masa berlakunya untuk suatu jangka waktu tertentu.
Konvensi Wina 1969 Pasal 42 ayat 2 menegaskan, bahwa tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional pertama-tama harus dilihat pada bagaimana peraturannya di dalam perjanjian internasional itu sendiri, kalau memang perjanjian itu secara tegas mengaturnya. Sedangkan jika tidak ada pengaturannya, pengakhiran itu dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Konvensi.
Suatu perjanjian internasional yang hendak diakhiri eksistensinya berdasarkan kehendak dari salah satu atau beberapa pihak, menurut pasal 65 ayat 1, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu kepada negara-negara peserta yang lainnya. Pengajuan usulnya itu haruslah dilakukan secara tertulis (pasal 67 ayat 1) disertai dengan alasan-alasannya dan langkah-langkah yang seyogianya ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut.
Tentang konsekuensi hukum dan pengakhiran suatu perjanjian internasional diatur di dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi. Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya; jika pengaturan itu tidak ada, kemungkinan kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan tersendiri, dan kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada, maka para pihak dapat mengikuti ketentuan seperti ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini.

RESUME
HUKUM PERJANJIAN
INTERNASIONAL
OLEH :
M. ALFIANSYAH ZUGITO
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

PTUN

AAUPL
Asas-asas umum pemerintahan adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan aturan hukum. Asas-asas ini tertuang pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Asas hukum adalah jantungnya aturan hukum, ia menjadi titik tolak untuk berpikir, membentuk dan mengintepretasikan hukum. Peraturan hukum merupakan pedoman tentang perilaku yang seharusnya, berisi apa yang boleh, apa yang diperintahkan, dan apa yang dilarang.
Beberapa istilah untuk menyebut asas pemerintahan yang baik ini bermacam-macam, misalnya di Belanda dikenal dengan Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuungr (ABBB), di Inggris dikenal The Principal of Natural Justice , di Perancis diistilahkan Les Principaux Generaux du Darioit Coutumier Publique, di Belgia disebut Aglemene Rechtsbeginselen, di Jerman dinamakan Verfassung Sprinzipien dan di Indonesia dikatakan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak”.
Asas-asas umum pemerintahan yang layak berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi penggugat. Sebagian besar asas-asas umum pemerintahan yang layak, masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan masyarakat. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah Hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan Hukum positif.
Arti penting dan fungsi asas-asas umum pemerintahan yang layak bagi administrasi negara adalah sebagai pedoman dalam penafsirkan dan penerapan terhadap ketentuan perundang-undangan yang sumir, samar atau tidak jelas, juga untuk membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara mempergunakan freies ermessen yang jauh menyimpang dari ketentuan Undang-Undang. Administrasi negara dapat terhindar dari perbuatan onrechtmatige daad, detournement de pouvoir, abus de darioit, dan ultravires. Bagi masyarakat, sebagai pencari keadilan, asas-asas umum pemerintahan yang layak dapat digunakan sebagai dasar gugatan. Bagi hakim Tata Usaha Negara, dapat digunakan segabai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan pejabat Tata Usaha Negara dan asas-asas umum pemerintahan yang layak juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang Undang-Undang.
Dua jenis penyimpangan penggunaan wewenang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yakni penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvoir), yaitu badan/pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Sewenang-wenang (willekuer), yaitu badan/pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
Pembagian asas-asas umum pemerintahan yang layak terkait dengan beschikking, adalah asas-asas yang bersifat formal/prosedural yaitu yang berkaitan dengan prosedur yang harus dipenuhi dalam pembuatan ketetapan. Seperti asas kecermatan, asas permainan yang layak. Asas-asas yang bersifat material/substansial yaitu isi dari keputusan pemerintah. Seperti asas kepastian Hukum, asas persamaan, asas larangan sewenang-wenang, larangan penyalahgunaan wewenang. Untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka syarat pertama adalah mewujudkan Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Untuk itu perlu diletakkan asas-asas umum penyelenggaraan negara agar dapat tercipta Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance). Kemudian, peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mengawasi mereka, baik Eksekutif, yudikatif atau pun legislatif supaya tetap berpegang teguh pada Asas-asas Umum Pemerintahan ini.
Pelaksanaan sistem pemerintahan di negara kita tentu didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang layak. Maka dari itu apabila terjadi akibat hukum yang merugikan dari adanya penetapan tertulis dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, lebih-lebih bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mendapat keputusan. Dalam hal ini badan atau pejabat tata usaha negara sebagai tergugat. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukum formal yang mengatur prosedur jalannya sistem peradilan tata usaha negara dari mulai pengajuan gugatan samapai pada keluarnya keputusan hakim.
Dalam terjadinya sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat ketidakseimbangan kedudukan antara pihak tergugat dengan pihak penggugat. Karean itu sangat dibutuhkan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak sebagai pedoman bagi hakim dalam memutus sengketa tersebut.
Asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL), dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Asas-asas umum pemerintahan yang layak ini merupakan konsep terbuka (open begrif). Karena itu akan berkembang dan disesuaikan dengan ruang dan waktu dimana konsep ini berada.
Asas-asas pemerintahan yang layak dapat dibedakan dalam asas-asas yang tertulis, yaitu :
1. Larangan menyalahgunakan kekuasaan (pasal 53 ayat 2 b UU Nomor 5 tahun 1986 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Asas ini melarang untuk menggunakan suatu wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang itu. Setiap wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan selalu diberikan dengan maksud/tujuan-tujuan tertentu. Larangan ini diartikan sebagai kewajiban penyelenggaraan pemerintahan agar menggunakan wewenang pemerintahannya itu sesuai dengan maksud pembuat undang-undang serta agar berbuat dengan niat dan motif-motif yang bersih dan murni.
2. Larangan berbuat sewenang-wenang (pasal 53 ayat 2 c UU Nomor 5 tahun 1986 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Larangan ini terutama berperan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan yang bersangkutan memiliki kebebasan (Freiss Ermessen), ialah dalam arti bahwa wewenang itu tidak boleh jelas-jelas dipergunakan dengan tidak menurut nalar. Penguasa harus selalu menimbang-nimbang semua kepentingan-kepentingan yang tersangkut. Asas ini menghendaki agar kepentingan-kepentingan yang tersangkut itu ditimbang-timbang secara obyektif dengan memperhatikan ukuran-ukuran dalam hubungannya satu dengan yang lain, sehingga tidak terjadi bahwa ada kepentingan-kepentingan yang tidak ditimbang/diperhatikan, bahwa sebaliknya ada kepentingan yang terlalu diberi bobot yang berlebihan.
Asas-asas yang tidak tertulis ialah :
Asas-asas formal mengenai pembentukan keputusan :
1. Asas kecermatan formal
Asas ini menghendaki bahwa semua fakta-fakta dan masalah–masalah yang relevan diinventarisasi dan diperiksa, untuk dipertimbangkan dalam mengambil keputusannya. Asas ini dapat dilanggar dengan berbagai cara ialah :
- Pihak-pihak yang berkepentingan tidak didengar dengan cara yang tidak benar.
- Fakta-fakta tidak diperiksa dengan cermat.
- Advis-advis dipergunakan dengan tidak cermat.
2. Asas fair play
Warga masyarakat harus diberi segala kesempatan untuk mempertahankan kepentingannya. Juga harus dihindari kesan seolah-olah penguasa yang bersangkutan berpihak. Asas ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara. Asas ini penting dalam peradilan administrasi negara karena terdapat perbedaan kedudukan antara pihak penggugat dengan tergugat. Pejabat selaku pihak tergugat secara politis memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan penggugat.


Asas-asas formal mengenai formalitas keputusan :
1. Asas kepastian hukum formal
Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang mengunytungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas kepastian hukum memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki daripadanya. Asas ini berkaitan dengan prinsip dalam hukum administrasi Negara, yaitu asas het vermoeden van rechtmatig heid atau presumtio justea causa, yang berarti setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan hukum oleh hakim administrasi.
2. Asas motivasi
Asas motivasi untuk keputusan, asas ini menghendaki setiap ketetapan harus mempunyai motivasi/alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan ketetapan. Alasan harus jelas, terang, benar, obyektif, dan adil. Alasan sedapat mungkin tercantum dalam ketetapan sehingga yang tidak puas dapat mengajukan banding dengan menggunakan alasan tersebut. Alasan digunakan hakim administrasi untuk menilai ketetapan yang disengketakan.

Asas-asas material mengenai keputusan :
1. Asas kepastian hukum material
Hukum material terkait erat dengan asas kepercayaan. Asas ini ini menghendaki dihotmatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarakan suatu keputusan pemerintah, meskipun itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan. Asas kepastian hukum materiil terutama berarti bahwa hukum yang berlaku harus dilaksanakan, serta bahwa keputusan-keputusan tidak diubah dengan berlaku surut untuk kerugian warga masyarakat yang bersangkutan.
2. Asas kepercayaan
Asas kepercayaan yaitu legal expectation, harapan-harapan yang ditimbulkan (janji-janji, keterangan-keterangan, aturan-aturan kebijaksanaan dan rencana-rencana) sedapat mungkin harus dipenuhi.
3. Asas persamaan
Asas ini menghendaki agar kasus yang sama seharusnya memperoleh perlakuan yang serupa. Asas ini megandung juga larangan diskriminasi, ialah membeda-bedakan suatu /beberapa golongan penduduk berdasarkan hal-hal yang khusus dimiliki masing-masing golongan itu.
4. Asas kecermatan material
Asas ini menghendaki agar perbuatan-perbuatan penyelenggara pemerintahan sesedikit mungkin menyebabkan kerugian. Kadang-kadang tidak dapat dihindari bahwa ada kepentingan-kepentingan yang dirugikan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu demi kepentingan umum. Dalam hal itu kerugian harus sebanyak mungkin dibatasi, dalam hal-hal tertentu dengan memberi sejumlah ganti rugi.
5. Asas keseimbangan
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan pegawai dan adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum. Artinya terhadap pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan orang yang berbeda akan dikenakan sanksi yang sama, sesuai dengan criteria yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Asas larangan willekeur
Asas pemberian alasan yakni ketetapan harus memberikan alasan, harus ada dasar fakta yang teguh dan alasannya harus mendukung. Penyalahgunaan wewenang yaitu tidak boleh menggunakan wewenang untuk tujuan yang lain. Willekeur atau wewenang, kurang memperhatikan kepentingan umum, dan secara kongkret merugikan
PUTUSAN
A. Pengertian Putusan
Pada dasarnya penggugat mengajukan suatu gugatan ke pangadilan adalah bertujuan agar pengadilan melalui hakim dapat menyelesaikan perkaranya dengan mengambil suatu putusan. Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting bukanlah hukumnya, karena hakim dianggap tahu hukumnya (ius curia novit), tetapi mengetahui secara objektif fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang sebenarnya sebagai dasar putusannya., bukan secara aprori lansung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yag sebenarnya.
Fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara akan dapat diketahui hakim dari alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Setelah dianggap cukkup hakim harus menentukan peraturan hokum yang dapat diterapkan. Menyakut tentang peraturan hukum yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan sengketa itu oleh hakim. Pada dasarnya menunjukan bahwa sebelum menjatuhkan suatu putusan hakim hakim melakukan penelitian dalam rangka menemukan hukum.
Dari uraian diatas kiranya cukup tepat apabila disebutkan bahwa putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak menpunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan dipersidangan oleh hakim. Putusan yang diucapkan dipersidangan tidak boleh berbeda dengan yang tetulis (vonnis). Selanjutnya juga dijelaskan bahwa didalam literatur Belanda dikenal istilah vonnis atau gewijsde. Yang dimkasud dengan vonnis adalah putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga hanya tersedia upaya hukum yang khusus. Dalam kaitannya dengan hukum acara PTUN, putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah :
a. Putusan pengadilan tingkat pertama ( Pengadilan Tata Usaha Negara) yang sudah tidak dapat dimintakan upaya banding.
b. Putusan pengadilan tinggi ( Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) yang tidak dimintakan kasasi.
c. Putusan mahkamah agung dalam tingkat kasasi
Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada dasarnya adalah putusan pengadilan yang tidak memiliki upaya hukum ( banding dan kasasi), namun sebagaimana yang disebutkan diatas banding dan kasasi adalah upaya hukum biasa, disamping itu terdapat upaya hukum istimewa atau upaya hukum luar biasa. Dengan demikian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap juga masih bias dilawan dengan upaya hukum istimewa itu. Dalam praktik, hukum acara perdata maupun hukum acara pidana hal ini bukan merupakan hal yang baru lagi. Bahkan, ada perkembangan bahwa upaya hukum istimewa itu tidak lagi dapat dimiliki penggugatdalam rangka memperjuangkan hak-haknya, tetapi dapat juga dipergunakan pihak tergugat. Penggunaan upaya hukum istimewa ini hendaknya dikembalikan kepada latar belakang filosofis yang mendasarinya, yakni dalam rangka memberikan perlindungan hukum secara maksimal kepada rakyat bukan kepada penguasa.
B. ISI PUTUSAN
Dari pasal 97 ayat (7) tersebut, maka dapat diketahui bahwa isi putusan pengadilan TUN dapat berupa gugatan ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima, atau gugatan gugur.
1. Gugatan ditolak
Apabila isi putusan pengadilan TUN adalah berupa penolakan terhadap gugutan penggugat berarti memperkuat KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang bersangkutan. Pada umumnya suatu gugatan ditolak oleh majelis hakim, karena alat-alat bukti yang diajukan pihak penggugat tidak mendukung gugatannya, alat-alat bukti yang diajukan pihak tergugat lebih kuat.
2. Gugatan dikabulkan
Suatu gugatan dikabulkan, ada kalanya pengabulan seluruhnya atau menolak sebagian lainnya. Isi putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak penggugat itu, berarti tidak membenarkan KTUN yang dikeluarkan oleh pihak tergugat atau tidak membenarkan sikap tidak berbuat apa-apa yang dilakukan oleh tergugat, padahal itu sudah merupakan kewajibannya (dalam hal pangkal sengketa berangkat dari pasal 3) .
Dalam hal gugtan dikabulkan, maka putusan tersebut ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat, yang dapat berupa :
a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan atau;
b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru.
c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3
Disamping kewajiban yang disebutkan diatas, dalam putusan pengadilan dapat pula menetapkan kewajiban bagi pihak tergugat untuk membayar ganti kerugian (untuk sengketa yang bukan sengketa kepegawaian), kompensasi dan rehabilitasi untuk sengketa kepegawaian.
3. Gugatan tidak diterima
Putusan pengadlan yang berisi tidak menerima gugatan pihak penggugat berarti gugatan itu tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam prosedur dismissal dan atau pemeriksaan persiapan. Dalam prosedur atau tahap tersebut, ketua pengadilan dapat menyatakan gugatan tidak dapat diterima, karena alas an gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
4. Gugatan gugur
Putusan pengadilan yang dinyatakan gugatan gugur dalam hal para pihak atau kuasanya tidakhadir dalam persidangan yang telah ditentukan dan mereka dipanggil secara patut, atau perbaikan gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat telah melampaui tenggang waktu yang ditentukan (daluwarsa).
UU PTUN tidak mengatur perihal tentang mana kalah penggugat meninggal dunia dalam hukum acara perdata setelah kematian diberitahukan, pemeriksaan perkara terhenti, segala tindakan-tindakan prosesuil tidak sah, gugatan kemudian dapat dilanjutkan oleh ahli waris. Dalam perkara adminnistrasi tidak dengan sendirinya gugatan dinyatakan gugur, akan tetapi pihak ahli waris penggugat akan dipanggil untuk ditanya, apakah gugatan akan diteruskan atau dicabut. Demikian pula perubahan status salah satu pihak, misalnya apabila salah satu pihak kehilangan kemampuan untuk bertindak, dan juga apabila kualitas seseorang dalam beracara berhenti, meniggalkan wakil salah satu pihak yang berperkara, menyebabkan pula terhentinya jalan pemeriksaan.
C. BENTUK DAN ISI PUTUSAN
Susunan isi putusan
Dalam pasal 109 UU PTUN disebutkan susunan isi putusan sebagai berikut:
1) Putusan pengadilan harus memuat :
a. Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
b. Nama jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
c. Rinkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa
e. Alas an hukum yang mejadi dasar putusan
f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara
g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yg memutus, nama penitera, serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak.
2) Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.
3) Selambat-lambatnya 30 hari sesudah putusan pengadilan diucapkan, putusan itu harus ditandatangi oleh hakim yang memutuskan dan panitera yang turut bersidang.
4) Apabila hakim ketua majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat hakim ketua siding berhalangan menandatangani, maka putusan pengadilan ditandatangi oleh ketua pengadilan dengan menyatakan berhalangan hakim ketua majelis hakim atau hakim ketua siding tersebut.
5) Apabila hakim anggota majelis berhalangan menandatangi, maka putusan pengadilan ditandatangi oleh hakim ketua majelis dengan menyatakan berhalangannya hakim anggota majelis tersebut.
Suatu putusan harus memuat dan memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Kepala putusan
Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala putusan pada bagian atas putusan yang berbunya “Demi Keadilan Berdasrkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan, apabila kepala putusan ini tidak dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan, maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut
Dengan demikian huruf a pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagai kepala putusan.
2. Identitas para pihak
Suatu perkara atau gugatan sekurang kurangnya mempunyai dua pihak (penggugat dan tergugat), maka didalam putusan harus di muat identitas para pihak tersebut.
Dengan demikian huruf b pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagai identitas para pihak
3. Ringkasan
4. Pertimbangan (konsideran)
Dalam hukum acara perdata suatu putusan pengadilan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang lazimnya dibagi dua bagian; pertimbanga tentang duduknya perkara atau pristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan-pertimbangan itu tidak lain dimaksudkan sebagai alasan-alasan hakim, sebagai pertanggungjwaban kepada masyarakat mengapa ia mengambil putusan yang demikian itu, sehingga putusan dapat bernilai objektif.
Dengan demikian huruf c,d,dan e pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagi bahan pertimbangan.
5. Alasan hukum
6. Amar putusan (dictum)
Merupakan jawaban atas petitum dari gugatan, sehingga amar atau dictum juga merupakan tanggapan atas petitum itu sendiri. Hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan yang diajukan pihak penggugat dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan yang lebih dari yang dituntut.
Dengan demikian huruf f pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagi amar.
7. Biaya perkara
Seluruh biaya perkara biasanya dibebankan kepad pihak yang dikalahkan (kecuali yang dikalah adalah penggugat dan penggugat telah mengajukan permohonan berperkara dengan Cuma-Cuma serta mendapat persetujuan).
Dalam pasal 111 disebutkan bahwa biaya perkara mencakup:
a. Biaya kepaniteraan dan biaya matrai
b. Biaya saksi ahli, dan ahli bahasa
c. Biaya pemeriksaan di tempat lai dari ruangan sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim ketua sidang.
8. Waktu, nama hakim, panitera, dan keterangan lain

HUKUM ACARA
Hukum acara PTUN dibedakan atas :
a. Hukum acara materil yang meliputi :
• Kompetensi absolut dan relatif
o Absolute
Kompetensi absolute dari peradilan tata usaha negara adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata ysaha negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata uusaha negara, termasuk sengketa kepegawaian (pasal 1 angka 4 UU PTUN) dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu perundang-undangan sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan (pasal 3 UU PTUN).
o Relative
Kompetensi relative adalah kewenangan dari pengadilan sejenis yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan peradilan tata usaha negara, maka kompetensi relativenya adalah menyangkut kewenangan pengadilan tata usaha Negara yang mana berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tersebut.
• Hak gugat
• Tenggang waktu menggugat
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan dalam pasal 55 UU PTUN disebutkan :
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu Sembilan puluh hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara.
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan Sembilan puluh hari tersebut dihitung secara bervariasi :
a. Sejak hari diterimanya KTUN yang digugat itu memuat nama penggugat
b. Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi Negara untuk memberikan keputusan, namun ia tidak berbuat apa-apa.
c. Setelah lewat empat bulan, apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kesempatan kepada administrasi Negara untuk memberikan keputusan dan ternyata ia tidak berbuat apa-apa.
d. Sejak hari penmgumuman apabila KTUN itu harus diumumkan.
Dengan demikian, tengggang waktu mengajukan gugatan untuk semua macam keputusan adalah sembilan puluh hari, yang berbeda adalah saat mulai dihitungnya waktu Sembilan puluh hari tersebut.
• Alasan menggugat
Alasan mengajukan gugatan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN dan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN – 2004, disamping memiliki persamaan juga memiliki beberapa perbedaan. Dari perbedaan tersebut setidak-tidaknya akan diketahui kelebihan dan kelemahan masing-masing. Untuk memahami hal tersebut dibawah ini akan dikemukakan alasan mengajukan gugatan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN. Dan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN – 2004.
Dalam pasal 53 ayat (2) UU PTUN menyebutkan ada tiga alasan menggugat suatu KTUN kepengadilan tata usaha Negara yaitu :
a. Keputusan tata usaha Negara yang diguguat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
b. Badan atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 telah menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
c. Badan atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut.
• Alat bukti
Dalam pasal 100 sampai dengan pasal 106 UU PTUN disebutkan sebagai alat bukti yang diajukan dalam hukum acara PTUN :
a. Surat atau tulisan
b. Keterangan ahli
c. Keterangan saksi
d. Pengakuan para pihak
e. Pengetahuan hakim
Untuk kelancaran proses pemeriksaan perkara, sebelum mengajukan gugatan sebaiknya penggugat telah mempersiapkan alat-alat bukti yang dapat menguatkan gugatannya, sehingga dapat memenangkan perkara dari alat-alat bukti yang disebutkan diatas, maka dapat diketahui bahwa alat-alat bukti yang perlu dipersiapkan penggugat adalah surat atau tulisan dan saksi. Pada umumnya pihak tergugat juga akan mengajukan alat-alat bukti yang dapat menggagalkan gugatan pihak tergugat.
b. Hukum acara formil (hukum acara dalam arti sempit) berupa langkah-langkahatau tahapan yang terbagi atas :
• Acara biasa
Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa dari gugatan penggugat, terlebih dahulu melalu proseur rapat permusyawaratan dan pemeriksaan persiapan, setelah melalui kedua prosedur itu tidak ada alasan bagi hakim untuk menyatakan dalam suatu penetapan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar, maka selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa dengan acra biasa.
Pemeriksaan sengketa dengan acara biasa, diatur dalam pasal 68 sampai dengan pasal 97 UU PTUN.
Dari pasal-pasal tersebut yang dikemukakan disini berkaitan dengan pemeriksaan sengketa dengan acara biasa adalah bahwa pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan dengan majelis hakim (tiga orang hakim). Hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir dipersidangan pada hari pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alsan yang dapat dipertanggung jawabkan, meskipun setiap kali dipanggil dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan pengugat harus membayar biaya perkara.

Berbeda halnya, apabila tergugat atau kuasanya, tidak hadir di persidangan dua kali siding berturut-turut dan atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka hakim ketua siding dengan surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir dan atau menanggapi gugatan tersebut. Apabila dalam jangka waktu dua ulan setelah surat tersebut dikirimkan lewat surat tercatat tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka hakim ketua sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat. Putusan terhadap pokok gugatandapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya telah dilakukan secra tuntas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam hukum acara PTUN tidak dikenal adanya putusan verstek, meskipun akhirnya ada kesan seperti itu, tetapi harus diingat putusan verstek tidak memerlukan pemeriksaan pokok sengketa dan segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.
• Acara cepat
Pemerikasaan dengan acara cepat diatur dalam pasal 98 dan 99 UU PTUN, yang menyebutkan :
1) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
2) Ketua pengadilan dalamjangka waktu 14 hari setelah diterimanya pemohonan sebaimana dimaksud dalam ayat 1 mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat digunakan upaya hukum.
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa kepentingan penggugat cukup mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat.
Alasan mengajukan permohonan pemeriksaan dengan acara cepat ini mempunyai kemiripan dengan alasan mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN, yakni; sama-sama terdapat kepentingan penggugat yang mendesak.


Selanjutnya dalam pasal 99 UU PTUN disebutkan sebagai berikut :
1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal.
2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (1) dikabulkan, ketua pengadilan dalam jangka waktu 7 hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63.
3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari.
Dengan dimuatnya pemeriksaan dengan acara cepat ini akan dapat membantu para pencari keadilan untuk dapat mengetahui secepat mungkin tentang kepastian hukum dari hak-hak yang diperjuangkan.
• Acara singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat di PTUN dapat dilakukan apabila terjai perlawanan (verzet) atas penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan.
Pemeriksaan acara singkat diatur dalam pasal 62 UU PTUN. Ketua pengadilan sebelum memutuskan dalam suatu penetapan bahwa gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, terlebih dahulu harus melakukan penelitian administratif (prosedur dismissal), apakah gugatan penggugat termasuk dari salah satu yang disebutkan dalam pasal 62 ayat 1. Alasan atau pertimbangan ketua pengadilan menyatakan gugatan penggugat tidak diterima atau tidak berdasar harus mengacu pada salah satu huruf yang disebutkan dalam pasal 62 ayat 1.
Dalam angka II SEMA No.2 Tahun 1991 disebutkan prosedur dismissal. Putusan mengenai gugatan perlawanan yang dilakukan melalu pemeriksaan dengan acara singkat itu dapat diterima dan dapat tolak. Apabila gugatan diterima, maka penetapan ketua pengadilan yang dilawan itu menjadi gugur demi hukum (ex lege), selanjutnya perkara tesebut oleh majelis akan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan persiapan dengan acara biasa. Sebaliknya, apabila gugatan perlawanan itu ditolak, maka penetapan ketua pengadilan tersebut tetap sah untuk dipakai.

Pengikut