tag:blogger.com,1999:blog-36615897521959623212024-02-20T05:25:49.633-08:00Tentang Hukum dan Tugas KuliahSemua Insya Allah ada di Blog ini! kalau belum ada bisa Koment sajaMuhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.comBlogger17125tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-18389419474050710732011-01-23T01:56:00.000-08:002011-01-23T01:56:31.990-08:00Perbedaan Hukum Pidana, Sosiologis, Kriminologis dan ViktimologiHUKUM PIDANA<br />
Antara ilmu hukum pidana dan kriminologi memiliki hubungan yang bersifat timbal-balik dan interdependen. Ilmu hukum mempelajari akibat hukum dari perbuatan yang dilarang, sedangkan kriminologi mempelajari sebab dan cara menghadapi kejahatan.<br />
<br />
Kejahatan yang dimaksudakan adalah sebagai berbuat dan tidak berbuat yang bertentangan dengan tata cara yang ada dalam masyarakat. Dilihat dari sudut ini maka lapangan penyelidikannya tidak hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang oleh pembentuk UU dinyatakan sebagai delik.<br />
<br />
SOSIOLOGIS<br />
Pada teori kejahatan dari perspektif sosiologis berusaha mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum yaitu : strain, cultural deviance (penyimpangan budaya), dan social control.<br />
Perspektif strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatianya pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya pada teori kontrol sosial mempuyai pendekatan berbeda. Teori ini berdasarkan asumsi bahwa motivasi untuk melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Selain itu teori ini mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga sosial membuat aturan yang efektif. Teori strain dan penyimpangan budaya keduanya berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal berhubungan, tetapi berbeda dalam hal sifat hubungan tersebut. Para penganut teori strain beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya yaitu nilai-nilai budaya dari kelas menengah. Satu nilai budaya terpenting adalah keberhasilan ekonomi, karena orang-orang kelas bawah tidak mempunyai sarana-sarana yang sah untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana yang tidak sah. Pada teori penyimpangan budaya menyatakan bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-nilai dari kelas menengah. Sebagai konsekuensinya manakala orang-orang kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma konvensional. <br />
Sudah umum diterima bahwa objek kriminologi adalah norma-norma kelakuan (tingkah laku) yang tidak disukai oleh kelompok-kelompok masyarakat, tetapi kejahatan (crime) sebagai salah satu dari padanya masih merupakan bagian yang terpenting. Dari sudut pandang sosiologi maka dapatlah dikatakan bahwa kejahatan adalah salah satu persoalan yang paling serius dalam hal timbulnya Disorganisasi sosial,karena penjahat-penjahat itu sebenarnya melakukan perbuatan-perbuatan yang mengancam dasar-dasar dari pemerintahan, hukum, ketertiban dan kesejahteraan umum. Beberapa kejahatan menunjukkan sifat-sifat egoistis,ketamakan dari pelaku kejahatan, sama sekali tidak mempedulikan keselamatan, kesejahteraan ataupun barang milik orang lain. Pelaku kejahatan yang lebih besar lagi dan lebih berkuasa umumnya bersatu dan bergabung dengan pegawai-pegawai pemerintah yang korup dan dengan demikian mencoba untuk mencapai tujuan-tujuan mereka dengan melalui saluran pemerintahan. <br />
Sosiologi modern sangat menekankan pada mempelajari struktur dan jalanya masyarakat sekarang ini. Bila dilihat dari sosiologi maka kejahatan adalah salah satu masalah yang paling gawat dari disorganisasi sosial. Karena pelaku kejahatan bergerak dalam aktivitas-aktivitas yang membahayakan bagi dasar-dasar pemerintahan, hukum, Undang-Undang, Ketertiban dan Kesejahteraan sosial. dan oleh karena itulah kejahatan merupakan salah satu bagian dari disorganisasi sosial yang perlu diperhatikan. Dalam culture conflict theory Thomas Sellin menyatakan bahwa setiap kelompok memiliki conduct morm-nya sediri dan dari conduct norms dari satu kelompok mungkin bertentangan dengan conduct norms kelompok lain. Seorang individu yang mengikuti norma kelompoknya mugkin saja dipandang telah melakukan suatu kejahatan apabila norma-norma kelokpoknya itu bertentangan dengan norma-norma dari masyarakat dominan. Menurut penjelasan ini perbedaan utama antara seorang kriminal dengan seorang non kriminal adalah bahwa masig-masing menganut conduct norms yang berbeda. Sebaliknya dalam teori kontrol sosial memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi-strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan membawanya kepada penyesuaian atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat.<br />
KRIMINOLOGIS<br />
Secara kriminologis, kejahatan bukan saja suatu perbuatan yang melanggar undang-undang atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi, yaitu yang mencakup berbuatan yang anti sosial, yang merugikan masyarakat, walaupun perbuatan itu belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana.<br />
Dengan melihat batasan kejahatan seperti telah diuraikan di bagian terdahulu maka penjahat adalah seseorang (atau sekelompok orang yang melakukan perbuatan anti sosial walaupun belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana (kriminologis). Dalam arti sempit, penjahat adalah seseorang yang melakukan pelanggaran undang-undang atau hukum pidana, lalu tertangkap, dituntut, dan dibuktikan kesalahannya di depan pengadilan serta kemudia dijatuhi hukuman.<br />
VIKTIMOLOGI<br />
adalah ilmu yang mempelajari tentang korban (victim = korban) termasuk hubungan antara korban dan pelaku, serta interaksi antara korban dan sistem peradilan - yaitu,polisi, pengadilan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait - serta didalamnya juga menyangkut hubungan korban dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dan institusi lain seperti media, kalangan bisnis, dan gerakan sosial.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-32809820979313520892011-01-23T01:54:00.000-08:002011-01-23T01:54:08.815-08:00Contoh Formil dan Materil Hukum PajakHukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Ada 2 macam hukum pajak yaitu:<br />
1. Hukum pajak materil, yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan.<br />
2. Hukum pajak formil, memuat bentuk/ tata cara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum iini memuat antara lain:<br />
a. Tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak. <br />
b. Hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dna peristiwa yang menimbulkan utang pajak.<br />
c. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. <br />
<br />
A. SISTEM PERPAJAKAN<br />
Ludwig von Bertalanffy, seorang biopsikologi bangsa Jerman yang menulis General System Theory pada tahun 1950-an mengemukakan bahwa semua fenomena mempunyai hubungan seperti dalam ilmu alam: ada organ, sel dan mulekul. Suatu masyarakat terdiri dari suprasistem, sistem dan subsistem.<br />
Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke Kas Negara. Contoh: Ditinjau dari tingkatan negara, maka negara adalah suatu suprasistem, Keuangan Negara adalah sistem dan perpajakan adalah subsistem Ditinjau dari tingkatan perpajakan, maka perpajakan di Indonesia adalah suatu suprasistem, pajak penghasilan adalah sistem dan pajak penghasilan atas karyawan adalah subsistem. Dalam sistem perpajakan di Indonesia dikenal Self Asssessment System, Official Assessment System dan Withholding tax System.<br />
Self Assessment System adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya<br />
Withholding tax system adalah suatu sistem perpajakan dimana pihak ketiga diberi kepercayaan (kewajiban), atau diberdayakan (empowerment) oleh undang-undang perpajakan untuk memotong pajak penghasilan sekian persen dari penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak.<br />
Official Assessment System adalah suatu sistem perpajakan dalam mana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus. <br />
B. TARIF PAJAK<br />
Dalam berbagai literatur perpajakan dikenal lima macam tarif pajak yakni tarif tetap (fixed rate), tarif proporsional (proportional rate), tarif progresif (progressive rate), tarif regresif (regressive rate) dan tarif degresif (degressive rate).<br />
Tarif tetap adalah tarif yang jumlah pajaknya dalam rupiah (atau dollar) bersifat tetap walaupun Objek Pajaknya jumlahnya berbeda-beda. Misalnya tarif Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985. Jumlah Bea Meterai atas kuitansi atau tanda terima uang di atas Rp1.000.000,- adalah Rp6.000,- Walaupun uang yang diterima besarnya Rp100.000.000,- atau Rp10.000.000.000,- dan seterusnya, jumlah Bea Meterai yang terutang tetap Rp6.000,-<br />
Sedangkan yang dimaksud dengan tarif proporsional adalah tarif yang prosentasenya tetap walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Misalnya tarif PPN 10% atas Rp100.000,- 10% atas Rp50.000.000,- 10% atas Rp10.000.000.000,-<br />
Tarif Pajak yang bersifat progresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajaknya, maka makin tinggi pula prosentase tarif pajaknya. Misalnya tarif Pajak Pendapatan tahun 1944, Tarif Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.<br />
Adapun tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajak, maka makin rendah prosentase tarifnya. Sedangkan tarif Pajak Degresif adalah tarif pajak yang apabila objek pajaknya makin tinggi, maka makin rendah tarifnya. Tarif ini pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli waris, maka tarif bea atau pajak atas warisan makin kecil.<br />
C. HUKUM PAJAK<br />
Hukum pajak atau hukum fiskal ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak.<br />
Hukum Pajak dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law). Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.<br />
Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-ketentuan tentang siapa, apa dan berapa. Hukum Pajak Formal berisi ketentuan tentang bagaimana.<br />
Hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak. <br />
D. SANKSI PAJAK<br />
Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas 3 macam yaitu berupa denda, bunga dan kenaikan. Hukum Pidana Fiskal dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu<br />
a) Peraturan Hukum Pidana mengenai Pajak Langsung dan Pajak Peredaran (PPe)/PPn;<br />
b) . Peraturan Hukum Pidana mengenai Bea Cukai; dan<br />
c) . Hukum Pidana Pemerintahan/Quasi/ Semu/Tidak Sebenarnya.<br />
Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara.<br />
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT.<br />
Sedangkan sanksi administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang-Undang KUP tahun 2000, kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar. <br />
E. UTANG PAJAK<br />
Menurut faham formal utang pajak timbul karena perbuatan fiskus, yakni fiskus menerbitkan SKP. Dalam contoh di atas, utang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus menerbitkan SKP. Secara ekstrim, si A tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP.<br />
Menurut faham materiil utang pajak timbul karena terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang disyaratkan dalam undang-undang. Terpenuhinya ketentuan dalam undang-undang tersebut disebut sebagai tatbestand. Misalnya syarat timbulnya utang pajak bagi si A dalam contoh di atas menurut UU PPh 2000 antara lain :<br />
Jika si A telah bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP, maka sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu menunggu fiskus menerbitkan SKP. Timbulnya utang pajak menurut faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-Undang atau karena tatbestand, yaitu ‘rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa (baik yang feitelijk, yuridis, persoonlijk maupun zakelijk) yang dapat menimbulkan utang pajak’. <br />
BAB III<br />
KESIMPULAN<br />
Hukum Pajak dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law). Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.<br />
Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-ketentuan tentang siapa, apa dan berapa. Hukum Pajak Formal berisi ketentuan tentang bagaimana.<br />
Hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak<br />
Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas 3 macam yaitu berupa denda, bunga dan kenaikan. Hukum Pidana Fiskal dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu<br />
d) Peraturan Hukum Pidana mengenai Pajak Langsung dan Pajak Peredaran (PPe)/PPn;<br />
e) . Peraturan Hukum Pidana mengenai Bea Cukai; dan<br />
f) . Hukum Pidana Pemerintahan/Quasi/ Semu/Tidak Sebenarnya.<br />
Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara.<br />
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT.<br />
Sedangkan sanksi administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang-Undang KUP tahun 2000, kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-78650438160446929222011-01-23T01:51:00.001-08:002011-01-23T01:51:29.396-08:00Teori UpahTeori dana upah, Oleh Stuart Mill Senior<br />
Menurut teori upah dana buruh tidak perlu menantang seperti yang disarankan oleh teori undang-undang upah besi, karena upah yang diterimanya itu sebetulnya adalah berdasarkan kepada besar kecilnya jumlah dana yang ada pada masyarakat. Jika dana ini jumlahnya besar maka akan besar pula upah yang diterima buruh, sebaliknya kalau dana ini berkurang maka jumlah upah yang diterima buruh pun akan berkurang pula.<br />
Menurut teori ini, yang dipersoalkan sebetulnya bukanlah berapa besarnya upah yang diterima buruh, melainkan sampai seberapa jauhnya tersebut mampu mencukupi segala keperluan hidup buruh beserta keluarganya. Karenanya menurut teori ini dianjurkan, bahwa khusus untuk menunjang keperluan hidup buruh yang besar tanggungannya disediakan dana khusus oleh majikan atau negara yang disebut dana anak-anak<br />
<br />
<br />
Teori Upah Alam, dari David Ricardo Teori ini menerangkan:<br />
1. Upah menurut kodrat adalah upah yang cukup untuk pemeliharaan hidup<br />
pekerja dengan keluarganya.<br />
2. Di pasar akan terdapat upah menurut harga pasar adalah upah yang<br />
terjadi di pasar dan ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Upah<br />
harga pasar akan berubah di sekitar upah menurut kodrat.<br />
Oleh ahli-ahli ekonomi modern, upah kodrat dijadikan batas minimum dari upah<br />
kerja<br />
<br />
sistem upah jangka waktu<br />
sistem upah jangka waktu ini adalah sistem pemberian upah menurut jangka waktu tertentu, misalnya harian, mingguan atau bulanan.<br />
Sistem Skala Upah Berubah<br />
Dalam sistem ini, jumlah upah yang diberikan berkaitan dengan harga penjualan hasil produksi di pasaran. Jika harga naik maka jumlah upah pun akan naik, sebaliknya jika harga turun maka upah pun akan turun. Itulah sebabnya disebut skala upah berubah.<br />
Teori dan sistem yang ideal menurut saya:<br />
1. Perlu diperhatikan adanya kualitas kerja, ada kualitas kerja terdidik dan tidak terdidik, kualitas kerja keahlian dan lain sebagainya. Aliran yang klasik dalam hal ini tidak memperhitungkan jam kerja yang dipergunakan untuk pembuatan barang, tetapi jumlah jam kerja yang biasa dan semestinya diperlukan untuk memproduksi barang. Dari situ maka Carey kemudian mengganti ajaran nilai kerja dengan ”teori biaya reproduksi.”<br />
2. Biaya produksi yang harus ditekan serendah-rendahnya agar harga barangnya nanti tidak terlalu tinggi atau keuntungannya tidak terlalu tinggi dan menjadi perhatian untuk dirundingkan dengan majikan agar dinaikkan.<br />
<br />
Teori Upah Alam, dari David Ricardo Teori ini menerangkan:<br />
1. Upah menurut kodrat adalah upah yang cukup untuk pemeliharaan hidup<br />
pekerja dengan keluarganya.<br />
2. Di pasar akan terdapat upah menurut harga pasar adalah upah yang<br />
terjadi di pasar dan ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Upah<br />
harga pasar akan berubah di sekitar upah menurut kodrat.<br />
Oleh ahli-ahli ekonomi modern, upah kodrat dijadikan batas minimum dari upah<br />
kerja<br />
<br />
Teori Upah Besi<br />
Teori upah ini dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle. Penerapan sistem upah kodrat menimbulkan tekanan terhadap kaum buruh, karena kita ketahui posisi kaum buruh dalam posisi yang sulit untuk menembus kebijakan upah yang telah ditetapkan oleh para produsen. Berhubungan dengan kondisi tersebut maka teori ini dikenal dengan istilah “Teori Upah Besi”. Untuk itulah Lassalle menganjurkan untuk menghadapi kebijakan para produsen terhadap upah agar dibentuk serikat pekerja.<br />
<br />
Sistem pembagian keuntungan <br />
Sistem upah ini dapat disampingkan dengan pemberian bonus apabila perusahaan mendapatkan keuntungan diakhir tahun.<br />
<br />
Sistem upah indeks<br />
Sistem upah ini didasarkan atas indeks biaya kebutuhan. Dengan sistem ini upah itu akan naik turun sesuai dengan naik turunnya biaya penghidupan, meskipun tidak mempengaruhi nilai nyata dari upah.<br />
<br />
<br />
Pendapat.<br />
Kesulitan yang terdapat dalam nilai kerja itu bahwa selain kerja masih banyak lagi jasa produktif yang ikut membantu pembuatan barang itu, harus dihindarkan. Selanjutnya David Ricardo (1772-1823) menyatakan bahwa perbandingan antara kerja dan modal yang dipergunakan dalam produksi boleh dikarakan tetap besarnya dan hanya sedikit sekali perubahan.<br />
<br />
Teori Upah Etika<br />
Menurut kaum Utopis (kaum yang memiliki idealis masyarakat yang ideal) tindakan para pengusaha yang memberikan upah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum, merupakan suatu tindakan yang tidak “etis”. Oleh karena itu sebaiknya para pengusaha selain dapat memberikan upah yang layak kepada pekerja dan keluarganya, juga harus memberikan tunjangan keluarga.<br />
<br />
Teori Upah Besi<br />
Teori upah ini dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle. Penerapan sistem upah kodrat menimbulkan tekanan terhadap kaum buruh, karena kita ketahui posisi kaum buruh dalam posisi yang sulit untuk menembus kebijakan upah yang telah ditetapkan oleh para produsen. Berhubungan dengan kondisi tersebut maka teori ini dikenal dengan istilah “Teori Upah Besi”. Untuk itulah Lassalle menganjurkan untuk menghadapi kebijakan para produsen terhadap upah agar dibentuk serikat pekerja.<br />
<br />
<br />
Sistem upah potongan<br />
Sistem ini tujuannya adalah untuk mengganti sistem upah jangka waktu jika hasil pekerjaannya tidak memuaskan. Sistem upah ini hanya dapat diberikan jika hasil pekerjaannya dapat dinilai menurut ukuran tertentu, misalnya diukur dari banyaknya, beratnya dan sebagainya.<br />
Manfaat pengupahan dengan sistem ini adalah:<br />
1. Buruh mendapat dorongan untuk bekerja giat<br />
2. Produktivitas semakin meningkat<br />
3. Alat-alat produksi akan dipergunakan secara intensif<br />
Sedangkan keburukannya adalah:<br />
1. Buruh selalu bekerja secara berlebih-lebihan<br />
2. Buruh kurang menjaga kesehatan dan keselamatannya<br />
3. Kadang-kadang kurang teliti dalam bekerja karena untuk mengerjar jumlah potongan<br />
4. Upah tidak tetap, tergantung jumlah potongan yang dihasilkan<br />
Untuk menampung keburukan dari sistem upah potongan maka diciptakan sistem upah gabungan, yaitu gabungan antara upah minimumnya sehari dengan jumlah minimum dari pekerjaannya sehari.<br />
<br />
Sistem pembagian keuntungan <br />
Sistem upah ini dapat disampingkan dengan pemberian bonus apabila perusahaan mendapatkan keuntungan diakhir tahun.<br />
<br />
<br />
Pendapat tentang teori dan sistem yang ideal:<br />
Teori yang ideal yang di gunakan untuk indonesia adalah teori dana upah karena upah buruh telah diasumsikan sebelumnya artinya upah buruh dianggap sebagai pengeluaran produksi. Dengan maksud pengeluaran dapat menjadi teratur.<br />
Sistem yang ideal adalah sistem upah potongan karena buruh dapat bekerja lebih giat, produktifitas semakin meningkat dan mengurangi kemalasan.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-84657177643774308052011-01-23T01:46:00.001-08:002011-01-23T01:46:45.323-08:00Hubungan Hukum Pidana Dengan Hukum LainHubungan Hukum Pidana dengan Ilmu Lain.<br />
Hukum pidana adalah teori mengenai aturan-aturan atau norma-norma hukum pidana. Dalam ruang lingkup sistem ajaran hukum pidana, yamg dinamakan disiplin hukum pidana sebenarnya mencakup ilmu hukum pidana, politik hukum pidana, dan filsafat hukum pidana. Ilmu hukum pidana mencakup beberapa cabang ilmu, ilmu hukum pidana merupakan mencakup ilmu-ilmu sosial dan budaya. Ilmu-ilmu hukum pidana tersebut mencakup ilmu tentang kaedah dan ilmu tentang pengertian yang keduanya disebut sebagai dogmatika hukum pidana serta ilmu tentang kenyataan.<br />
Politik hukum pidana mencakup tindakkan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut didalam kenyataan. Politik hukum pidana merupakan pemilihan terhadap nilai-nilai untuk mencegah terjadinya delikuensi dan kejahatan.<br />
Filsafat hukum pidana pada hakekatnya merenungkan nilai-nilai hukum pidana, berusaha merumuskan dan menyerasikan nilai-nilai yang berpasangan, tetapi yang mungkin bertentangan.<br />
Objek dalam dogmatik hukum pidana adalah hukum pidana positif, yang mencakup kaidah-kaidah dan sistem sanksi. Ilmu tersebut bertujuan untuk mengadakan analisis dan sistematisasi kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan penerapan yang benar. Ilmu tersebut juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif., yang kemudian menjadi patokan bagi perumusan serta penyusunan secara sistematis.<br />
Sosiologi hukum pidana memusatkan perhatian pada sebab-sebab timbulnya peraturan-peraturan pidana tertentu, serta efektifitasnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu ruang lingkup sosiologi hukum pidana sebagai berikut:[7]<br />
a. Proses mempengaruhi antara kaidah-kaidah hukum pidana dan warga masyarakat;<br />
b. Efek dari proses kriminalisasi serta deskriminalisasi;<br />
c. Identifikasi terhadap mekanisme produk dari hukum pidana;<br />
d. Identifikasi terhadap kedudukkan serta peranan para penegak hukum;<br />
e. Efek dari peraturan-peraturan pidana terhadap kejahatan, terutama pola prilakunya.<br />
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang meneliti delikuensi dan kejahatan, sebagai suatu gejala sosial. Jadi, ruang lingkupnya adalah proses terjadinya hukum pidana, penyimpangan terhadap hukum atau pelanggarannya, dan reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Kriminologi mencakup tiga bagian pokok yaitu:<br />
a. Sosiologi hukum pidana yang meneliti dan menganalisis kondisi-kondisi tempat hukum pidana berlaku;<br />
b. Etiologi kriminal yang meneliti serta mengadakan analisis terhadap sebab-sebab terjadinya kejahatan;<br />
c. Penologi yang ruang lingkupnya mencakup pengendalian terhadap kejahatan.<br />
Kriminologi merupakan teori tentang gejala hukum. Dari pengertian ini nampak adanya hubungan antara hukum pidana dengan kriminologi bahwa keduanya sama-sama bertemu dalam kejahatan, yaitu perbuatan/tingkah laku yang diancam pidana.<br />
Adapun perbedaan hukum pidana dan kriminologi terletak pada objeknya. Objek hukum pidana menunjuk pada apa yang dipidana menurut norma-norma hukum pidana yang berlaku. Sedangkan objek kriminologi tertuju pada manusia yang melanggar hukum pidana dan kepada lingkungan manusia-manusia tersebut. Dengan demikian, wajarlah bila batasan luas kedua objek ilmu itu tidak sama. Hal ini melahirkan kejahatan sebagai objek hukum pidana dan kejahatan sebagai objek kriminologi.<br />
Hukum pidana memperhatikan kejahatan sebagai pristiwa pidana yang dapat mengancam tata tertib masyarakat, serta kriminologi mempelajari kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang melibatkan individu sebagai manusia.<br />
Dengan demikian, hukum pidana melihat bahwa perbuatan melanggar ketentuan hukum pidana disebut sebagai kejahatan, sedangkan kriminologi melihat bahwa perbuatan bertentangan dengan hati nurani manusia disebut kejahatan.<br />
Titik tolak sudut pandang hukum pidana memiliki dua dimensi yaitu, unsur kesalahan dan unsur melawan hukum. Demikian pula kriminologi memiliki dua dimensi, yaitu faktor motif (mental, psikologi, penyakit, herediter) dan faktor sosial yang memberikan kesempatan bergerak. Hukum pidana menekankan pada pertanggungjawaban, sedangkan kriminologi menekankan pada accountabillity apakah perbuatan tersebut selayaknya diperhitungkanpada pelaku, juga cukup membahayakan masyarakat. Dalam kriminologi, unsur kesalahan tidak relevan.<br />
Interaksi hukum pidana dan kriminoligi disebabkan hal-hal berikut:<br />
a. Perkembangan hukum pidana akhir-akhir ini menganut sistem yang memberikan kedudukkan penting bagi kepribadian penjahat dan menghubungkan dengan sifat dan berat-ringannya (ukuran) pemidanaannya.<br />
b. Sejak dulu telah ada perlakuan khusus bagi kejahatan-kejahatan yang dilakukan orang-orang gila dan anak-anak yang menyangkut perspektif-perspektif dan pengertian-pengertiannya. Kriminologi terwujud sedemikian rupa dalam hukum pidana sehingga Criminale science sekarang menghadapi problema-problema dan tugas-tugas yang sama sekali baru dan berhubungan erat dengan kriminologi. Kriminologi tidak tergantung pada perspektif-perspektif dan nilai-nilai hukum pidana. Hubungan yang erat dengan kriminalitas merupakan syarat utama sehingga berlakunya norma-norma hukum pidana dapat diawasi oleh kriminologi.<br />
Dalam hubungan dengan dogmatik hukum pidana, kriminologi memberikan kontribusinya dalam menentukkan ruang lingkup kejahatan atau prilaku yang dapat dihukum.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-26657793956346045842011-01-23T01:41:00.000-08:002011-01-23T01:41:44.216-08:00Pengakhiran Perjanjian InternationalRESUME BAB XII<br />
PENGAKHIRAN ATAS EKSISTENSI SUATU <br />
PERJANJIAN INTERNASIONAL<br />
<br />
A. Pendahuluan<br />
Pada akhirnya suatu perjanjian internasional harus diakhiri, atau terpaksa diakhiri eksistensinya. Seperti halnya penundaan dan ketidakabsahan suatu perjanjian internasional, pengakhiran atas eksistensi suatu perjanjian internasional juga ada penyebabnya, yang dalam beberapa hal sama seperti persoalan penundaan maupun ketidakabsahannya. Itulah sebabnya di dalam Konvensi Wina 1969, ketiganya diatur di dalam satu Bagian (Part), yakni Part V. Oleh karena itu uraian dalam Bab ini, dalam beberapa hal hampir sama dengan Bab X tentang Penundaan dan Bab XI tentang Ketidakabsahan suatu Perjanjian Internasional. Pihak yang dapat mengusulkan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional, adalah pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang memandang, bahwa perjanjian itu tidak perlu dipertahankan lagi dan harus diakhiri. Selanjutnya pengakhiran ini juga akan menimbulkan konsekuensi hukum seperti halnya dengan penundaan maupun ketidakabsahannya yang harus diselesaikan oleh para pihak itu sendiri. Persoalan tentang bagaimana mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional dan penyelesaian segala konsekuensi hukumnya, pertama-tama tergantung pada ada atau tidaknya pengaturannya di dalam perjanjian itu sendiri. Di samping itu, juga turut ditentukan oleh macam perjanjiannya, apakah itu perjanjian bilateral, multilateral, perjanjian yang jangka waktu berlakunya ditentukan ataukah tidak ditentukan, perjanjian terbuka atau tertutup, perjanjian yang merupakan pengkodifikasian dan pengembangan progresif hukum internasional, dan lain sebagainya.<br />
<br />
B. Alasan untuk Mengakhiri Eksistensi suatu Perjanjian lnternasional<br />
Dalam praktek kehidupan masyarakat internasional, terdapat beberapa alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional. Misalnya, untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya sudah ditentukan secara pasti di dalam salah satu pasalnya, misalnya berlaku untuk waktu lima tahun, sepuluh tahun, dan lain sebagainya, maka perjanjian itu akan berakhir setelah terpenuhinya jangka waktu tersebut. Meskipun demikian, setelah jangka waktu itu terpenuhi, para pihak dapat bersepakat untuk memperpanjang masa berlakunya untuk suatu jangka waktu tertentu. Kadang-kadang suatu perjanjian internasional semacam inipun dapat diakhiri eksistensinya, jika para pihak sepakat untuk mengakhirinya, meskipun jangka waktu berlakunya belum terpenuhi. Sedangkan untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya tidak ditentukan, dapat diakhiri sebelum tujuan perjanjian itu tercapai, jika memang para pihak sepakat untuk mengakhirinya. <br />
<br />
C. Berakhirnya suatu Perjanjian Internasional Tidak Mengakhiri Kewajiban yang Berdasarkan atas Hukum Internasional Umum<br />
Perjanjian-perjanjian internasional jenis tertentu, yakni, perjanjian yang substansinya (sebagian) merupakan formulasi dan kaidah hukum kebiasaan internasional, hak ataupun kewajiban yang semula berasal dari hukum kebiasaan internasional itu masih tetap berlaku. Tegasnya, salah satu atau beberapa ketentuannya merupakan perumusan kern bali atau pengkodifikasian atas kaidah hukum yang sebelum berlakunya perjanjian itu sudah merupakan kaidah hukum kebiasaan internasional. Jika pada suatu waktu perjanjian itu diakhiri eksistensinya, hal ini tidaklah mengakhiri hak ataupun kewajiban negara-negara pesertanya yang bersumber dari hukum kebiasaan internasional tersebut.<br />
Contoh lain, negara A dan negara B membuat perjanjian bilateral tentang kesepakatan untuk hidup berdampingan secara damai, yang salah satu pasalnya berisi ketentuan yang menyatakan bahwa kedua pihak tidak akan saling menyerang dan tidak akan menggunakan kekerasan dalam penyelesaian perselisihan antara mereka. Ketentuan semacam ini adalah merupakan kaidah hukum kebiasaan internasional yang berlaku umum, terlepas dari ada atau tidak adanya penegasan atau pengaturannya di dalam suatu perjanjian internasional. Apabila pada suatu waktu nanti, perjanjian itu diakhiri eksistensinya, ketentuan seperti tercantum di dalam perjanjian itu tetap berlaku terhadap kedua negara, sebab sudah merupakan kaidah hukum internasional umum yang mandiri. Jadi, dengan kata lain, dengan berakhirnya perjanjian itu tidaklah berarti para pihak bisa saling menyerang ataupun menggunakan kekerasan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara keduanya.<br />
<br />
D. Pengakhiran atas Eksistensi Perjanjian Internasional menurut Konvensi Wina 1969<br />
Konvensi Wina 1969 Pasal 42 ayat 2 menegaskan, bahwa tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional pertama-tama harus dilihat pada bagaimana peraturannya di dalam perjanjian internasional itu sendiri, kalau memang perjanjian itu secara tegas mengaturnya. Sedangkan jika tidak ada pengaturannya, pengakhiran itu dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Konvensi. Selanjutnya pasal 44 ayat 2 menegaskan, bahwa pada prinsipnya suatu kehendak untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional hendaknya untuk keseluruhannya. Namun, dimungkinkan juga untuk mengakhiri sebagian dari perjanjian itu, apabila ada klausul yang memungkinkan melakukan pengakhirannya untuk sebagian atau untuk beberapa ketentuannya, seperti ditegaskan pada ayat 3. Akan tetapi jika klausul demikian itu tidak ada, pengakhiran untuk sebagian juga dapat dilakukan jika hal itu tampak atau tersimpulkan dari perjanjian itu sendiri, dan pada umumnya pengakhiran atas sebagian dan perjanjian tersebut berkenaan dengan ketentuan yang bukan merupakan syarat yang esensial bagi terikatnya suatu negara pada perjanjian itu secara keseluruhan.<br />
a. Dibuat Perjanjian Internasional Baru<br />
Pasal 59 ayat 1 mengatur tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional (lama/duluan) disebabkan karena dibuat perjanjian yang (baru/belakangan). Dalam hal ini, semua negara peserta pada perjanjian yang lama/duluan kemudian membuat perjanjian baru/belakangan, dan memang para pihak bermaksud untuk menerapkan perjanjian yang baru/belakangan untuk menggantikan perjanjian yang lama/duluan; dan juga karena substansi dari kedua perjanjian itu sangat berbeda bahkan bertentangan sehingga keduanya tidak mungkin untuk diterapkan secara bersamaan. Meskipun perjanjian yang baru/belakangan tidak secara tegas mengakhiri eksistensi atau berlakunya perjanjian yang lama/duluan -- dan hal seperti ini memang tidak lazim dalam hukum perjanjian internasional — tetapi karena keduanya tidak mungkin untuk diterapkan pada waktu dan tempat yang sama, maka salah satu harus dikesampingkan atau diakhiri. Dalam hal ini perjanjian yang lama/duluanlah yang harus diakhiri, dan yang baru/belakanganlah yang harus diterapkan, jadi sesuai dengan asas hukum, lex posteriori derogat legi priori. Akan tetapi masalahnya menjadi lain, apabila negara-negara peserta pada perjanjian yang lama/duluan tidak semuanya negara yang juga menjadi peserta pada perjanjian yang baru/belakangan.<br />
b. Pelanggaran oleh salah satu pihak<br />
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 60 ayat 1, pelanggaran atas substansi perjanjian oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian, baik untuk keseluruhannya ataupun untuk sebagian. Atau seperti ditegaskan dalam ayat 2, pelanggaran atas suatu perjanjian internasional oleh salah satu pihak dapat dijadikan sebagai alasan bagi pihak lainnya untuk bersepakat secara bulat untuk mengakhiri berlakunya perjanjian itu, (i) baik dalam hubungan antara mereka pada satu pihak dengan pihak yang melakukan pelanggaran pada lain pihak, atau (ii) antara semua pihak. Perlu ditegaskan, bahwa pengakhiran suatu perjanjian internasional berdasarkan alasan semacam ini bersifat fakultatif, artinya, para pihak dapat menempuh pilihan, apakah sepakat untuk mengakhiri perjanjian ataukah tetap melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut meskipun terjadi pelanggaran sebagaimana dinyatakan di dalam pasal 60 ini. Meskipun terjadi pelanggaran yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhirinya, tetapi jika para pihak sepakat untuk tetap meneruskan pelaksanaannya, maka perjanjian itu masih tetap eksis dan berlaku sebagaimana biasa. Sebaliknya jika mereka memilih untuk mengakhirinya, pengakhiran ini bisa dilakukan hanya antara pihak yang melakukan pelanggaran dalam hubungannya dengan pihak yang menjadi korban atau pihak yang dirugikan, atau bisa juga dilakukan antara semua pihak, jika semua pihak sepakat untuk itu.<br />
c. Ketidakmungkinan untuk melaksanakannya<br />
Menurut pasal 61 ayat 3, salah satu pihak dapat menyatakan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian dengan alasan bahwa perjanjian itu sudah tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan dan ketidakmungkinan itu sudah bersifat permanen atau ketidakmungkinan yang disebabkan karena kerusakan dan obyeknya yang ternyata tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan perjanjian tersebut. Jadi ada dua macam ketidakmungkinan untuk melaksanakan suatu perjanjian, yakni pertama, ketidakmungkinan untuk melaksanakan perjanjian internasional itu sudah bersifat permanen, dan yang kedua, adalah karena kerusakan dan obyek perjanjian itu tidak dapat dipisahkan dan pelaksanaannya, atau dengan kata lain, kerusakan atas obyeknya itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk tetap melaksanakan perjanjian tersebut.<br />
d. Terjadinya perubahan keadaan yang fundamental (fundamental change of circumstances)<br />
Konvensi mengatur tentang terjadinya perubahan keadaan yang fundamental secara negatif, dalam pengertian, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri berlakunya suatu perjanjian internasional. Selain daripada itu, jika ada pihak yang menjadikannya sebagai alasan, disertai pula dengan pembatasan yang amat ketat dalam penggunaannya, sehingga sangat sempit atau sedikit sekali kesempatan yang dapat digunakan sebagai alasan untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional. Diaturnya secara negatif dan disertai dengan pembatasan yang amat ketat, disebabkan karena kekhawatiran akan disalahgunakannya alasan ini, misalnya negara-negara dengan mudah berlindung dibaliknya untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional. Di samping itu, martabat (dignity) setiap perjanjian internasional supaya tetap dijunjung tinggi mengingat bahwa adanya perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur masyarakat internasional masih jauh lebih baik daripada tidak ada atau hanya ada sedikit perjanjian internasional, sehingga masyarakat internasional menjadi hidup di dalam suasana yang tanpa hukum yang tegas. Dalam hal ini sudah lama diakui, bahwa peranan perjanjian internasional dalam mengatur masalah-masalah internasional semakin lama semakin bertambah penting.<br />
e. Putusnya hubungan diplomatik dan/atau konsuler<br />
Hubungan diplomatik dan/atau konsuler yang baik antara negara-negara merupakan salah satu fondasi bagi pertumbuhan dan perkembangan perjanjian-perjanjian internasional, sebab dengan hubungan semacam itulah negara-negara akan lebih mudah dan cepat melakukan pendekatan untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional dalam rangka mengatur masalah-masalah internasional pada umumnya dan masalah-masalah antara mereka pada khususnya. Akan tetapi dalam hubungan-hubungan internasional, negara-negara yang hubungan diplomatik dan konsulernya semula berlangsung dengan baik, ternyata hubungan baik itu tidak selamanya bisa dipertahankan. Hubungan diplomatik dan/atau konsuler juga kadang-kadang bisa putus. Pelbagai penyebab dapat dikemukakan mengapa hubungan diplomatik dan/atau konsuler antara dua negara bisa putus, misalnya, terjadinya ketegangan yang memuncak sampai mengarah pada konflik bersenjata, atau sudah terjadi peperangan dahsyat antara kedua negara.<br />
<br />
<br />
f. Bertentangan dengan jus cogens<br />
Walaupun suatu perjanjian internasional merupakan hasil kesepakatan antara negara-negara yang menjadi pesertanya, sesuai dengan asas-asas dari hukum perjanjian itu sendiri, namun tidaklah berarti mereka bebas menentukan isi maupun obyek dan kesepakatannya. Ada beberapa pembatasan yang harus diperhatikan. Salah satunya adalah, substansi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum umum atau universal yang bersifat kuat dan imperatif yang dalam pasal 53 Konvensi disebut dengan a peremptory norm of general international law atau di dalam hukum internasional dikenal sebagai jus cogens. Apa yang dimaksud dengan jus cogens, ditegaskan dalam pasal 53, yakni, suatu kaidah hukum yang diterima dan diakui oleh seluruh anggota masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara sebagai suatu kaidah hukum yang tidak dibenarkan untuk dilakukan penyimpangan dan yang hanya dapat diubah oleh kaidah hukum internasional umumnya yang muncul belakangan yang memiliki sifat atau karakter yang sama. Sebagai contohnya, kewajiban setiap negara untuk menghormati kedaulatan teritorial sesama negara, kewajiban setiap negara untuk menghormati hak-hak asasi manusia, kewajiban negara untuk tidak melakukan tindakan agresi terhadap negara lain, dan lain-lainnya. Jika misalnya dua negara membuat suatu perjanjian bilateral yang substansinya merupakan kesepakatan untuk menyerang negara lain, perjanjian seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan kaidah hukum internasional yang tergolong jus cogens seperti telah dikemukakan di atas, yakni kewajiban untuk menghormati kedaulatan sesama negara. Menurut pasal 53, perjanjian semacam ini adalah batal (void) dan demikian juga menurut pasal 64 adalah batal dan perjanjian yang batal sama artinya dengan berakhir eksistensinya.<br />
g. Pecahnya perang antara para pihak<br />
Pecahnya perang antara dua atau lebih negara akan mengakhiri eksistensi dari perjanjian yang dibuat sebelumnya?. Konvensi Wina 1969 sama sekali tidak mengaturnya, baik langsung ataupun tidak langsung, sehingga tidak bisa dicarikan rujukannya secara langsung pada Konvensi. Dalam hal ini masalahnya hampir sama dengan putusnya hubungan diplomatik antara dua negara. Pada prinsipnya, perang yang terjadi tidak mengakhiri eksistensi perjanjian yang sudah ada dan berlaku sebelumnya antara para pihak yang berperang. Akan lebih tepat dikatakan, bahwa perang itu hanyalah menunda pelaksanaan perjanjian antara para pihak yang bersangkutan. Jika kemudian perang sudah berakhir dan hubungan diplomatik normal kembali, maka perjanjian yang selama berlangsungnya perang tertunda pelaksanaannya, dapat dilaksanakan kembali sebagaimana biasa.<br />
<br />
E. Penarikan diri negara-negara pesertanya<br />
Walaupun pasal 55 dan 56 Konvensi tidak memungkinkan suatu perjanjian internasional untuk diakhiri meskipun terjadi penarikan atau pengunduran diri negara-negara peserta hingga jumlah yang tersisa kurang dari jumlah minimum yang dibutuhkan untuk mulai berlakunya, namun dalam praktek tidaklah tertutup kemungkinan terjadinya pengakhiran suatu perjanjian internasional jika negara-negara peserta yang tersisa sudah tidak mungkin lagi untuk melaksanakan ketentuan perjanjian tersebut. Jika terjadi situasi semacam ini, maka para pihak yang masih tersisa (yang tidak menarik diri) dapat menempuh kesepakatan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian itu.<br />
<br />
F. Prosedur untuk Mengakhiri Eksistensi suatu Perjanjian Internasional<br />
Suatu perjanjian internasional yang hendak diakhiri eksistensinya berdasarkan kehendak dari salah satu atau beberapa pihak, menurut pasal 65 ayat 1, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu kepada negara-negara peserta yang lainnya. Pengajuan usulnya itu haruslah dilakukan secara tertulis (pasal 67 ayat 1) disertai dengan alasan-alasannya dan langkah-langkah yang seyogianya ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut. Selanjutnya menurut pasal 65 ayat 2, jika dalam rentang waktu tiga bulan terhitung dari saat diterimanya usulan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut, — kecuali dalam keadaan yang sangat khusus — ternyata tidak ada satu pihakpun yang menyatakan penolakan atau keberatannya, maka pihak yang mengajukan usulan itu dapat mengambil langkah-langkah seperti ditentukan dalam pasal 67 yakni menyampaikan pernyataan bahwa perjanjian itu berakhir eksistensinya yang harus disampaikan kepada negara-negara peserta lainnya. Pemberitahuan atau pernyataan itu harus dilakukan sucara tertulis dan ditandatangani oleh kepala negara, atau kepala pemerintah, atau menteri luar negerinya. Jika hal itu dilakukan oleh pejabat lain selain daripada ketiga pejabat negara tersebut, maka pejabat negara itu haruslah disertai dengan surat kuasa atau kuasa penuh (full powers). Jika tidak disertai dengan kuasa penuh, maka keabsahannya dapat dipersoalkan oleh pihak-pihak atau negara-negara peserta yang lainnya.<br />
<br />
G. Konsekuensi Hukum dan Berakhirnya Eksistensi suatu Perjanjian Internasional.<br />
Tentang konsekuensi hukum dan pengakhiran suatu perjanjian internasional diatur di dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi. Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya; jika pengaturan itu tidak ada, kemungkinan kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan tersendiri, dan kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada, maka para pihak dapat mengikuti ketentuan seperti ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini. Jika suatu perjanjian internasional mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya tentang konsekuensi (hukum) dari berakhirnya eksistensi perjanjian, maka para pihak cukup menerapkan ketentuan itu saja. Akan tetapi dalam prakteknya, memang sangat jarang ada — bahkan mungkin tidak ada— perjanjian internasional yang mengatur sampai sejauh ini, bahkan lebih banyak dijumpai perjanjian-perjanjian internasional yang sama sekali tidak mengaturnya. Jika tidak ada pengaturan tentang konsekuensinya, maka timbul pertanyaan, bagaimanakah konsekuensi dan berakhirnya eksistensi suatu perjanjian internasional. Dalam hal ini kemungkinan para pihak akan mengatur secara tersendiri. Pengaturan ini merupakan kesepakatan antara para pihak tersebut merupakan kesepakatan tersendiri (di luar perjanjian) sebagai konsekuensi dan pengakhiran atas eksistensi perjanjian tersebut. Pengaturan semacam ini hanyalah mungkin, apabila pengakhiran atas eksistensi perjanjian internasional dilakukan atas dasar kesepakatan (secara damai) antara para pihak. Jika ada kesepakatan semacam ini, maka para pihak tentu saja harus menerapkan kesepakatan ini saja, dan jika semua berlangsung dengan baik dan lancar, maka berakhirlah semua masalahnya. <br />
<br />
H. Kesimpulan<br />
Beberapa alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional. Misalnya, untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya sudah ditentukan secara pasti di dalam salah satu pasalnya, misalnya berlaku untuk waktu lima tahun, sepuluh tahun, dan lain sebagainya, maka perjanjian itu akan berakhir setelah terpenuhinya jangka waktu tersebut. Meskipun demikian, setelah jangka waktu itu terpenuhi, para pihak dapat bersepakat untuk memperpanjang masa berlakunya untuk suatu jangka waktu tertentu.<br />
Konvensi Wina 1969 Pasal 42 ayat 2 menegaskan, bahwa tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional pertama-tama harus dilihat pada bagaimana peraturannya di dalam perjanjian internasional itu sendiri, kalau memang perjanjian itu secara tegas mengaturnya. Sedangkan jika tidak ada pengaturannya, pengakhiran itu dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Konvensi.<br />
Suatu perjanjian internasional yang hendak diakhiri eksistensinya berdasarkan kehendak dari salah satu atau beberapa pihak, menurut pasal 65 ayat 1, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu kepada negara-negara peserta yang lainnya. Pengajuan usulnya itu haruslah dilakukan secara tertulis (pasal 67 ayat 1) disertai dengan alasan-alasannya dan langkah-langkah yang seyogianya ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut.<br />
Tentang konsekuensi hukum dan pengakhiran suatu perjanjian internasional diatur di dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi. Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya; jika pengaturan itu tidak ada, kemungkinan kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan tersendiri, dan kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada, maka para pihak dapat mengikuti ketentuan seperti ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini.<br />
<br />
RESUME <br />
HUKUM PERJANJIAN <br />
INTERNASIONAL<br />
OLEH :<br />
M. ALFIANSYAH ZUGITO<br />
FAKULTAS HUKUM<br />
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSARMuhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-6809361016921811732011-01-23T00:53:00.000-08:002011-01-23T00:53:04.406-08:00PTUNAAUPL<br />
Asas-asas umum pemerintahan adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan aturan hukum. Asas-asas ini tertuang pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Asas hukum adalah jantungnya aturan hukum, ia menjadi titik tolak untuk berpikir, membentuk dan mengintepretasikan hukum. Peraturan hukum merupakan pedoman tentang perilaku yang seharusnya, berisi apa yang boleh, apa yang diperintahkan, dan apa yang dilarang.<br />
Beberapa istilah untuk menyebut asas pemerintahan yang baik ini bermacam-macam, misalnya di Belanda dikenal dengan Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuungr (ABBB), di Inggris dikenal The Principal of Natural Justice , di Perancis diistilahkan Les Principaux Generaux du Darioit Coutumier Publique, di Belgia disebut Aglemene Rechtsbeginselen, di Jerman dinamakan Verfassung Sprinzipien dan di Indonesia dikatakan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak”. <br />
Asas-asas umum pemerintahan yang layak berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi penggugat. Sebagian besar asas-asas umum pemerintahan yang layak, masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan masyarakat. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah Hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan Hukum positif.<br />
Arti penting dan fungsi asas-asas umum pemerintahan yang layak bagi administrasi negara adalah sebagai pedoman dalam penafsirkan dan penerapan terhadap ketentuan perundang-undangan yang sumir, samar atau tidak jelas, juga untuk membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara mempergunakan freies ermessen yang jauh menyimpang dari ketentuan Undang-Undang. Administrasi negara dapat terhindar dari perbuatan onrechtmatige daad, detournement de pouvoir, abus de darioit, dan ultravires. Bagi masyarakat, sebagai pencari keadilan, asas-asas umum pemerintahan yang layak dapat digunakan sebagai dasar gugatan. Bagi hakim Tata Usaha Negara, dapat digunakan segabai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan pejabat Tata Usaha Negara dan asas-asas umum pemerintahan yang layak juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang Undang-Undang.<br />
Dua jenis penyimpangan penggunaan wewenang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yakni penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvoir), yaitu badan/pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Sewenang-wenang (willekuer), yaitu badan/pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.<br />
Pembagian asas-asas umum pemerintahan yang layak terkait dengan beschikking, adalah asas-asas yang bersifat formal/prosedural yaitu yang berkaitan dengan prosedur yang harus dipenuhi dalam pembuatan ketetapan. Seperti asas kecermatan, asas permainan yang layak. Asas-asas yang bersifat material/substansial yaitu isi dari keputusan pemerintah. Seperti asas kepastian Hukum, asas persamaan, asas larangan sewenang-wenang, larangan penyalahgunaan wewenang. Untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka syarat pertama adalah mewujudkan Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.<br />
Untuk itu perlu diletakkan asas-asas umum penyelenggaraan negara agar dapat tercipta Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance). Kemudian, peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mengawasi mereka, baik Eksekutif, yudikatif atau pun legislatif supaya tetap berpegang teguh pada Asas-asas Umum Pemerintahan ini.<br />
Pelaksanaan sistem pemerintahan di negara kita tentu didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang layak. Maka dari itu apabila terjadi akibat hukum yang merugikan dari adanya penetapan tertulis dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, lebih-lebih bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mendapat keputusan. Dalam hal ini badan atau pejabat tata usaha negara sebagai tergugat. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukum formal yang mengatur prosedur jalannya sistem peradilan tata usaha negara dari mulai pengajuan gugatan samapai pada keluarnya keputusan hakim. <br />
Dalam terjadinya sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat ketidakseimbangan kedudukan antara pihak tergugat dengan pihak penggugat. Karean itu sangat dibutuhkan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak sebagai pedoman bagi hakim dalam memutus sengketa tersebut.<br />
Asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL), dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Asas-asas umum pemerintahan yang layak ini merupakan konsep terbuka (open begrif). Karena itu akan berkembang dan disesuaikan dengan ruang dan waktu dimana konsep ini berada. <br />
Asas-asas pemerintahan yang layak dapat dibedakan dalam asas-asas yang tertulis, yaitu :<br />
1. Larangan menyalahgunakan kekuasaan (pasal 53 ayat 2 b UU Nomor 5 tahun 1986 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).<br />
Asas ini melarang untuk menggunakan suatu wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang itu. Setiap wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan selalu diberikan dengan maksud/tujuan-tujuan tertentu. Larangan ini diartikan sebagai kewajiban penyelenggaraan pemerintahan agar menggunakan wewenang pemerintahannya itu sesuai dengan maksud pembuat undang-undang serta agar berbuat dengan niat dan motif-motif yang bersih dan murni.<br />
2. Larangan berbuat sewenang-wenang (pasal 53 ayat 2 c UU Nomor 5 tahun 1986 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).<br />
Larangan ini terutama berperan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan yang bersangkutan memiliki kebebasan (Freiss Ermessen), ialah dalam arti bahwa wewenang itu tidak boleh jelas-jelas dipergunakan dengan tidak menurut nalar. Penguasa harus selalu menimbang-nimbang semua kepentingan-kepentingan yang tersangkut. Asas ini menghendaki agar kepentingan-kepentingan yang tersangkut itu ditimbang-timbang secara obyektif dengan memperhatikan ukuran-ukuran dalam hubungannya satu dengan yang lain, sehingga tidak terjadi bahwa ada kepentingan-kepentingan yang tidak ditimbang/diperhatikan, bahwa sebaliknya ada kepentingan yang terlalu diberi bobot yang berlebihan.<br />
Asas-asas yang tidak tertulis ialah :<br />
Asas-asas formal mengenai pembentukan keputusan :<br />
1. Asas kecermatan formal<br />
Asas ini menghendaki bahwa semua fakta-fakta dan masalah–masalah yang relevan diinventarisasi dan diperiksa, untuk dipertimbangkan dalam mengambil keputusannya. Asas ini dapat dilanggar dengan berbagai cara ialah :<br />
- Pihak-pihak yang berkepentingan tidak didengar dengan cara yang tidak benar.<br />
- Fakta-fakta tidak diperiksa dengan cermat.<br />
- Advis-advis dipergunakan dengan tidak cermat.<br />
2. Asas fair play<br />
Warga masyarakat harus diberi segala kesempatan untuk mempertahankan kepentingannya. Juga harus dihindari kesan seolah-olah penguasa yang bersangkutan berpihak. Asas ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara. Asas ini penting dalam peradilan administrasi negara karena terdapat perbedaan kedudukan antara pihak penggugat dengan tergugat. Pejabat selaku pihak tergugat secara politis memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan penggugat.<br />
<br />
<br />
Asas-asas formal mengenai formalitas keputusan :<br />
1. Asas kepastian hukum formal<br />
Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang mengunytungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas kepastian hukum memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki daripadanya. Asas ini berkaitan dengan prinsip dalam hukum administrasi Negara, yaitu asas het vermoeden van rechtmatig heid atau presumtio justea causa, yang berarti setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan hukum oleh hakim administrasi.<br />
2. Asas motivasi<br />
Asas motivasi untuk keputusan, asas ini menghendaki setiap ketetapan harus mempunyai motivasi/alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan ketetapan. Alasan harus jelas, terang, benar, obyektif, dan adil. Alasan sedapat mungkin tercantum dalam ketetapan sehingga yang tidak puas dapat mengajukan banding dengan menggunakan alasan tersebut. Alasan digunakan hakim administrasi untuk menilai ketetapan yang disengketakan.<br />
<br />
Asas-asas material mengenai keputusan :<br />
1. Asas kepastian hukum material<br />
Hukum material terkait erat dengan asas kepercayaan. Asas ini ini menghendaki dihotmatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarakan suatu keputusan pemerintah, meskipun itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan. Asas kepastian hukum materiil terutama berarti bahwa hukum yang berlaku harus dilaksanakan, serta bahwa keputusan-keputusan tidak diubah dengan berlaku surut untuk kerugian warga masyarakat yang bersangkutan.<br />
2. Asas kepercayaan<br />
Asas kepercayaan yaitu legal expectation, harapan-harapan yang ditimbulkan (janji-janji, keterangan-keterangan, aturan-aturan kebijaksanaan dan rencana-rencana) sedapat mungkin harus dipenuhi.<br />
3. Asas persamaan<br />
Asas ini menghendaki agar kasus yang sama seharusnya memperoleh perlakuan yang serupa. Asas ini megandung juga larangan diskriminasi, ialah membeda-bedakan suatu /beberapa golongan penduduk berdasarkan hal-hal yang khusus dimiliki masing-masing golongan itu.<br />
4. Asas kecermatan material<br />
Asas ini menghendaki agar perbuatan-perbuatan penyelenggara pemerintahan sesedikit mungkin menyebabkan kerugian. Kadang-kadang tidak dapat dihindari bahwa ada kepentingan-kepentingan yang dirugikan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu demi kepentingan umum. Dalam hal itu kerugian harus sebanyak mungkin dibatasi, dalam hal-hal tertentu dengan memberi sejumlah ganti rugi.<br />
5. Asas keseimbangan<br />
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan pegawai dan adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum. Artinya terhadap pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan orang yang berbeda akan dikenakan sanksi yang sama, sesuai dengan criteria yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
6. Asas larangan willekeur<br />
Asas pemberian alasan yakni ketetapan harus memberikan alasan, harus ada dasar fakta yang teguh dan alasannya harus mendukung. Penyalahgunaan wewenang yaitu tidak boleh menggunakan wewenang untuk tujuan yang lain. Willekeur atau wewenang, kurang memperhatikan kepentingan umum, dan secara kongkret merugikan<br />
PUTUSAN<br />
A. Pengertian Putusan<br />
Pada dasarnya penggugat mengajukan suatu gugatan ke pangadilan adalah bertujuan agar pengadilan melalui hakim dapat menyelesaikan perkaranya dengan mengambil suatu putusan. Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting bukanlah hukumnya, karena hakim dianggap tahu hukumnya (ius curia novit), tetapi mengetahui secara objektif fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang sebenarnya sebagai dasar putusannya., bukan secara aprori lansung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yag sebenarnya.<br />
Fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara akan dapat diketahui hakim dari alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Setelah dianggap cukkup hakim harus menentukan peraturan hokum yang dapat diterapkan. Menyakut tentang peraturan hukum yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan sengketa itu oleh hakim. Pada dasarnya menunjukan bahwa sebelum menjatuhkan suatu putusan hakim hakim melakukan penelitian dalam rangka menemukan hukum.<br />
Dari uraian diatas kiranya cukup tepat apabila disebutkan bahwa putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak menpunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan dipersidangan oleh hakim. Putusan yang diucapkan dipersidangan tidak boleh berbeda dengan yang tetulis (vonnis). Selanjutnya juga dijelaskan bahwa didalam literatur Belanda dikenal istilah vonnis atau gewijsde. Yang dimkasud dengan vonnis adalah putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga hanya tersedia upaya hukum yang khusus. Dalam kaitannya dengan hukum acara PTUN, putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah :<br />
a. Putusan pengadilan tingkat pertama ( Pengadilan Tata Usaha Negara) yang sudah tidak dapat dimintakan upaya banding.<br />
b. Putusan pengadilan tinggi ( Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) yang tidak dimintakan kasasi.<br />
c. Putusan mahkamah agung dalam tingkat kasasi<br />
Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada dasarnya adalah putusan pengadilan yang tidak memiliki upaya hukum ( banding dan kasasi), namun sebagaimana yang disebutkan diatas banding dan kasasi adalah upaya hukum biasa, disamping itu terdapat upaya hukum istimewa atau upaya hukum luar biasa. Dengan demikian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap juga masih bias dilawan dengan upaya hukum istimewa itu. Dalam praktik, hukum acara perdata maupun hukum acara pidana hal ini bukan merupakan hal yang baru lagi. Bahkan, ada perkembangan bahwa upaya hukum istimewa itu tidak lagi dapat dimiliki penggugatdalam rangka memperjuangkan hak-haknya, tetapi dapat juga dipergunakan pihak tergugat. Penggunaan upaya hukum istimewa ini hendaknya dikembalikan kepada latar belakang filosofis yang mendasarinya, yakni dalam rangka memberikan perlindungan hukum secara maksimal kepada rakyat bukan kepada penguasa. <br />
B. ISI PUTUSAN<br />
Dari pasal 97 ayat (7) tersebut, maka dapat diketahui bahwa isi putusan pengadilan TUN dapat berupa gugatan ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima, atau gugatan gugur. <br />
1. Gugatan ditolak<br />
Apabila isi putusan pengadilan TUN adalah berupa penolakan terhadap gugutan penggugat berarti memperkuat KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang bersangkutan. Pada umumnya suatu gugatan ditolak oleh majelis hakim, karena alat-alat bukti yang diajukan pihak penggugat tidak mendukung gugatannya, alat-alat bukti yang diajukan pihak tergugat lebih kuat.<br />
2. Gugatan dikabulkan<br />
Suatu gugatan dikabulkan, ada kalanya pengabulan seluruhnya atau menolak sebagian lainnya. Isi putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak penggugat itu, berarti tidak membenarkan KTUN yang dikeluarkan oleh pihak tergugat atau tidak membenarkan sikap tidak berbuat apa-apa yang dilakukan oleh tergugat, padahal itu sudah merupakan kewajibannya (dalam hal pangkal sengketa berangkat dari pasal 3) . <br />
Dalam hal gugtan dikabulkan, maka putusan tersebut ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat, yang dapat berupa :<br />
a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan atau;<br />
b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru.<br />
c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3<br />
Disamping kewajiban yang disebutkan diatas, dalam putusan pengadilan dapat pula menetapkan kewajiban bagi pihak tergugat untuk membayar ganti kerugian (untuk sengketa yang bukan sengketa kepegawaian), kompensasi dan rehabilitasi untuk sengketa kepegawaian. <br />
3. Gugatan tidak diterima<br />
Putusan pengadlan yang berisi tidak menerima gugatan pihak penggugat berarti gugatan itu tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam prosedur dismissal dan atau pemeriksaan persiapan. Dalam prosedur atau tahap tersebut, ketua pengadilan dapat menyatakan gugatan tidak dapat diterima, karena alas an gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. <br />
4. Gugatan gugur<br />
Putusan pengadilan yang dinyatakan gugatan gugur dalam hal para pihak atau kuasanya tidakhadir dalam persidangan yang telah ditentukan dan mereka dipanggil secara patut, atau perbaikan gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat telah melampaui tenggang waktu yang ditentukan (daluwarsa). <br />
UU PTUN tidak mengatur perihal tentang mana kalah penggugat meninggal dunia dalam hukum acara perdata setelah kematian diberitahukan, pemeriksaan perkara terhenti, segala tindakan-tindakan prosesuil tidak sah, gugatan kemudian dapat dilanjutkan oleh ahli waris. Dalam perkara adminnistrasi tidak dengan sendirinya gugatan dinyatakan gugur, akan tetapi pihak ahli waris penggugat akan dipanggil untuk ditanya, apakah gugatan akan diteruskan atau dicabut. Demikian pula perubahan status salah satu pihak, misalnya apabila salah satu pihak kehilangan kemampuan untuk bertindak, dan juga apabila kualitas seseorang dalam beracara berhenti, meniggalkan wakil salah satu pihak yang berperkara, menyebabkan pula terhentinya jalan pemeriksaan.<br />
C. BENTUK DAN ISI PUTUSAN<br />
Susunan isi putusan<br />
Dalam pasal 109 UU PTUN disebutkan susunan isi putusan sebagai berikut:<br />
1) Putusan pengadilan harus memuat :<br />
a. Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA<br />
b. Nama jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;<br />
c. Rinkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;<br />
d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa<br />
e. Alas an hukum yang mejadi dasar putusan <br />
f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara<br />
g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yg memutus, nama penitera, serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak.<br />
2) Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.<br />
3) Selambat-lambatnya 30 hari sesudah putusan pengadilan diucapkan, putusan itu harus ditandatangi oleh hakim yang memutuskan dan panitera yang turut bersidang.<br />
4) Apabila hakim ketua majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat hakim ketua siding berhalangan menandatangani, maka putusan pengadilan ditandatangi oleh ketua pengadilan dengan menyatakan berhalangan hakim ketua majelis hakim atau hakim ketua siding tersebut.<br />
5) Apabila hakim anggota majelis berhalangan menandatangi, maka putusan pengadilan ditandatangi oleh hakim ketua majelis dengan menyatakan berhalangannya hakim anggota majelis tersebut.<br />
Suatu putusan harus memuat dan memenuhi syarat sebagai berikut:<br />
1. Kepala putusan<br />
Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala putusan pada bagian atas putusan yang berbunya “Demi Keadilan Berdasrkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan, apabila kepala putusan ini tidak dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan, maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut<br />
Dengan demikian huruf a pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagai kepala putusan.<br />
2. Identitas para pihak<br />
Suatu perkara atau gugatan sekurang kurangnya mempunyai dua pihak (penggugat dan tergugat), maka didalam putusan harus di muat identitas para pihak tersebut.<br />
Dengan demikian huruf b pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagai identitas para pihak<br />
3. Ringkasan<br />
4. Pertimbangan (konsideran)<br />
Dalam hukum acara perdata suatu putusan pengadilan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang lazimnya dibagi dua bagian; pertimbanga tentang duduknya perkara atau pristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan-pertimbangan itu tidak lain dimaksudkan sebagai alasan-alasan hakim, sebagai pertanggungjwaban kepada masyarakat mengapa ia mengambil putusan yang demikian itu, sehingga putusan dapat bernilai objektif.<br />
Dengan demikian huruf c,d,dan e pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagi bahan pertimbangan.<br />
5. Alasan hukum<br />
6. Amar putusan (dictum)<br />
Merupakan jawaban atas petitum dari gugatan, sehingga amar atau dictum juga merupakan tanggapan atas petitum itu sendiri. Hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan yang diajukan pihak penggugat dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan yang lebih dari yang dituntut.<br />
Dengan demikian huruf f pada pasal 109 ayat 1 dapat disebut sebagi amar.<br />
7. Biaya perkara<br />
Seluruh biaya perkara biasanya dibebankan kepad pihak yang dikalahkan (kecuali yang dikalah adalah penggugat dan penggugat telah mengajukan permohonan berperkara dengan Cuma-Cuma serta mendapat persetujuan).<br />
Dalam pasal 111 disebutkan bahwa biaya perkara mencakup:<br />
a. Biaya kepaniteraan dan biaya matrai<br />
b. Biaya saksi ahli, dan ahli bahasa<br />
c. Biaya pemeriksaan di tempat lai dari ruangan sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim ketua sidang.<br />
8. Waktu, nama hakim, panitera, dan keterangan lain<br />
<br />
HUKUM ACARA<br />
Hukum acara PTUN dibedakan atas :<br />
a. Hukum acara materil yang meliputi :<br />
• Kompetensi absolut dan relatif <br />
o Absolute <br />
Kompetensi absolute dari peradilan tata usaha negara adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata ysaha negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata uusaha negara, termasuk sengketa kepegawaian (pasal 1 angka 4 UU PTUN) dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu perundang-undangan sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan (pasal 3 UU PTUN). <br />
o Relative <br />
Kompetensi relative adalah kewenangan dari pengadilan sejenis yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan peradilan tata usaha negara, maka kompetensi relativenya adalah menyangkut kewenangan pengadilan tata usaha Negara yang mana berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tersebut.<br />
• Hak gugat<br />
• Tenggang waktu menggugat<br />
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan dalam pasal 55 UU PTUN disebutkan :<br />
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu Sembilan puluh hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara.<br />
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan Sembilan puluh hari tersebut dihitung secara bervariasi : <br />
a. Sejak hari diterimanya KTUN yang digugat itu memuat nama penggugat<br />
b. Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi Negara untuk memberikan keputusan, namun ia tidak berbuat apa-apa.<br />
c. Setelah lewat empat bulan, apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kesempatan kepada administrasi Negara untuk memberikan keputusan dan ternyata ia tidak berbuat apa-apa.<br />
d. Sejak hari penmgumuman apabila KTUN itu harus diumumkan.<br />
Dengan demikian, tengggang waktu mengajukan gugatan untuk semua macam keputusan adalah sembilan puluh hari, yang berbeda adalah saat mulai dihitungnya waktu Sembilan puluh hari tersebut. <br />
• Alasan menggugat<br />
Alasan mengajukan gugatan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN dan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN – 2004, disamping memiliki persamaan juga memiliki beberapa perbedaan. Dari perbedaan tersebut setidak-tidaknya akan diketahui kelebihan dan kelemahan masing-masing. Untuk memahami hal tersebut dibawah ini akan dikemukakan alasan mengajukan gugatan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN. Dan menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN – 2004. <br />
Dalam pasal 53 ayat (2) UU PTUN menyebutkan ada tiga alasan menggugat suatu KTUN kepengadilan tata usaha Negara yaitu :<br />
a. Keputusan tata usaha Negara yang diguguat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.<br />
b. Badan atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 telah menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.<br />
c. Badan atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut. <br />
• Alat bukti<br />
Dalam pasal 100 sampai dengan pasal 106 UU PTUN disebutkan sebagai alat bukti yang diajukan dalam hukum acara PTUN :<br />
a. Surat atau tulisan <br />
b. Keterangan ahli<br />
c. Keterangan saksi<br />
d. Pengakuan para pihak<br />
e. Pengetahuan hakim<br />
Untuk kelancaran proses pemeriksaan perkara, sebelum mengajukan gugatan sebaiknya penggugat telah mempersiapkan alat-alat bukti yang dapat menguatkan gugatannya, sehingga dapat memenangkan perkara dari alat-alat bukti yang disebutkan diatas, maka dapat diketahui bahwa alat-alat bukti yang perlu dipersiapkan penggugat adalah surat atau tulisan dan saksi. Pada umumnya pihak tergugat juga akan mengajukan alat-alat bukti yang dapat menggagalkan gugatan pihak tergugat. <br />
b. Hukum acara formil (hukum acara dalam arti sempit) berupa langkah-langkahatau tahapan yang terbagi atas : <br />
• Acara biasa <br />
Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa dari gugatan penggugat, terlebih dahulu melalu proseur rapat permusyawaratan dan pemeriksaan persiapan, setelah melalui kedua prosedur itu tidak ada alasan bagi hakim untuk menyatakan dalam suatu penetapan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar, maka selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa dengan acra biasa. <br />
Pemeriksaan sengketa dengan acara biasa, diatur dalam pasal 68 sampai dengan pasal 97 UU PTUN. <br />
Dari pasal-pasal tersebut yang dikemukakan disini berkaitan dengan pemeriksaan sengketa dengan acara biasa adalah bahwa pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan dengan majelis hakim (tiga orang hakim). Hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.<br />
Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir dipersidangan pada hari pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alsan yang dapat dipertanggung jawabkan, meskipun setiap kali dipanggil dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan pengugat harus membayar biaya perkara. <br />
<br />
Berbeda halnya, apabila tergugat atau kuasanya, tidak hadir di persidangan dua kali siding berturut-turut dan atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka hakim ketua siding dengan surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir dan atau menanggapi gugatan tersebut. Apabila dalam jangka waktu dua ulan setelah surat tersebut dikirimkan lewat surat tercatat tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka hakim ketua sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat. Putusan terhadap pokok gugatandapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya telah dilakukan secra tuntas. <br />
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam hukum acara PTUN tidak dikenal adanya putusan verstek, meskipun akhirnya ada kesan seperti itu, tetapi harus diingat putusan verstek tidak memerlukan pemeriksaan pokok sengketa dan segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.<br />
• Acara cepat<br />
Pemerikasaan dengan acara cepat diatur dalam pasal 98 dan 99 UU PTUN, yang menyebutkan :<br />
1) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat. <br />
2) Ketua pengadilan dalamjangka waktu 14 hari setelah diterimanya pemohonan sebaimana dimaksud dalam ayat 1 mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.<br />
3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat digunakan upaya hukum. <br />
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa kepentingan penggugat cukup mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat.<br />
Alasan mengajukan permohonan pemeriksaan dengan acara cepat ini mempunyai kemiripan dengan alasan mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN, yakni; sama-sama terdapat kepentingan penggugat yang mendesak. <br />
<br />
<br />
Selanjutnya dalam pasal 99 UU PTUN disebutkan sebagai berikut :<br />
1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal. <br />
2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (1) dikabulkan, ketua pengadilan dalam jangka waktu 7 hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63. <br />
3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari.<br />
Dengan dimuatnya pemeriksaan dengan acara cepat ini akan dapat membantu para pencari keadilan untuk dapat mengetahui secepat mungkin tentang kepastian hukum dari hak-hak yang diperjuangkan. <br />
• Acara singkat<br />
Pemeriksaan dengan acara singkat di PTUN dapat dilakukan apabila terjai perlawanan (verzet) atas penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan. <br />
Pemeriksaan acara singkat diatur dalam pasal 62 UU PTUN. Ketua pengadilan sebelum memutuskan dalam suatu penetapan bahwa gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, terlebih dahulu harus melakukan penelitian administratif (prosedur dismissal), apakah gugatan penggugat termasuk dari salah satu yang disebutkan dalam pasal 62 ayat 1. Alasan atau pertimbangan ketua pengadilan menyatakan gugatan penggugat tidak diterima atau tidak berdasar harus mengacu pada salah satu huruf yang disebutkan dalam pasal 62 ayat 1.<br />
Dalam angka II SEMA No.2 Tahun 1991 disebutkan prosedur dismissal. Putusan mengenai gugatan perlawanan yang dilakukan melalu pemeriksaan dengan acara singkat itu dapat diterima dan dapat tolak. Apabila gugatan diterima, maka penetapan ketua pengadilan yang dilawan itu menjadi gugur demi hukum (ex lege), selanjutnya perkara tesebut oleh majelis akan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan persiapan dengan acara biasa. Sebaliknya, apabila gugatan perlawanan itu ditolak, maka penetapan ketua pengadilan tersebut tetap sah untuk dipakai.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-32468520229335646192010-07-04T17:22:00.001-07:002010-07-04T17:22:31.430-07:00Proses Beracara Di Mahkamah InternasionalPROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL (ICJ); STUDI KASUS HAK INTERVENSI<br />
<br />
Oleh. Sunan J. Rustam<br />
Center for Law Information<br />
2003<br />
<br />
Bab I<br />
PENDAHULUAN<br />
<br />
1 Latar Belakang <br />
<br />
Sejak dibentuk pada tahun 1945, Mahkamah Internasional (MI) atau International Court of Justice (ICJ), telah menangani kurang lebih 100 kasus internasional, baik yang bersifat sengketa antara dua pihak (contentious) maupun advisory . Sebagai penerus dari PCIJ atau Permanent Court International of Justice yang didirikan pada tahun 1921, MI telah dianggap sebagai salah satu cara utama atau primary means untuk penyelesaian konflik antar negara di dunia,<br />
<br />
“The International Court of Justice is often thought of as the primary means for the resolution of disputes between states” <br />
<br />
<br />
Sebagai salah satu institusi hukum internasional, MI hanya menerima negara sebagai pihak yang dapat beracara di dalamnya . Special Agreement atau perjanjian khusus tentang penundukan (consent to be bound) kepada jurisdiksi MI, harus terlebih dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara . Penundukan ini didasarkan pada prinsip kedaulatan Negara atau state sovereignty. Hakim Oda dalam keputusannya berkenaan tentang jurisdiksi MI berpendapat,<br />
<br />
“When considering the jurisdiction of the International Court of Justice in contentious cases, I take as my point of departure the conviction that the Court’s jurisdiction must rest upon the free will of sovereign state, clearly and categorically expressed, to grant the Court the competence to settle the dispute in question” <br />
<br />
<br />
Proses beracara di MI hanya dapat dilakukan dengan adanya consent dari para pihak yang akan beracara. Consent ini didasarkan atas asas konsensualisme atau free will dari Negara yang terkait. <br />
Dari syarat ini dapatlah dilihat bahwa MI menjunjung tinggi kedaulatan sebuah Negara untuk tunduk atas dasar free will. Lebih jauh lagi, pengakuan MI akan kedaulatan Negara ini juga dapat dilihat dari kekuatan mengikat dari keputusan MI. Keputusan yang dikeluarkan oleh MI hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan terbatas pada kasus yang diajukan. <br />
Sekilas mekanisme MI sangatlah ideal melihat dari sisi free will ketundukan negara sebagai pihak yang beracara dan kekuatan mengikatnya kepada para pihak yang bersengketa (disputant states). Akan tetapi persoalan akan timbul jika hasil keputusan MI berdampak kepada negara lain sebagai pihak ketiga yang tidak bersengketa (non-disputant states). Setidaknya ada dua persoalan penting yang timbul berkaitan dengan kondisi diatas. Pertama, kekuatan mengikat keputusan MI terhadap pihak ketiga yang tidak ikut beracara. Kedua, posisi pihak ketiga yang akan terkena dampak keputusan tersebut. <br />
Melihat dari sisi ini, nampaknya asas konsensualisme atau free will tidaklah berlaku mutlak dalam proses beracara di MI. Keadaan free will hanya dapat dilakukan pada saat pertama pengajuan special agreement antara para pihak yang akan beracara. <br />
Seperti layaknya pengadilan nasional atau domestic court, MI juga mempunyai mekanisme keterlibatan untuk pihak ketiga yang tidak menjadi pihak yang beracara. Salah satu mekanisme keterlibatan itu adalah dengan melakukan mekanisme intervensi. <br />
Berbeda dengan special agreement yang menggunakan asas konsensualisme atas dasar free will ketika pertama kali mengajukan proses beracara, mekanisme intervensi lebih terkesan memiliki unsur pemaksaan. <br />
Unsur pemaksaan ini didasari dari keputusan MI yang mempunyai dampak terhadap Negara ketiga yang bukan menjadi pihak yang beracara di MI. Walupun diatas kertas, Negara ketiga ini mempunyai pilihan untuk terlibat ataupun tidak terlibat dalam sebuah kasus yang diajukan di MI, akan tetapi secara realita adalah mustahil atau impossible jika Negara ketiga ini tidak ikut terlibat dalam proses beracara tersebut. Keputusan untuk tidak ikut terlibat dalam proses beracara di MI hanya akan membawa kerugian bagi Negara ketiga yang bersangkutan. <br />
Keadaan free will yang pada awalnya menjadi dasar ketundukan berubah menjadi indirect forced will atau pemaksaan secara tidak langsung kepada non-disputant states yang terkena dampak hasil putusan tersebut. <br />
Pemaksaan secara tidak langsung ini dapat dilihat pada kasus Continental Shelf 1981, Continental Shelf 1982, Land, Island & Maritime Frontier 1990, Land & Maritime Boundary 1999 dan Sovereignty over Sipadan & Ligitan 2001. <br />
Mulai dari jaman PCIJ sampai jaman MI, tercatat hanya enam kasus yang diintervensi oleh Negara ketiga. Dari kelima kasus intervensi yang pernah diajukan ke MI diatas, hanya dua kasus intervensi yang dikabulkan atau granted oleh MI. Kasus intervensi pertama yang dikabulkan MI adalah kasus Land, Island & Maritime Frontier 1990 dimana Negara ketiganya adalah Negara Nikaragua. Sedangkan kasus intervensi kedua yang dikabulkan adalah kasus Land & Maritime Boundary 1999, dimana Negara Equatorial Guinea menjadi Negara yang melakukan intervensi.<br />
Berkenaan dengan hal ini, MI secara khusus telah mengatur mekanisme bagi negara ketiga untuk melakukan hak intervensi (right of intervention) atas sengketa yang sedang diajukan . MI membagi dua jenis intervensi, yaitu intervensi atas dasar pasal 62 statuta MI dan intervensi atas dasar pasal 63 Statuta MI. <br />
<br />
Bab II<br />
PROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL<br />
<br />
<br />
1 Dasar Hukum Beracara<br />
<br />
Secara keseluruhan, ada 5 (lima) aturan yang berkenaan dengan MI sebagai sebuah organisasi internasional. Adapun kelima aturan tersebut adalah: Piagam PBB (1945), Statuta MI (1945), Aturan Mahkamah atau Rules of the Court (1970) yang telah diamandemen pada tanggal 5 Desember 2000, Panduan Praktek atau Practice Directions I – IX dan Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah atau Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court yang diadopsi pada tanggal 12 April 1976 dari Pasal 19 Aturan Mahkamah (1970).<br />
Di dalam Piagam PBB 1945, dasar hukum yang berkenaan tentang MI terdapat dalam BAB XIV tentang MI sebanyak 5 pasal yaitu pasal 92-96. Sedangkan di dalam Statuta MI sendiri, ketentuan yang berkenaan dengan proses beracara terletak pada BAB III yang mengatur tentang Procedure dan BAB IV yang memuat tentang Advisory Opinion. Ada 26 pasal (pasal 39 - 46) yang tercantum di dalam BAB III, sementara di dalam BAB IV hanya terdapat 4 pasal (pasal 65-68)<br />
Dasar hukum yang ketiga yaitu Aturan Mahkamah (Rules of the Court), (1970) yang terdiri dari 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa amandemen dimana amandemen terakhir adalah pada tahun 2000. Aturan ini berlaku atau entry into force sejak tanggal 1 Februari 2001 dan bersifat tidak berlaku surut atau non-rectroactive,<br />
<br />
<br />
“…..The amended Rules shall come into force on 1 February 2001, and shall as from that date replace the Rules adopted by the Court on 14 April 1978, save in respect of any case submitted to the Court before 1 February 2001, or any phase of such a case, which shall continue to be governed by the Rules in force before that date”. <br />
<br />
<br />
<br />
Dasar hukum yang berikutnya adalah Panduan Praktek (Practice Directions) I-IX. Ada 9 panduan praktek yang dijadikan dasar untuk melakukan proses beracara di MI. Panduan praktek ini secara umum berkisar tentang surat pembelaan (written pleadings) yang harus dibuat dalam beracara di MI. Dasar hukum terakhir dari proses beracara di MI adalah Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah (Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court), (1976). Resolusi ini terdiri dari 10 ketentuan tentang beracara di MI yang telah diadopsi pada tanggal 12 Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi yang sama tentang Internal Judicial Practice yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1968.<br />
<br />
2 Para Pihak yang Beracara<br />
<br />
Untuk kasus yang bersifat contentious, Statuta MI membatasi hanya Negara yang dapat beracara di MI. Ada tiga kategori Negara atau state yang dapat beracara di MI yaitu, kategori pertama adalah Negara Anggota PBB. Mengacu kepada pasal 35(1) dari Statuta MI dan pasal 93 (1) dari Piagam PBB, Negara anggota PBB adalah ipso facto terhadap statuta MI dan otomatis mempunyai akses ke MI. Kurang lebih ada 189 negara telah yang menjadi anggota PBB.<br />
Kategori Negara yang kedua adalah Negara Bukan Anggota PBB akan tetapi party kepada Statuta MI. Selain itu Negara yang bukan anggota PBB dan bukan anggota Statuta MI dapat juga beracara di MI dengan persyaratan tertentu yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB. Adapun persyaratan yang dimaksud adalah menerima ketentuan dari Statuta MI, Piagam PBB (pasal 94) dan segala ketentuan berkenaan dengan pengeluaran dari MI atas dasar pertimbangan Majelis Umum PBB. <br />
Kategori yang terakhir adalah Negara yang bukan anggota kepada Statuta MI. Untuk Negara-negara yang masuk dalam kategori ini harus membuat deklarasi untuk tunduk kepada segala ketentuan MI dan Piagam PBB (pasal 94),<br />
“The International Court of Justice shall be open to a State which is not a party to the Statute of the International Court of Justice, upon the following condition, namely, that such State shall previously have deposited with the Registrar of the Court a declaration by which it accepts the jurisdiction of the Court, in accordance with the Charter of the United Nations and with the terms and subject to the conditions of the Statute and Rules of the Court, and undertakes to comply in good faith with the decision or decisions of the Court and to accept all the obligations of a Member of the United Nations under Article 94 of the Charter” <br />
<br />
Salah satu landmark case atau kasus utama berkaitan dengan status Negara untuk beracara di MI adalah kasus tentang Pelaksanaan dari Konvensi Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Pembunuhan. Kasus ini mengetengahkan sengketa tentang penafsiran pasal 35 Statuta MI, siapa yang berhak menjadi pihak yang dapat beracara di MI, dalam hal ini, sengketa antara Bosnia-Herzegovina atau Yugoslavia. Pada keputusannya, MI menerima locus standi dari kedua pihak dengan dasar bahwa keduanya adalah anggota dari konvensi tersebut diatas.<br />
<br />
3 Jurisdiksi MI<br />
Secara umum, jurisdiksi dapat diartikan sebagai kemampuan atas dasar hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Hal ini juga berlaku bagi MI dimana jurisdiksi dijadikan dasar untuk menyelesaikan sengketa atas dasar hukum internasional. Untuk sebuah kasus dapat diterima atau admissible di MI, negara sebagai pihak yang beracara harus menerima jurisdiksi dari MI. Penerimaan jurisdiksi di dalam MI ini dapat dalam bentuk:<br />
<br />
Perjanjian Khusus atau Special Agreement<br />
Negara yang akan menjadi pihak bersengketa pada umumnya menyerahkan perjanjian khusus yang berisikan subjek sengketa dan pihak yang bersengketa. Ada 14 kasus yang memakai cara pembuatan perjanjian khusus antara para pihak untuk menerima jurisdiksi dari MI, yaitu kasus Asylum (Kolombia/Peru); Minquiers and Ecrehos (Perancis/Inggris); Sovereignty over Certain Frontier Land (Belgia/Belanda); North Sea Continental Shelf (Jerman/Denmark; Jerman/Belanda); Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya); Delimitation of the Maritime Boundary in the Gulf of Maine Area (Kanada/Amerika Serikat); Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta); Frontier Dispute (Burkina Faso/Mali); Land, Island and Maritime Frontier Dispute (El Salvador/Honduras); Territorial Dispute (Libya Arab Jamahiriya/Chad); Gabcíkovo-Nagymaros Project (Hongaria/Slovakia); Kasikili/Sedudu Island (Botswana/Namibia); Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia); Corfu Channel (Inggris v. Albania); Arbitral Award Made by the King of Spain on 23 December 1906 (Honduras v. Nikaragua) <br />
Ketundukan dari Perjanjian Internasional <br />
Dalam bentuk ini, jurisdiksi MI ditarik dari perjanjian internasional yang memang mengharuskan anggotanya untuk tunduk kepada jurisdiksi MI jika terjadi sengketa. Para pihak tinggal memakai dasar ketentuan dari perjanjian internasional tersebut yang mengharuskan untuk menerima jurisdiksi dari MI,<br />
“The application shall specify as far as possible the legal grounds upon which the jurisdiction of the Court is said to be based; it shall also specify the precise nature of the claim, together with a succinct statement of the facts and grounds on which the claim is based” <br />
<br />
Kurang lebih ada 300 perjanjian internasional yang menerima jurisdiksi MI jika ada sengketa. Pada umumnya jurisdiksi MI dari perjanjian internasional ini berkisar pada kasus tentang aplikasi atau interpretasi dari perjanjian internasional yang akan dimintakan kepada MI. <br />
Deklarasi Ketundukan bagi negara Anggota Statuta MI<br />
<br />
Pada bentuk ini, Negara yang menjadi anggota dari Statuta MI yang kemudian beracara di MI dapat dalam waktu yang tidak ditentukan untuk menyatakan ketundukannya ke MI , jadi tanpa membuat perjanjian khusus terlebih dahulu atau bersifat compulsory ipso facto. Kurang lebih ada 60 negara di dunia yang memakai cara ini untuk menerima jurisdiksi dari MI. salah satu contoh adalah :<br />
“I have the honour, by direction of the Minister for Foreign Affairs, to declare on behalf of the Government of Japan, that in conformity with paragraph 2 of Article 36 of the Statute of the International Court of Justice, Japan recognizes as compulsory ipso facto and without special agreement, in relation to any other State accepting the same obligation and on condition of reciprocity, the jurisdiction of the International Court of Justice, over all disputes which arise on and after the date of the present declaration with regard to situations or facts subsequent to the same date and which are not settled by other means of peaceful settlement. This declaration does not apply to disputes which the parties thereto have agreed or shall agree to refer for final and binding decision to arbitration or judicial settlement. This declaration shall remain in force for a period of five years and thereafter until it may be terminated by a written notice”. <br />
<br />
Keputusan MI tentang Jurisdiksi MI<br />
Jika terjadi sengketa mengenai jurisdiksi MI maka sengketa tersebut akan diselesaikan oleh keputusan MI sendiri. Para pihak dapat mengajukan preliminary objections atau keberatan awal atas jurisdiksi MI. Ada 26 kasus dimana diajukan keberatan awal atas jurisdiksi MI. <br />
<br />
Interpretasi Putusan<br />
Jurisdiksi MI dilihat dari Statuta MI, Pasal 60, dimana MI harus memberikan interpretasi jika diminta oleh baik satu maupun kedua pihak yang beracara. Cara permintaan interpretasi putusan tersebut dapat dalam bentuk perjanjian khusus antara para pihak yang bersengketa, ataupun aplikasi sendiri dari salah satu pihak yang bersengketa. Contoh kasus interpretasi putusan dilakukan oleh negara Kolombia pada kasus Asylum antara Kolombia melawan Peru dan juga negara Nigeria dalam kasus Land and Maritime Boundary antara Nigeria melawan Kamerun<br />
<br />
Revisi Putusan<br />
Ketundukan pada jurisdiksi MI dengan cara ini adalah melalui aplikasi dengan syarat bahwa ada fakta baru (novum) yang belum diketahui MI dan para pihak ketika keputusan itu dibuat dan bukan karena ada unsur kesengajaan dari para pihak. Jangka waktu yang diberikan untuk revisi putusan adalah 10 tahun sejak keputusan dikeluarkan. Contoh untuk kasus revisi putusan adalah pada kasus Continental Shelf yang diajukan oleh negara Tunisia (Tunisia melawan Libya Arab Jamahiriya)<br />
<br />
4 Urutan Beracara di MI<br />
Secara umum mekanisme beracara di MI akan dijelaskan berurutan menurut bagiannya. Perlu digarisbawahi bahwa mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang sifatnya contentious. <br />
<br />
Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement) atau Aplikasi (Application)<br />
<br />
Bagian awal proses beracara dapat dilakukan dengan penyerahan perjanjian khusus (bilateral) antara kedua belah pihak untuk menerima jurisdiksi MI. Perjanjian khusus ini harus berisikan inti sengketa dan identitas para pihak. Karena tidak ada pembagian sebelumnya apakah negara A disebut sebagai Respondent atau Applicant, maka MI membedakan para pihak dengan cara memakai stroke oblique atau garis miring pembeda, contoh Indonesia/Malaysia.<br />
Selain penyerahan perjanjian, juga ada bentuk lain proses awal beracara di MI, yaitu dengan penyerahan aplikasi (unilateral) oleh salah satu pihak. Pihak yang menyerahkan aplikasi berisikan identitas, Negara yang menjadi pihak lawan dan subjek dari konflik , disebut sebagai Applicant. Sementara negara yang lain disebut Respondent. Untuk bentuk ini, MI menggunakan singkatan v. atau versus dalam bahasa latinnya guna membedakan para pihak yang bersengketa, contoh Indonesia v. Malaysia<br />
Perjanjian khusus atau aplikasi tersebut biasanya ditandatangani oleh wakil atau agent yang dilampirkan juga surat dari Menteri Luar Negeri atau Duta Besar di Hague dari negara yang bersangkutan. <br />
Setelah diterima oleh Registrar (selanjutnya register) MI dan dilengkapi kekurangan-kekurangan jika ada sesuai dengan statuta MI dan Aturan Mahkamah, maka register MI akan mengirimkan perjanjian atau aplikasi tersebut ke kedua belah pihak dan negara anggota dari MI. Kemudian hal tersebut akan dimasukan ke dalam Daftar Umum Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan diteruskan dengan press release. Versi dua bahasa (Perancis dan Inggris) dari perjanjian atau aplikasi tersebut setelah didaftar, dialih-bahasakan dan dicetak, akan dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB, negara yang mengakui jurisdiksi MI dan setiap orang yang memintanya. Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh register adalah tanggal permulaan dimulainya proses beracara di MI.<br />
Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di MI, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings). Pada dasarnya, MI memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis maupun presentasi pembelaan. <br />
<br />
Pembelaan Tertulis (Written Pleadings)<br />
Pada tahap ini urutan pembelaannya jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam hal perjanjian khusus maupun aplikasi, adalah Memorial dan Tanggapan Memorial (Counter Memorial). Jika ternyata para pihak meminta kesempatan pertimbangan dan MI menyetujuinya, maka dapat diberikan kesempatan untuk memberikan Jawaban (Reply). <br />
Batasan waktu yang diberikan untuk menyusun memorial maupun tanggapan memorial ditentukan secara sama oleh MI, jika kedua belah pihak tidak mengaturnya. Ketentuan yang serupa juga berlaku dalam hal pemilihan bahasa resmi yang nantinya akan dipakai.<br />
Sebuah memorial harus berisikan sebuah pernyataan fakta, hukum yang relevan dan submissions yang diminta, sedangkan tanggapan memorial harus berisikan argumen pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memorial, tambahan fakta baru jika diperlukan, jawaban atas pernyataan hukum memorial dan petitum yang diminta. Dokumen pendukung biasanya langsung menyertai memorial, akan tetapi jika dokumen tersebut terlalu panjang, maka dimasukan ke dalam lampiran. Di dalam tahap tertulis ini, MI dapat meminta dokumen dan penjelasan yang relevan dari para pihak yang bersengketa <br />
<br />
Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)<br />
Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka dimulailah proses presentasi pembelaan atau oral pleadings. MI menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan dari MI dan para pihak. Tahap ini bersifat terbuka untuk umum atau open for public, jika para pihak tidak menentukan lain dan disetujui oleh MI. <br />
Para pihak mendapat dua kali kesempatan untuk memberikan presentasi pembelaan di depan MI. Jika para pihak menginginkan pengunaan bahasa selain bahasa resmi dari MI, maka pihak tersebut harus memberitahukan terlebih dahulu kepada register guna dipersiapkan terjemahan simultan yang telah dilakukan sejak 1965. <br />
Waktu untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika MI beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untuk hearing tersebut dapat diperpanjang. Akan tetapi menurut Aturan Mahkamah 1978, pasal 60, proses hearing tersebut berada dibawah pengawasan MI dan waktu hearing disesuaikan dengan pertimbangan MI, <br />
<br />
“The oral statements made on behalf of each party shall be as succinct as possible within the limits of what is requisite for the adequate presentation of that party's contentions at the hearing. Accordingly, they shall be directed to the issues that still divide the parties, and shall not go over the whole ground covered by the pleadings, or merely repeat the facts and arguments these contain. The Court may at any time prior to or during the hearing indicate any points or issues to which it would like the parties specially to address themselves, or on which it considers that there has been sufficient argument." <br />
<br />
Perihal Khusus<br />
Selain dari proses normal beracara di MI, juga ada perihal khusus yang dapat mempengaruhi jalannya proses beracara tersebut. Perihal tersebut adalah Keberatan Awal atau Preliminary Objection, Ketidakhadiran Salah Satu Pihak atau Non-Appearance, Keputusan Sela/Sementara atau Provisional Measures, Beracara Bersama atau Joinder Proceedings dan Intervensi atau Intervention. <br />
Keberatan Awal (Preliminary Objections)<br />
Keberatan awal diajukan oleh pihak yang dituduhkan atau respondent atas dasar aplikasi yang diajukan oleh pihak applicant untuk mencegah MI dari proses pengambilan keputusan. Adapun alasan yang biasanya digunakan untuk melakukan Keberatan Awal ini adalah bahwa MI tidak mempunyai jurisdiksi, aplikasi yang diajukan tidak sempurna dan hal lain yang dianggap signifikan oleh MI. Adapun keputusan MI berkenaan dengan Keberatan Awal ini adalah antara lain bahwa MI akan menerima Keberatan Awal tersebut kemudian menutup kasus yang diajukan dan menolak kemudian meneruskan proses beracara Keberatan Awal ini diatur dalam pasal 79 Aturan Mahkamah 1978. <br />
Ketidakhadiran Salah Satu Pihak (Non-Appearance)<br />
Non-Appearance biasanya dilakukan oleh pihak respondent dengan dasar antara lain menolak jurisdiksi MI. Akan tetapi ketidakhadiran pihak respondent ini tidak menghentikan jalannya proses beracara di MI. Proses normal beracara baik tertulis maupun presentasi akan terus berjalan yang kemudian diberikan keputusan MI. <br />
Keputusan Sela/Sementara (Provisional Measures)<br />
Jika pada suatu waktu dalam proses beracara terjadi hal-hal yang akan membahayakan subjek dari applikasi yang diajukan, maka pihak applicant dapat meminta MI untuk mengindikasikan usaha-usaha perlindungan (interim measures of protection) atau keputusan sela (provisional measures). MI dapat meminta para pihak untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membahayakan efektifitas keputusan MI atas permintaan Keputusan Sela tersebut. Ketentuan mengenai Keputusan Sementara ini diatur di dalam Aturan Mahkamah pasal 73-78<br />
<br />
<br />
Beracara Bersama (Joinder Proceedings)<br />
Jika MI menemukan bahwa ada dua pihak atau lebih dari proses beracara yang berbeda, akan tetapi mempunyai argumen dan petitum yang sama atas satu pihak lawan yang sama, maka MI dapat memerintahkan adanya proses beracara bersama (joinder proceedings). Para pihak tersebut hanya bisa mempunyai satu hakim ad hoc dengan satu pembelaan baik tertulis maupun presentasi yang digabung untuk melawan satu pihak yang sama.<br />
Intervensi (Intervention)<br />
MI memberikan hak kepada Negara lain (non-disputant party) yang bukan pihak dari sengketa di MI untuk melakukan intervensi atas sengketa yang diajukan . Hak ini dapat diajukan jika Negara tersebut beranggapan bahwa ada kepentingan dari sisi hukum atau legal nature interest yang akan terkena dengan adanya keputusan dari MI. Lebih jauh mengenai intervensi ini akan dibahas pada bab berikutnya.<br />
Keputusan (Judgment)<br />
Ada tiga cara untuk sebuah kasus dianggap telah selesai. Pertama, para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir. Kedua, pihak applicant atau kedua belah pihak telah sepakat untuk menarik diri dari proses beracara yang mana secara otomatis maka kasus itu dianggap selesai. Dan, ketiga, MI memutus kasus tersebut dengan keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan. <br />
Selain itu pendapat hakim MI dibagi atas tiga bagian, yaitu pendapat yang menolak atau dissenting opinion, pendapat yang menyetujui tetapi berbeda dalam hal tertentu atau separate opinions dan pendapat yang menyetujui atau declarations. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Bab III<br />
<br />
HAK INTERVENSI PADA MAHKAMAH INTERNASIONAL<br />
<br />
<br />
<br />
1 Definisi Umum<br />
<br />
Secara umum, tidak ada perbedaan definisi hak intervensi dalam kerangka hukum nasional maupun hukum internasional. Turunan atau derivasi kata intervensi dalam bahasa Inggris yang relevan pada karya tulis ini adalah intervention atau intervensi dalam bentuk kata benda dan intervene atau meng-intervensi dalam bentuk kata kerja. Kedua kata turunan ini mempunyai arti yang berbeda. Arti kata intervention lebih menekankan pada sebuah prosedur, sedangkan kata intervene lebih menekankan pada perbuatan untuk mendapatkan ijin dari pengadilan untuk melakukan intervensi, intervensi adalah sebuah cara yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk ikut serta atas kepentingannya dalam sebuah proses beracara yang sedang berlangsung,<br />
<br />
“ Intervention is the procedure under which a third party may join an on-going lawsuit, providing the facts and the law issues apply to the intervenor as much as to one of the existing contestants. The determination to allow intervention is made by a judge after a petition to intervene and a hearing on the issue. Intervention must take place fairly early in the lawsuit, shortly after a complaint and answer have been filed and not just before trial since that could prejudice one or both parties who have prepared for trial on the basis of the original litigants. Intervention is not to be confused with joinder, which involves requiring all parties who have similar claims to join in the same lawsuit to prevent needless repetitious trials based on the same facts and legal questions, called multiplicity of actions” <br />
“To intervene is to obtain the court's permission to enter into a lawsuit which has already started between other parties and to file a complaint stating the basis for a claim in the existing lawsuit. Such intervention will be allowed only if the party wanting to enter into the case has some right or interest in the suit and will not unduly prejudice the ability of the original parties to the lawsuit to conduct their case” <br />
<br />
Perbedaan mendasar yang menjadi karakter hak intervensi dalam hukum internasional adalah ketundukan pihak yang melakukan intervensi. Jika kita mengambil pandangan dari sisi hukum nasional, intervensi dilakukan dengan dua cara yaitu sukarela atau voluntary dan wajib atau oligatory. Hal ini berbeda jika kita mengambil pandangan dari hukum internasional berkenaan dengan intervensi, yaitu dilakukan secara sukarela atau voluntary atas dasar konsesualisme <br />
Sekilas persamaan hak intervensi dalam kerangka hukum nasional dan hukum internasional adalah bahwa hak intervensi sama-sama didasarkan dari kebutuhan untuk menghindari penuntutan ulang atau repetitive litigation. Jika ada beberapa kasus membahas permasalahan yang sama, maka hampir dapat dipastikan bahwa akan terjadi hasil yang bertentangan atau contradictory. Hal ini hanya akan memberikan ketidakjelasan hukum atau law obscurity dari hukum yang berlaku. Hakim Oda melihat kepentingan intervensi dalam hal penuntutan ulang ini dari segi economy of international justice, menunjuk pada sisi kemudahan beracara. <br />
Sejarah intervensi dalam kerangka hukum internasional dimulai pada tahun 1899 dan 1907 ketika perumusan konvensi multilateral tentang Pacific Settlement of International Disputes di Den Hag, Belanda. Kemudian pada tahun 1920, jenis kedua dari intervensi terbentuk. Ketentuan bahwa sebuah Negara dapat melakukan intervensi jika kepentingan Negara tersebut terkena dampak dari sebuah putusan mahkamah, termaktub di dalam pasal 62 Statuta PCIJ. Dari titik ini hak intervensi kemudian berkembang seiring dengan kasus-kasus yang diajukan. Perlu diingat bahwa MI menganut system precedent, yaitu sistem yang memakai putusan-putusan terdahulunya atau past decisions sebagai bahan pertimbangan untuk keputusan yang akan diambil. <br />
Kasus intervensi yang pertama adalah kasus tentang Continental Shelf antara Tunisia dan Libya Arab Jamihiriya pada tanggal 14 April 1981. Di dalam kasus ini MI memutuskan secara mutlak untuk menolak aplikasi intervensi Negara Malta. Kasus yang kedua tentang intervensi adalah kasus Continental Shelf antara Libya Arab Jamahiriya dengan Malta pada tanggal 21 Maret 1985, dimana MI kembali menolak aplikasi Negara Italia untuk melakukan intervensi. Keputusan kasus ke 2 diambil secara voting dengan 11 melawan 5 suara, berbeda dengan kasus yang pertama dimana secara mutlak menolak aplikasi Negara Malta.<br />
Hak intervensi dalam hukum internasional mengalami perkembangan pada kasus ketiga, dimana aplikasi Negara Nikaragua di dalam kasus Land, Island and Maritime Frontier Dispute dikabulkan oleh MI. Keputusan yang dikeluarkan pada tanggal 13 September 1990, diambil secara mutlak atau unanimous. Keputusan sama yang mengabulkan intervensi oleh Negara ketiga kembali dikeluarkan pada kasus Land and Maritime Boundary antara Negara Kamerun dan Nigeria tertanggal 21 Oktober 1999. Dalam kasus ini Negara Equatorial Guinea mendapat ijin untuk melakukan intervensi pada kasus diatas.<br />
Kasus yang paling akhir berkenaan dengan intervensi adalah kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, 2001 antara Negara Malaysia dan Indonesia. Di dalam kasus ini Negara Filipina megajukan hak intervensinya berkenaan dengan klaim Kalimantan Utara (North Borneo). MI, dengan voting 14 melawan 1 suara, menolak aplikasi Negara Filipina untuk melakukan intervensi.<br />
<br />
2 Hukum Internasional tentang Intervensi<br />
Ada dua aliran berkenaan dengan intervensi dalam hukum internasional, aliran yang mendukung dan yang menolak intervensi. <br />
2.1. Aliran yang mendukung intervensi.<br />
Aliran ini mempunyai pendapat antara lain sebagai berikut, pertama dari segi efektifitas. Intervensi akan berguna dalam arti baik yang menghilangkan kasus-kasus yang mempunyai objek sama maupun keputusan yang berbeda dalam kasus yang sama.<br />
Kedua dari segi kepentingan umum, yaitu tentang waktu penyelesaian kasus untuk menghindari kemungkinan kontorversi yang ada atau Interest rei publicae ut sit finis litium. Kemudian jika melihat dari perkembangan hukum internasional, Intervensi bukan hanya menyelesaikan sengketa (Solving) akan tetapi juga pencegahan sengketa (Prevention).<br />
Lebih jauh, intervensi memberikan MI kesempatan yang lebih banyak dalam rangka menarik negara-negara untuk menggunakan MI sebagai penyelesaian sengketa. Selain itu, intervensi juga memberikan MI pertimbangan hukum yang lebih objektif dengan masuknya pihak ketiga ke dalam proses beracara yang tengah berlangsung.<br />
2.2 Aliran yang menolak intervensi <br />
Aliran ini mempunyai pendapat sebagai berikut, pertama evolusi sejarah memperlihatkan bahwa hukum internasional lebih memilih diam atau reticence berkenaan dengan intervensi pihak ketiga di dalam sebuah penyelesaian hukum. <br />
Kedua, jika dilihat dari sisi Negara yang melakukan intervensi ketika hak intervensi tidak dibatasi, maka kemungkinan negara ketiga untuk melakukan intervensi akan lebih banyak. Kemudian pihak ketiga dapat memanipulasi hak intervensi dengan cara mendapatkan quasi-advisory opinion, tetapi tidak terikat untuk melaksanakan kewajiban dari keputusan MI. <br />
Sebaliknya, jika dilihat dari sisi Negara yang melakukan proses beracaranya, intervensi akan menyebabkan Negara cenderung untuk tidak menggunakan MI sebagai penyelesaian sengketa jika intervensi tidak dibatasi. Dan yang terakhir, walaupun keputusan MI hanya mengikat pihak yang bersengketa, akan tetapi pada faktanya pihak ketiga dapat terkena dampak putusan MI<br />
2 Jenis Intervensi dan Dasar Hukum<br />
<br />
MI membagi hak intervensi dalam dua ketegori yaitu, hak intervensi sebuah Negara atas keputusan sebuah kasus MI dan atas konstruksi sebuah perjanjian internasional.<br />
<br />
3.1 Intervensi atas keputusan sebuah kasus MI<br />
Secara preseden, kasus pertama intervensi jenis ini dilakukan dihadapan MI pada tahun 1981, kasus Continental Shelf antara Tunisia dan Libya Arab Jamahiriya, dimana Negara malta sebagai pihak yang melakukan intervensi. Jenis intervensi ini diatur di dalam pasal 62 dari statuta MI, yaitu :<br />
“Should a state consider that it has an interest of a legal nature which may be affected by the decision in the case, it may submit a request to the Court to be permitted to intervene” <br />
“It shall be for the Court to decide upon this request” <br />
<br />
Lebih jauh lagi, hak intervensi jenis ini diatur dalam Aturan Mahkamah, 1978 di dalam pasal 81, 83, 84 dan 85. Mengacu dari pasal-pasal tersebut diatas, pengajuan hak intervensi harus mengandung tiga hal, yaitu kepentingan yang mempunyai karakter hukum atau “interest of legal nature”, objek yang jelas dan pasti atau “precise object” dan hubungan jurisdiksi atau “jurisdictional link”. <br />
<br />
3.1.1 Kepentingan yang mempunyai karakter hukum<br />
<br />
Kelemahan atau plaucity dari elemen ini adalah bahwa tidak ada definisi yang jelas, dalam hukum internasional yang berkenaan dengan kata “interest of legal nature”. Setiap Negara bebas menginterpretasikan kepentingannya dalam mengajukan hak intervensi berkenaan dengan kasus yang sedang berlangsung di MI. Hakim ad hoc Weeramantry dalam kasus Sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan memberikan pernyataan yang sama berkaitan dengan definisi dari kepentingan yang mempunyai karakter hukum. Akan tetapi, ada beberapa pedoman yang telah berkembang di dalam hukum internasional tentang intervensi, yaitu :<br />
3.1.1.1 Kepentingan umum yang mungkin mendapatkan dampak dari keputusan MI <br />
3.1.1.2 Kepentingan politik atau sosial <br />
3.1.1.3 Kepentingan tentang perkembangan umum dari hukum atau “general development of law” <br />
3.1.1.4 Kepentingan tentang penggunaan prinsip dan aturan umum hukum internasional pada kasus yang dimintakan intervensi <br />
3.1.1.5 Kepentingan tentang hukum yang dipakai MI di dalam kasus lain <br />
3.1.2 Objek yang jelas dan pasti<br />
Elemen ini lebih menekankan pada diskresi dari MI atas pengajuan sebuah intervensi. Tidak ada, baik aturan maupun preseden MI yang mengatur lebih lanjut berkenaan dengan objek yang jelas dan pasti dalam hak intervensi.<br />
3.1.3 Hubungan Jurisdiksi<br />
Ada dua hal yang cukup menarik mengenai elemen ketiga dari hak intervensi ini. Pertama berkenaan dengan persetujuan dari pihak yang bersengketa terhadap intervensi tersebut, dan kedua tentang kekuatan mengikat dari putusan yang akan dibuat MI kepada pihak yang mengajukan intervensi tersebut.<br />
<br />
3.1.3.1 Persetujuan dari pihak yang bersengketa<br />
<br />
Ada perubahan mendasar dalam hukum internasional mengenai persetujuan dalam hak intervensi. Secara sejarah, persetujuan dari pihak yang bersengketa kepada pihak yang akan melakukan hak intervensi adalah obligatory, <br />
<br />
“the voluntary intervention of a third party is admissible only with the consent of the parties that have concluded the compromise” <br />
<br />
<br />
Kemudian paradigma ini berubah seiring dengan perkembangan hukum internasional. Pasal 62 dari Statuta MI tidak menyebutkan adanya keharusan untuk mendapat persetujuan dari pihak yang bersengketa guna melakukan sebuah hak intervensi. Jika sebuah Negara beranggapan bahwa kepentingannya akan terkena dampak dari sebuah keputusan MI, maka Negara tersebut mempunyai hak untuk melakukan intervensi.<br />
3.1.3.2 Kekuatan mengikat putusan MI terhadap pihak yang mengajukan intervensi<br />
<br />
Tidak ada ketentuan yang menyebutkan adanya keharusan untuk menjadi party dalam proses beracara bagi pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pihak ketiga dapat memilih untuk menjadi full party atau tidak dalam pengajuan intervensinya. Konsekwensi yang timbul akibat kondisi ini adalah bahwa sebuah Negara yang melakukan intervensi tetapi tidak consent untuk menjadi full party tidak terikat pada keputusan MI yang dibuat. <br />
<br />
“a state permitted to intervene under Article 62 of the statute, but which does not acquire the status of party to the case, is not bound by the judgment in the proceedings in which it has intervened” <br />
<br />
<br />
Keputusan MI hanya mengikat pada pihak yang bersengketa dan pada kasus yang tersebut saja. Akan tetapi jika hakim Oda berpendapat bahwa pihak ketiga tidak akan mendapat keadilan yang sama dibanding dengan pihak yang bersengketa jika tidak menjadi full party di dalam kasus yang sedang diproses,<br />
<br />
“the intervening state will thus been able to protect its own rights merely so far as the judgment declines to recognize as countervailing the rights of either of the original litigant states. On the other hand, to the extent that the Court gives judgment positively recognizing rights of either of the litigant states, the intervening state will certainly lose all present or future claims in conflict with those rights.” <br />
<br />
<br />
Menjadi full party atau tidak, nampaknya bukan suatu hal yang berpengaruh positif kepada pihak ketiga. Hal ini disebabkan karena walaupun pihak ketiga menyatakan tidak menjadi full party pada kasus yang sedang diproses, pihak ketiga tetap akan bound pada keputusan MI tersebut. Di dalam preseden kasus yang berkenaan intervensi, hakim Oda berpendapat bahwa,<br />
<br />
“Nicaragua, as a non-party intervener, will certainly be bound by the judgment in so far as it relates to the legal situation of the maritime spaces of the Gulf” <br />
<br />
Belum ada konsensus para hakim MI tentang urgensi adanya hubungan jurisdiksi dalam pengajuan hak intervensi jenis ini yang akan membawa pengaruh yang signifikan dalam penentuan apakah sebuah hak intervensi dapat dikabulkan atau tidak. <br />
<br />
3.2 Intervensi atas konstruksi sebuah perjanjian internasional<br />
<br />
Kasus pertama mengenai intervensi jenis ini terjadi di kasus S.S. Wimbledon. Pasal 63 dari Statuta MI menyebutkan,<br />
“Whenever the construction of a convention to which states other than those concerned in the case are parties is in question, the Registrar shall notify all such states forthwith”. <br />
“Every state so notified has the right to intervene in the proceedings; but if it uses this right, the construction given by the judgment will be equally binding upon it”. <br />
<br />
Ketentuan lain yang mengatur hak intervensi jenis ini terdapat dalam Aturan Mahkamah, 1978, pasal 82, 83, 84, 86. Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hak intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional mempunyai elemen-elemen yaitu, pertama hanya Negara yang menjadi party dari konvensi yang dapat mengajukan hak intervensi jenis ini, dan kedua keputusan MI yang diambil mengikat kepada pihak yang melakukan intervensi seperti pada pihak yang beracara di sengketa tersebut.<br />
Berbeda dengan jenis intervensi yang pertama, intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional ini belum membawa perdebatan yang substantial. Hal ini mungkin lebih disebabkan oleh sedikitnya kasus yang berkenaan dengan jenis intervensi ini. <br />
Hubungan jurisdiksi tidak menjadi isu yang signifikan karena ketentuan yang jelas bahwa hanya Negara yang party dari perjanjian tersebut yang dapat melakukan intervensi. Selain itu keputusan MI pada pihak yang melakukan intervensi jenis ini, mengikat seperti pada pihak yang beracara, jadi sifat dari intervensi ini adalah obligatory setelah consent untuk melakukan intervensi. Hal ini berbeda dengan jenis intervensi atas dasar impact keputusan MI yang diberikan pilihan untuk tunduk atau tidak sebagai party dalam kasus yang sedang berjalan. <br />
4 Mekanisme untuk Mengajukan Hak Intervensi<br />
<br />
Untuk lebih memudahkan, pembahasan tentang mekanisme mengajukan hak intervensi dibagi atas dua bagian sesuai dengan jenis intervensi yang diatur di dalam pasal 62 dan 63 dari statuta MI. Baik jenis intervensi atas dasar sebuah keputusan MI ataupun atas dasar konstruksi perjanjian internasional, ketentuan pasal 38 dari Aturan Mahkamah tentang permulaan beracara atau institution of Proceedings harus diikuti<br />
<br />
4.1 Intervensi atas dasar sebuah keputusan MI<br />
4.1.1 Aplikasi Intervensi<br />
Sebuah aplikasi intervensi jenis ini harus berisikan hal-hal sebagai berikut, yaitu : <br />
<br />
4.1.1.1 Nama wakil yang mengajukan aplikasi <br />
4.1.1.2 Kepentingan yang mempunyai karakter hukum<br />
4.1.1.3 Objek yang jelas dan pasti<br />
4.1.1.4 Dasar jurisdiksi atau hubungan jurisdiksi yang diklaim antara pihak yang mengintervensi dan pihak yang bersengketa<br />
4.1.1.5 Dokumen pendukung yang relevan <br />
<br />
4.1.2 Waktu Pengajuan<br />
Waktu pengajuan yang diperbolehkan dalam intervensi jenis ini adalah secepat mungkin atau as soon as possible dan sebelum waktu pembelaan tertulis atau written proceedings ditutup. Pengecualian untuk kondisi tertentu, exceptional circumstances, aplikasi dapat diajukan pada tahap yang berikutnya <br />
<br />
4.2 Intervensi atas dasar konstruksi Perjanjian Internasional <br />
<br />
4.2.1 Aplikasi Intervensi<br />
Sebuah aplikasi intervensi jenis ini harus berisikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :<br />
4.2.1.1 Nama Wakil yang mengajukan aplikasi<br />
4.2.1.2 Ketentuan yang menyebutkan bahwa Negara yang melakukan intervensi adalah party dari konvensi yang menjadi objek sengketa<br />
4.2.1.3 Identifikasi dari ketentuan konvensi yang menjadi objek intervensi<br />
4.2.1.4 Pernyataan atau pendapat tentang objek intervensi<br />
4.2.1.5 Dokumen pendukung yang relevan <br />
<br />
4.2.2 Waktu Pengajuan<br />
Waktu pengajuan yang diperbolehkan pada dasarnya sama dengan intervensi jenis pertama (pasal 62) yaitu secepat mungkin dan sebelum tanggal dimulainya pembelaan presentasi atau oral presentation. Kondisi pengecualian seperti pada intervensi jenis pertama juga berlaku pada jenis intervensi ini <br />
<br />
Setelah diajukan, register akan mengatur pembagian administratif dari aplikasi tersebut yang kemudian MI akan menentukan tanggal dimana para pihak yang bersengketa akan memberikan pendapat tertulis mereka atau written observations. Jika terjadi keberatan atau objection dari baik satu maupun pihak yang bersengketa atas intervensi yang diajukan, maka MI akan mendengarkan seluruh pendapat dari para pihak yang bersengketa dan pihak yang mengintervensi. <br />
Jika intervensi atas dasar keputusan MI dikabulkan atau granted, maka pihak yang melakukan intervensi akan diberikan salinan pembelaan para pihak yang bersengketa. Selain itu pihak yang melakukan intervensi juga dapat memberikan pernyataan tertulis, written statement, dalam waktu yang ditentukan MI. Para pihak yang bersengketa berhak memberikan pendapat tertulis atas pernyataan tertulis dari pihak yang melakukan intervensi, dengan jangka waktu yang ditentukan oleh MI sebelum dimulainya waktu presentasi pembelaan. Pada waktu presentasi pembelaan, pihak yang melakukan intervensi dapat memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek sengketa. <br />
Jika intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional diterima atau admitted, maka pihak yang melakukan intervensi akan diberikan salinan pembelaan para pihak yang bersengketa dan berhak memberikan pendapat tertulisnya berkenaan dengan objek dari intervensi yang bersangkutan dalam waktu yang ditentukan MI. Pada waktu presentasi pembelaan, pihak yang melakukan intervensi dapat memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek intervensi. <br />
<br />
<br />
Bab IV<br />
<br />
STUDI KASUS HAK INTERVENSI<br />
<br />
<br />
<br />
1. Kasus Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya), Intervensi Malta, 14 April 1981 <br />
<br />
1.1. Posisi dan Keputusan Intervensi<br />
Kasus ini dimulai tanggal 1 Desember 1978 antara Tunisia dan Libya Arab Jamahiriya. Subjek yang diajukan ke MI adalah mengenai perbatasan dasar benua atau delimitation of continental shelf antar kedua Negara tersebut. Pada tanggal 30 Januari 1981, Malta mengajukan intervensi atas kasus tersebut dengan dasar pasal 62 dari ketentuan Statuta MI. Keberatan atas intervensi ini diajukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Setelah melalui proses hearing, kemudian MI memutuskan untuk menolak intervensi yang diajukan Malta secara mutlak atau unanimous dengan Keputusan MI tertanggal 14 April 1981.<br />
<br />
<br />
1.2. Analisa Kasus<br />
<br />
Mengacu kepada ketentuan Aturan Mahkamah, 1978 pasal 81 paragraf 2 tentang intervensi, setiap Negara ketiga yang bermaksud untuk mengajukan hak intervensi harus mencantumkan kepentingan hukum atau interest of legal nature, objek yang jelas dan pasti atau precise object of intervention dan dasar hubungan jurisdiksi atau base for jurisdictional link. Setelah melihat aplikasi intervensi Malta dan keberatan-keberatan yang diajukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, MI sampai pada satu kesimpulan jika salah satu keberatan yang diajukan terbukti, maka MI tidak akan melanjutkan untuk membuktikan keberatan-keberatan yang lain dan menolak intervensi Malta.<br />
Pada dasarnya Malta mengklaim mempunyai kepentingan pada kemungkinan-kemungkinan atau possible concern dari MI yang akan mengindentifikasi dan mempelajari faktor-faktor geografis dan geomorfis dari dasar benua yang disengketakan, <br />
<br />
<br />
“Any findings of the Court that identified and assessed the geographical and geomorphological factors relevant to the delimitation of the Libya/Tunisia continental shelf and with any pronouncements made by the Court regarding, for example, the significance of special circumstances or the application of equitable principles in that delimitation” <br />
<br />
<br />
Lebih jauh lagi, possible concern itu juga dapat berupa keputusan-keputusan MI yang akan memberikan dampak terhadap hak dan kepentingan hukum Malta jika Malta bermaksud untuk membuat batas dasar benua terhadap salah satu atau kedua pihak yang bersengketa. Selain itu Malta juga membuat reservasi tertulis yang menyatakan bahwa intervensi yang dilakukannya tidak dimaksudkan untuk membuat klaim baru atas subjek yang disengketa-kan. Melihat dari tanggal pengajuan, Malta tidak melewati waktu pengajuan intervensi, yaitu sebelum berakhirnya waktu pembelaan tertulis. <br />
Berdasarkan permintaan tersebut MI berpandangan bahwa aplikasi yang diajukan Malta adalah sebuah kesempatan untuk melawan keputusan MI dalam penggunaan suatu kriteria tertentu atas kasus tersebut. Kemudian MI memutuskan jika intervensi atas dasar ini dikabulkan, maka akan terjadi ketidakpastian hukum dari para pihak yang bersengketa, yaitu batasan atas kepentingan hukum yang harus diajukan jika salah satu pihak ikut beracara tanpa ada klaim yang dipertahankan atas subjek sengketa. Selanjutnya MI berpendapat bahwa kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi atau future implications tidak dapat dijadikan kepentingan dari sisi hukum untuk pengajuan sebuah intervensi. MI mengambil dasar pada putusan PCIJ tahun 1922 yang menjadi pedoman MI yaitu untuk tidak berusaha menyelesaikan permasalahan yang mungkin terjadi,<br />
<br />
“It should not attempt to resolve in the Rules of the Court the various questions which have been raised, but leave them to be decided as and when they occurred in practice and in the light of the circumstances of each particular case” <br />
<br />
Syarat kedua dan ketiga dari intervensi yaitu precise object dan jurisdictional link, tidak dilanjutkan dibahas oleh MI karena salah satu keberatan yang diajukan kedua pihak yang bersengketa telah terbukti.<br />
Keputusan MI yang menolak intervensi Malta adalah cukup rasional, walaupun secara geografis letak Negara Malta dapat terkena dampak seperti yang dimaksud dalam pasal 62 statuta MI. Kepastian hukum tidak akan ada jika ada sebuah Negara ketiga yang ikut beracara tanpa ada klaim atau petitum atas subjek sengketa. <br />
Harus juga diingat bahwa kasus Intervensi Malta ini adalah kasus pertama yang berkenaan dengan jenis intervensi pasal 62 atau intervensi atas dasar keputusan MI yang diajukan ke MI. Penerapan ketat yang dilakukan MI atas pasal 62 pada kasus ini menggambarkan pandangan hukum internasional yang masih cenderung menolak kehadiran pihak ketiga untuk ikut beracara dalam sebuah penyelesaian sengketa. <br />
<br />
<br />
2. Kasus Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), Intervensi Italia, 21 Maret 1984 <br />
<br />
2.1. Posisi dan Keputusan Intervensi<br />
Kasus kedua berkenaan dengan intervensi masih berkisar tentang batas kontinen, yang kali ini diajukan oleh Libya Arab Jamahiriya dan Malta. Berdasarkan pada perjanjian khusus kedua belah pihak, pemberitahuan bersama atau joint notification disampaikan kepada register MI pada tanggal 26 Juli 1982. Pada tanggal 24 Oktober Negara Italia mengajukan aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 dari statuta MI. Proses hearing yang mendengarkan pendapat dari para pihak dan pihak ketiga dimulai tanggal 25 Januari 1984. Kemudian pada tanggal 21 Maret 1984, MI mengeluarkan keputusan untuk menolak aplikasi intervensi Italia dengan perbandingan suara 11 melawan 5.<br />
<br />
2.2. Analisa Kasus<br />
Pengajuan intervensi yang dilakukan Italia memenuhi persyaratan formal untuk sebuah intervensi. Dalam kasus ini, MI tidak memberikan pendapat tentang syarat yang ketiga yaitu jurisdictional link. Hal ini dilakukan atas dasar bahwa syarat pertama dan kedua telah tidak terpenuhi dalam aplikasi intervensi dari Italia. Selain itu, alasan MI menolak untuk memutuskan tentang status jurisdictional link dari Italia adalah karena mengadopsi preseden yang telah diambil pada kasus sebelumnya, yaitu intervensi dari Malta pada tahun 1981.<br />
<br />
2.2.1. Kepentingan Hukum atau Interest of a Legal Nature<br />
<br />
Dari sisi ini, MI diminta untuk memberikan perlindungan seperti yang termaktub dalam pasal 62 statuta MI dengan cara mencegah dampak yang mungkin terjadi atas sebuah keputusan yang dikeluarkan. Italia meminta MI untuk melindungi hak-haknya. Dari permintaan yang relatif cukup umum ini membawa konsekwensi praktek beracara MI untuk mengindentifikasi hak-hak dari Italia. Untuk mengindentifikasikan hak-hak dari Italia, maka MI juga harus mengindentifikasi hak-hak dari baik Libya maupun Malta sebagai pihak yang bersengketa. <br />
Berdasarkan permintaan ini, MI berpandangan bahwa untuk menentukan hak-hak Italia dan hak-hak Negara yang bersengketa, secara otomatis akan melibatkan hubungan hukum dari ketiga Negara tersebut. MI tidak dapat menilai hubungan hukum dari ketiga Negara tersebut tanpa persetujuan yang Negara bersangkutan. Jika MI mengabulkan intervensi Italia, berarti MI telah melanggar azas konsensualisme yang menjadi dasar beracara di MI. <br />
<br />
<br />
2.2.2. Objek yang pasti dan jelas atau Precise Object of Intervention<br />
<br />
Selain akan membuat sengketa baru atau fresh dispute jika intervensi Italia dikabulkan, objek yang diajukan Italia juga tidak termasuk dalam past decisions dari MI yang berkenaan dengan intervensi. Kasus preseden MI tentang intervensi hanya menunjuk pada perlindungan hak, bukan pada identifikasi hak, seperti yang terjadi pada kasus Italia,<br />
<br />
“…, since the only cases of intervention afforded by that Article [62] would be those in which the intervener was only seeking the preservation of its rights, without attempting to have them recognized.” <br />
<br />
<br />
MI melihat objek intervensi dari Italia tidak masuk dalam kategori precise object seperti dalam pasal 81 Aturan Mahkamah. Tidak ada dalam baik wording maupun preseden MI yang mengatakan bahwa pasal 62 Statuta MI dimaksudkan sebagai cara alternatif untuk mengajukan sengketa baru ke MI.<br />
<br />
<br />
3. Kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute (El Savador/Honduras), Intervensi Nikaragua, 13 September 1990 <br />
<br />
<br />
3.1. Posisi dan Keputusan Intervensi<br />
Kasus ini diajukan kepada Register MI pada tanggal 11 Desember 1986, 2 tahun stelah kasus intervensi Italia tahun 1984. Objek sengketa pada kasus ini adalah Teluk Fonseca, yaitu batas daratan dan status hukum atas pulau dan daerah maritim dari Negara Honduras dan El Savador. Pada tanggal 17 November 1990, Nikaragua mengajukan aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 Statuta MI. Keputusan MI atas intervensi Nikaragua secara mutlak adalah mengabulkan intervensi Nikaragua pada tanggal 13 September 1990.<br />
<br />
<br />
3.2. Analisa Kasus<br />
Kasus intervensi Nikaragua ini adalah kasus pertama dalam sejarah MI dimana sebuah Negara ketiga dikabulkan untuk melakukan hak intervensinya. Di dalam kasus ini juga mulai dapat disimpulkan bahwa MI tidak mempersoalkan hubungan jurisdiksi dalam jenis intervensi pasal 62 (intervensi atas Keputusan MI). <br />
<br />
3.2.1. Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature<br />
<br />
Untuk sebuah intervensi dapat dipertimbangkan, pihak ketiga harus memperlihatkan adanya kepentingan hukum yang akan terkena dampak keputusan dari sebuah sengketa yang sedang diajukan. Beban pembuktian atau burden of proof, menurut hemat MI, berada pada pihak ketiga yang melakukan intervensi, bukan di MI. Pembuktian yang dimaksud hanya untuk memperlihatkan secara meyakinkan bahwa kepentingan hukumnya mungkin akan terkena dampak keputusan yang akan diambil MI, bukan harus maupun yang akan terkena dampak. Disini pembuktian hanya didasarkan pada kemungkinan yang relatif lebih mudah untuk dibuktikan,<br />
<br />
“In the Chamber’s opinion, it is clear, first, that it is for a state seeking to intervene to demonstrate convincingly what it asserts, and thus to bear the burden of proof, and second that it has only to show that its interest “may” be affected not that it will or must be affected” <br />
<br />
<br />
<br />
Di dalam kasus intervensi Nikaragua ini, MI menentukan bahwa ada tiga klaim dimana Nikaragua harus memperlihatkan kemungkinan terkena dampak keputusan MI, yaitu Keadaan Hukum atau Legal Situations dari pulau-pulau, Perairan Dalam dan Luar teluk Fonseca. Dari ketiga klaim tersebut, Nikaragua hanya mampu untuk memenuhi satu klaim, yaitu berkenaan tentang kondisi hukum di perairan dalam teluk. Akan tetapi , walaupun hanya satu klaim yang dapat dipenuhi, MI mengabulkan intervensi dari Nikaragua ini. <br />
<br />
Jika melihat secara sejarah, memang Teluk Fonseca ini telah diputuskan oleh Central American Court of Justice sebagai sebuah historic bay yang mempunyai karakteristik sebuah laut tertutup atau closed sea. Lebih jauh lagi diputuskan oleh institusi yang sama bahwa teluk Fonseca itu dimiliki oleh tiga Negara secara bersama atau co-ownership, yaitu Negara El savador, Honduras dan Nikaragua. Sesuai dengan pasal 38 statuta, MI mengambil keputusan ini sebagai subsidiary means dan dianggap sebagai sebuah keputusan yang objektif.<br />
<br />
3.2.2. Objek yang Jelas dan Pasti atau Precise Object of Intervention<br />
<br />
Nikaragua mengajukan dua klaim untuk persyaratan yang kedua ini, yaitu untuk melindungi hak-hak hukumnya dan untuk memberikan informasi kepada MI berkenaan dengan hak-hak hukum Nikaragua atas Teluk Fonseca,<br />
<br />
“First, generally to protect the legal rights of the Republic of Nicaragua in the Gulf of Fonseca and the adjacent maritime areas by all legal means available, and second to intervene in the proceedings in order to inform the Court of the nature of the legal rights of Nicaragua which are in issue in the dispute. This form of intervention would have the conservative purpose of seeking to ensure that the determination of the Chamber did not trench upon the legal rights and interests of the Republic of Nicaragua..” <br />
<br />
<br />
Atas pertimbangan MI, kedua klaim tersebut diputuskan sebagai objek yang sesuai dengan persyaratan intervensi yang kedua yaitu precise object of intervention. Secara logika, memang objek yang diajukan Nikaragua relatif lebih mudah dan tidak membuat sebuah kasus baru atau fresh dispute seperti yang diajukan oleh kasus-kasus intervensi yang terdahulu.<br />
<br />
<br />
3.2.3. Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link<br />
<br />
<br />
Posisi MI tetap sama berkenaan dengan persyaratan ketiga yaitu bahwa hubungan jurisdiksi bukan sesuatu yang signifikan yang dapat mempengaruhi pertimbangan sebuah hak intervensi. MI kembali menegaskan alur logika atau logical links bahwa jika setiap Negara yang akan melakukan intervensi harus mempunyai hubungan jurisdiksi dengan Negara yang bersengketa, maka akan terjadi pemaksaan ketundukan ke MI, atau dengan kata lain bertentangan dengan asas konsesualisme yang menjadi dasar proses beracara di MI.<br />
Dari seluruh reasoning MI yang berkenaan dengan hubungan jurisdiksi dalam hak intervensi, maka dapat diambil sebuah pedoman umum yang menggambarkan sistem hukum yang dipakai MI, yaitu system common law yang menekankan pada sumber persuasif keputusan-keputusan sebelumnya. Pedoman itu terlihat dari indikasi bahwa walaupun dalam aturan mahkamah, 1978 jelas tertulis kata “shall” yang berarti suatu keharusan bagi Negara ketiga untuk mempelihatkan hubungan jurisdiksi, tetapi dari keputusan yang telah dibuatnya hubungan jurisdiksi bukan merupakan suatu yang penting. <br />
<br />
<br />
4. Kasus Land & Maritime Boundary (Kamerun/Nigeria), Intervensi Equatorial Guinea, 21 Oktober 1999 <br />
<br />
<br />
4.3. Posisi dan Keputusan Intervensi<br />
Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Nigeria dan Kamerun yang meminta MI untuk memutuskan batas daerah dan maritim Bakassi Peninsula. Kasus ini dimulai tanggal 29 Maret 1994 dengan Aplikasi Kamerun dimana Nigeria mengajukan keberatan awal atau preliminary objection. Setelah Nigeria memberikan consent ke MI, maka kemudian MI mulai memeriksa kasus yang diajukan. <br />
Lima tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Juni 1999, Negara Equatorial Guinea mengajukan intervensi dengan dasar pasal 62 yaitu intervensi atas keputusan MI. Aplikasi hak intervensi Negara Equatorial Guine dikabulkan secara mutlak oleh MI dengan putusannya tanggal 21 Oktober 1999.<br />
<br />
<br />
4.4. Analisa Kasus<br />
<br />
Salah satu alasan yang cukup mendasar berkenaan tentang kasus ini adalah bahwa secara tidak langsung Negara ketiga diundang atau invited untuk melakukan hak intervensi dengan putusan MI tentang keberatan awal dari Nigeria,<br />
<br />
“ The Court notes that the geographical location of the territories of the other states bordering the Gulf of Guinea…, demonstrates that it is evident that the prolongation of the maritime zones where the rights and interests of Cameroon and Nigeria will overlap those of other states.” <br />
<br />
<br />
Lebih jauh lagi, kedua Negara yang bersengketa baik Kamerun maupun Nigeria tidak mengajukan keberatan atas aplikasi intervensi yang diajukan oleh Equatorial Guinea. <br />
Di sini Equatorial Guinea secara spesifik menyatakan bahwa kepentingan hukumnya lebih terletak pada batas maritim dari Bakassi Peninsula. Pada poin ini, kembali kedua Negara yang bersengketa tidak mengajukan keberatan atas hal tersebut,<br />
<br />
<br />
“…which could allow the court to better informed on the general background of the case and to determine more completely the dispute submitted to it.” <br />
<br />
<br />
“Whether or not Equatorial Guinea’s application is accepted, it will in Nigeria’s view make no difference to the legal position of Nigeria to the present proceedings, or to the jurisdiction of the court. On that basis, Nigeria leaves it to the court to judge whether and to what extent it is appropriate or useful to grant Equatorial Guinea’s Application.” <br />
<br />
<br />
Pada kasus ini, tidak lagi dibahas tentang convincing demonstration yang diperlukan untuk memenusi syarat pertama ini, seperti pada kasus terdahulunya. Dapatlah diambil sebuah kesimpulan bahwa MI mengabulkan aplikasi Equatorial Guinea in advance dengan undangan tidak langsungnya kepada Negara ketiga untuk melakukan intervensi. <br />
Untuk persyaratan yang kedua, posisi MI menjadi lebih permanen dengan menggunakan dasar kasus terdahulunya berkenaan tentang precise object yaitu untuk memberikan informasi agar MI dapat lebih memutus dengan objektif atas kasus yang disengketakan. Hal yang sama juga dapat dilihat dari signifikansi hubungan jurisdiksi yang tidak menjadi keharusan untuk pihak ketiga dalam melakukan hak intervensi. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
5. Kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan (Malaysia/Indonesia), Intervensi Filipina, 12 Oktober 2001 <br />
<br />
5.3. Posisi dan Keputusan Intervensi<br />
Indonesia dan Malaysia sebagai para pihak yang bersengketa memulai beracara di MI pada tanggal 2 November 1998. Objek sengketa dalam kasus ini adalah kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan. Pada tanggal 13 Maret 2001, Negara Filipina mengajukan aplikasi untuk melakukan intervensi atas dasar pasal 62. Sebelum mengajukan aplikasi tersebut, Filipina meminta salinan pembelaan dan dokumen terkait pada tanggal 22 Februari 2001 dengan dasar pasal 53 paragraf 1 Aturan Mahkamah. Kemudian, permintaan tersebut ditolak MI. Penolakan inilah yang nantinya menjadi salah satu argument dasar dari pihak Filipina. MI menolak intervensi Filipina atas kasus kedaulatan dari Pulau Sipadan dan Ligitan dengan keputusannya tanggal 23 Oktober 2001.<br />
<br />
5.4. Analisa Kasus<br />
Sebelum masuk ke pembahasan inti dari tiga persyaratan utama dalam pengajuan hak intervensi, ada baiknya jika melihat terlebih dahulu keberatan yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa atas intervensi yang dilakukan. Keberatan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, in casu Indonesia dan Malaysia terhadap aplikasi intervensi Filipina adalah bahwa Aplikasi Filipina terlambat diajukan dan dalam aplikasinya Filipina tidak memasukan daftar dokumen pendukung. <br />
Dalam putusannya MI menyatakan bahwa aplikasi Filipina tidak melanggar ketentuan pasal 81 paragaf 1, karena dari para pihak sendiri belum memberikan pernyataan yang tegas tentang akhir dari pembelaan tertulis. MI melihat bahwa dari perjanjian khusus yang ditandatangani para pihak, masih ada kesempatan untuk melakukan tahap akhira dari proses pembelaan tertulis. Baru pada tanggal 28 Maret 2001 para pihak yang bersengketa memberikan pernyataan untuk tidak meneruskan proses pembelaan terulis, sedangkan aplikasi Filipina diajukan pada tanggal 13 Maret 2001, walaupun akhir dari putaran ketiga pembelaan tertulis berakhir pada tanggal 2 Maret 2001. MI melihat bahwa pemberitahuan para pihak akan telah selesainya proses pembelaan tertulis memang harus ditentukan dan dinyatakan. <br />
Untuk klaim yang kedua yaitu tidak memasukan daftar dokumen pendukung, MI juga memutuskan sama, yaitu Filipina tidak melanggar pasal yang terkait, karena maksud dari pasal 81 paragraf 3 tersebut adalah bahwa hanya jika ada dokumen pendukung maka daftar dokumen tersebut harus disertakan. Tidak ada kewajiban bagi Negara yang melakukan intervensi untuk menyertakan dokumen pendukung aplikasinya.<br />
<br />
5.4.1. Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature<br />
<br />
Berkenaan dengan kepentingan hukum ini, Filipina mengajukan kepentingan hukumnya yaitu pada perjanjian-perjanjian dan bukti-bukti lain yang berkaitan dengan sengketa diatas. Lebih jauh lagi, Filipina mengajukan dua klaim untuk kepentingan hukumnya, yaitu interpretasi kata decision atau keputusan yang termasuk didalamnya reasoning atau analisa yang melatarbelakangi keputusan tersebut, dan sifat kepentingan hukum yang dapat mendasari suatu hak intervensi terjadi.<br />
Untuk klaim yang pertama menggunakan dasar pasal 62 dengan referensi pasal 59 bahwa bukan saja hanya keputusan atau decision dari MI, akan tetapi juga analisa atau reasoning yang dapat membawa dampak pada kepentingan hukum Filipina. Dalam kaitannya dengan klaim ini, MI setuju dengan klaim Filipina karena jika mengambil textual interpretation dari redaksional kata decision, maka harus dilihat dari naskah aslinya yaitu naskah dalam Bahasa Perancis yang mempunyai arti lebih luas termasuk pada analisa dari keputusan tersebut.<br />
Melihat dari kesamaan pandangan MI dengan Filipina, nampaknya akan membawa sedikit masalah untuk kasus-kasus yang nantinya akan diajukan ke MI. Tidak jelas mana yang lebih kuat sifat persuasive antara keputusan dengan analisa yang melatarbelakangi keputusan tersebut,<br />
<br />
“…but, to interpret a decision as including “reasoning” might somehow stymie the Court in the performance of its judicial function in a particular case and place too onerous a burden on States by requiring them to be extra vigilant for fear of what the Court’s reasoning might be in particular case”. <br />
<br />
<br />
Analisa disini juga diartikan sebagai separate dan dissenting opinion dari para hakim MI. Selain itu, kemungkinan untuk intervensi akan semakin terbuka dengan adanya unsure analisa yang dapat dijadikan dasar atas dampak yang mungkin didapati atas suatu kasus. Akan tetapi, jika melihat dari sisi pertimbangan hukumnya, memang MI dapat lebih mendapatkan pertimbangan hukum jika unsur analisa mempunyai kedudukan yang sama dengan keputusan. <br />
Dalam proses keseluruhan beracara, Filipina tidak dapat membuktikan kepentingan hukum yang akan terkena dampak, baik dari unsur keputusan maupun unsur analisanya.<br />
Klaim yang kedua mengenai sifat kepentingan hukum dari intervensi, MI melihat bahwa sifat kepentingan hukum untuk melakukan intervensi harus mengacu langsung kepada perihal atau objek sengketa. Hal ini didukung oleh mayoritas klaim dari Negara yang diperbolehkan melakukan intervensi, kasus Nikaragua dan Equatorial Guinea. Untuk klaim yang kedua ini, kembali Filipina gagal menunjukan kepentingan hukum yang mengacu langsung kepada inti sengketa. Unsur convincing demonstration kembali diambil sebagai dasar oleh MI dalam memutus klaim ini.<br />
<br />
<br />
5.4.2. Objek yang jelas dan pasti atau Precise Object of Intervention<br />
<br />
Filipina mengajukan tiga objek berkenaan dengan aplikasi intervensinya, yaitu:<br />
<br />
“First, to preserve and safeguard the historical and legal rights of the Government of the Republic of the Philippines arising from its claim to dominion and sovereignty over the territory of North Borneo, to the extent that these rights are affected, by a determination of the Court of the question of sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan; Second, to intervene in the proceedings in order to inform the Honourable Court of the nature and extent of the historical and legal rights of the Republic of the Philipines which may be affected by the Court’s decision; and third, to appreciate more fully the indispensable role of the Honourable Court in comprehensive conflict prevention and not merely for the resolution of legal disputes.” <br />
<br />
<br />
<br />
Untuk objek yang pertama dan kedua, MI mengambil formulasi yang sama dari keputusan terdahulunya tentang intervensi, bahwa melindungi dan memberikan informasi kepada MI atas hak-hak hukum yang ada, adalah diperbolehkan. Sedangkan untuk objek yang ketiga, karena dalam proses pembelaan presentasinya Filipina tidak menjelaskan serta menguatkan objeknya tersebut, maka MI menolak objek ketiga tersebut.<br />
<br />
5.4.3. Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link<br />
<br />
Seperti yang telah diputuskan pada kasus terdahulunya, tidak diperlukan adanya hubungan jurisdiksi dalam sebuah aplikasi intervensi dengan catatan bahwa Negara yang mengajukan intervensi tidak mempunyai maksud untuk ikut beracara di dalam MI. Pada kasus ini Filipina dengan jelas menyebutkan untuk tidak menjadi pihak yang bersengketa. Hubungan Jurisdiksi diperlukan hanya jika pihak yang melakukan intervensi bermaksud untuk menjadi pihak yang bersengketa dan maksud tersebut disetujui oleh para pihak yang sedang bersengketa.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-81177183515630728482010-07-04T17:20:00.001-07:002010-07-04T17:20:53.963-07:00Tata Cara Peradilan PidanaTAHAP-TAHAP ACARA PERADILAN PERDATA <br />
<br />
Proses beracara dalam Pengadilan Perdata diatur dalam HIR dan uu No 14 tahun 1970, yang mencakup:<br />
<br />
TAHAPAN-TAHAPAN DALAM PERADILAN PERDATA:<br />
<br />
A. TAHAP ADMINISTRATIF<br />
<br />
a. Penggugat memasukkan surat gugatan ke Pengadilan Negeri yang berwenang<br />
Menurut pasal 118 HIR, ditentukan bahwa kewenangan Pengadilan Negeri yang berhak untuk memeriksa perkara adalah:<br />
(1) Pengadilan Negeri dimana terletak tempat diam (domisili) Tergugat.<br />
(2) Apabila Tergugat lebih dari seorang, maka tuntutan dimasukkan ke dalam Pengadilan Negeri di tempat diam (domisili) salah seorang dari Tergugat tersebut. Atau apabila terdapat hubungan yang berhutang dan penjamin, maka tuntutan disampaikan kepada Pengadilan Negeri tempat domisili sang berhutang atau salah seorang yang berhutang itu.<br />
(3) Apabila Tergugat tidak diketahui tempat domisilinya atau Tergugat tidak dikenal, maka tuntutan dimasukkan kepada Pengadilan Negeri tempat domisili sang Penggugat atau salah seorang Penggugat. Atau apabila tuntutan tersebut mengenai barang tetap, maka tuntutan dimasukkan ke dalam Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya barang tersebut terletak.<br />
(4) Tuntutan juga dapat dimasukkan ke Pengadilan Negeri yang telah disepakati oleh pihak Penggugat<br />
<br />
b. Penggugat membayar biaya perkara,<br />
c. Penggugat mendapatkan bukti pembayaran perkara,<br />
d. Penggugat menerima nomor perkara (roll).<br />
<br />
<br />
<br />
Hak dan Kewajiban Tergugat/Penggugat:<br />
<br />
Dalam hal pemahaman bahasa: <br />
Pasal 120: Bilamana Penggugat buta huruf, maka surat gugatnya yang dapat dimasukannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat gugatan itu.<br />
Pasal 131: <br />
(1) Jika kedua belah pihak menghadap, akan tetapi tidak dapat diperdamaikan (hal ini mesti disebutkan dalam pemberitahuan pemeriksaan), maka surat yang dimasukkan oleh pihak-pihak dibacakan, dan jika salah satu pihak tidak paham bahasa yang dipakai dalam surat itu diterjemahkan oleh juru bahasa yang ditunjuk oleh ketua dalam bahasa dari kedua belah pihak.<br />
(2) Sesudah itu maka penggugat dan tergugat didengar kalau perlu memakai seorang juru bahasa.<br />
(3) Jika juru bahasa itu bukan berasal dari juru bahasa pengadilan negeri yang sudah disumpah, maka harus disumpah terlebih dahulu di hadapan ketua.<br />
Ayat ketiga dari pasal 154 berlaku bagi juru bahasa.<br />
<br />
Dalam hal gugatan balik: <br />
Pasal 132 a: <br />
(1) Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan/gugat balik, kecuali:<br />
1e. kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;<br />
2e. kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan <br />
3e. dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.<br />
(2) Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugat melawan, maka dalam bandingan tidak dapat memajukan gugatan itu. <br />
<br />
Dalam hal kewenangan Pengadilan: <br />
Pasal 134: Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu dapat diminta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakimpun wajib mengakuinya karena jabatannya.<br />
<br />
Dalam hal pembuktian: <br />
Pasal 137: Pihak-pihak dapat menuntut melihat surat-surat keterangan lawannya dan sebaliknya surat mana diserahkan kepada hakim untuk keperluan itu.<br />
<br />
Dalam hal berperkara tanpa biaya: <br />
Pasal 237: Orang-orang yang demikian, yang sebagai Penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak berbiaya.<br />
Pasal 238: <br />
(1) Apabila penggugat menghendaki izin itu, maka ia memajukan permintaan untuk itu pada waktu memasukkan surat gugatan atau pada waktu ia memajukan gugatannya dengan lisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 118 dan 120.<br />
(2) Apabila izin dikehendaki oleh tergugat, maka izin itu diminta pada waktu itu memasukkan jawabnya yang dimaksudkan pada Pasal 121.<br />
(3) Permintaan dalam kedua hal itu harus disertai dengan surat keterangan tidak mampu, yang diberikan oleh Kepala polisi pada tempat tinggal si pemohon yang berisi keterangan yang menyatakan bahwa benar orang tersebut tidak mampu.<br />
<br />
Penentuan hari sidang:<br />
Pasal 122:<br />
Ketika menentukan hari persidangan maka ketua menimbang jauh letaknya tempat diam atau tempat tinggal kedua belah pihak daripada tempat pengadilan negeri bersidang, dan dalam surat perintah sedemikian, maka waktu antara memanggil kedua belah pihak dan hari persidangan ditetapkan, kecuali dalam hal yang perlu sekali, tidak boleh kurang dari tiga hari pekerjaan.<br />
Kemungkinan- kemungkinan yang dapat terjadi pada sidang pertama:<br />
<br />
1.Penggugat hadir, tergugat tidak hadir <br />
Pasal 125 <br />
(1) : jikalau si Tergugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap Pengadilan Negeri pada hari yang telah ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tak hadir, kecuali jika tuntutan itu melawan hak atau tidak beralasan.<br />
<br />
2.. Penggugat tidak hadir, Tergugat hadir<br />
Pasal 124: jikalau si Penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap Pengadilan Negeri pada hari yang telah ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka tuntutannya dipandang gugur dan si penggugat dihukum membayar biaya perkara; akan tetapi si penggugat berhak, sesudah membayar biaya tersebut, memasukkan tuntutannya sekali lagi.<br />
<br />
3. Kedua belah pihak tidak hadir<br />
Ada anggapan bahwa demi kewibawaan badan peradilan serta agar jangan sampai ada perkara yang berlarut-larut dan tidak berketentuan, maka dalam hal ini gugatan perlu dicoret dari daftar dan dianggap tidak pernah ada.<br />
<br />
4. Kedua belah pihak hadir.<br />
Apabila kedua belah pihak hadir, maka sidang pertama dapat dimulai dengan sebelumnya hakim menganjurkan mengenai adanya perdamaian di antara kedua belah pihak tersebut.<br />
<br />
<br />
Hak dan Kewajiban Hakim <br />
<br />
Hak: <br />
• Dalam hal pemberian nasehat<br />
Pasal 119: Ketua Pengadilan Negeri berkuasa memberi nasehat dan pertolongan kepada Penggugat atau wakilnya tentang hal memasukkan surat gugatnya.<br />
Pasal 132: Ketua berhak, pada waktu memeriksa, memberi penerangan kepada kedua belah pihak dan akan menunjukan supaya hukum dan keterangan yang mereka dapat dipergunakan jika ia menganggap perlu supaya perkara berjalan dengan baik dan teratur.<br />
<br />
• Dalam hal kewenangan hakim:<br />
Pasal 159 ayat (4): Hakim berwenang untuk menolak permohonan penundaan sidang dari para pihak, kalau ia beranggapan bahwa hal tersebut tidak diperlukan.<br />
Pasal 175: Diserahkan kepada timbangan dan hati-hatinya hakim untuk menentukan harga suatu pengakuan dengan lisan, yang diperbuat di luar hukum.<br />
Pasal 180<br />
(1) Ketua PN dapat memerintahkan supaya suatu keputusan dijalankan terlebih dahulu walaupun ada perlawanan atau bandingnya, apabila ada surat yang sah, suatu tulisan yang menurut aturan yang berlaku yang dapat diterima sebagai bukti atau jika ada hukuman lebih dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuasaan yang pasti, demikian juga dikabulkan tuntutan dahulu, terlebih lagi di dalam perselisihan tersebut terdapat hak kepemilikan.<br />
(2) Akan tetapi dalam hal menjalankan terlebih dahulu ini, tidak dapat menyebabkan sesorang dapat ditahan.<br />
<br />
Kewajiban:<br />
• Dalam hal pembuktian: <br />
Pasal 172: Dalam hal menimbang harga kesaksian, hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi; cocoknya kesaksian yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselsiihkan; tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi itu untuk menerangkan duduk perkara dengan cara begini atau begitu; tentang perkelakuan adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi-saksi itu dapat dipercaya benar atau tidak.<br />
Pasal 176: Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tidak bebas untuk menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang mengaku itu, kecuali orang yang berutang itu dengan masksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti dengan kenyataan yang dusta.<br />
<br />
• Dalam hal menjatuhkan putusan: <br />
Pasal 178 <br />
(1) Hakim karena jabatannya, pada waktu bermusyawarah wajib mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.<br />
(2) Hakim wajib mengadili atas seluruh bagian gugatan.<br />
(3) Ia tidak diijinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari yang digugat.<br />
<br />
• Dalam hal pemeriksaan perkara di muka pengadilan:<br />
Pasal 372: <br />
(1) Ketua-ketua majelis pengadilan diwajibkan memimpin pemeriksaan dalam persidangan dan pemusyawaratan.<br />
(2) Dipikulkan juga pada mereka kewajiban untuk memelihara ketertiban baik dalam persidangan; segala sesuatu yang diperintahkan untuk keperluan itu, harus dilakukan dengan segera dan seksama.<br />
<br />
<br />
UU No. 14 Tahun 1970<br />
Tugas Hakim:<br />
Pasal 2 ayat (1): Tugas pokok daripada hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.<br />
<br />
Pasal 5 ayat (2): Dalam perkara perdata hakim harus membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.<br />
<br />
Pasal 14 ayat (1): Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan ia wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.<br />
<br />
Upaya Hukum:<br />
Sifat dan berlakunya upaya hukum berbeda tergantung apakah merupakan upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa.<br />
<br />
1.Upaya Hukum Biasa: <br />
Upaya hukum ini pada azasnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh UU. Upaya hukum ini bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. <br />
Upaya hukum biasa ini terbagi dalam:<br />
<br />
a. Perlawanan; yaitu upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat. Pada dasarnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang dikalahkan. Bagi penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan tersedia upaya hukum banding. <br />
<br />
b. Banding; yaitu pengajuan perkara kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan. <br />
<br />
c. Prorogasi; yaitu mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu persetujuan kedua belah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak wenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada hakim dalam tingkat peradilan yang lebih tinggi. <br />
<br />
d. Kasasi; yaitu tindakan MA untuk menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan tertinggi. Alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan kasasi adalah: <br />
1). Tidak berwenang atau emlampaui batas wewenang,<br />
2). Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,<br />
3). Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.<br />
<br />
2. Upaya Hukum Luar Biasa <br />
• Peninjauan Kembali; yaitu peninjauan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dengan syarat terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan oleh UU.<br />
• Derdenverzet atau Perlawanan Pihak Ketiga; yaitu perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga terhadap putusan yang merugikan pihaknya. Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa. Apabila perlawanannya itu dikabulkan, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-92220509194660440152010-07-04T17:19:00.000-07:002010-07-04T17:19:03.770-07:00Peradilan pajak / KelemahanWakil Ketua Komisi XI DPR, Merchias Markus Mekeng mengeluarkan pendapat bahwa, “kasus Gayus (Tambunan) harus jadi acuan dan kesempatan untuk memperdalam masalah yang terjadi di Pengadilan Pajak. Apakah kekalahan negara itu disebabkan suap-menyuap atau karena kelemahan perundang-undangan yang dimanfaatkan wajib pajak yang nakal.” (kompas 29/3/2010)<br />
Dualisme Kewenangan dan kekuasaan<br />
Hal pertama yang menjadi kelemahan dalam pengadilan pajak adalah dualisme kewenangan dan kekuasaan Pengadilan Pajak . Inilah yang membedakan Pengadilan Pajak dengan pengadilan umum. Kewenangan pengadilan pajak adalah memeriksa dan memutuskan sengketa pajak (pasal 31 ayat 1). Sedangkan dari kekuasaannya, pengadilan pajak merupakan pengadilan pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutuskan sengketa pajak (pasal 33). Sehingga putusan Pengadilan Pajak bersifat final and binding (putusan terakhir dan berkekuatan hukum tetap)<br />
Dalam sengketa pajak yang terjadi antara Wajib Pajak (WP) dengan pejabat yang berwenang , maka yang dapat diajukan ke pengadilan pajak adalah termasuk banding atau gugatan. Sedangkan prosedur keberatannya tidak diatur dalam UU peradilan pajak tetapi diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (KUP), yang mana disebutkan dalam pasal 25 (ayat 1) bahwa WP dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak . Itupun dengan syarat, WP harus melunasi dulu hutang pajaknya, sehingga dapat diperkenan mengajukan keberatan.<br />
Dari sini, terdapat kelemahannya;<br />
a. WP diperhadapkan pada kekuasaan dan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk memutuskan, mengabulkan seluruhnya, sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar (pasal 26 ayat 3 UU KUP) bukan pada kewenangan dan kekuasaan hakim pada Pengadilan Pajak dalam memutuskan sengketa pajak sesuai yang diatur dalam UU Pengadilan Pajak<br />
b. Dengan dualisme seperti ini, maka menjadi pertanyaan mendasar, kenapa keberatan di Direktorat Jenderal Pajak ditolak, namun pada tingkat banding sebagian besar keberatan itu diterima oleh Pengadilan Pajak?<br />
c. Bahwa keberatan pajak yang ditangani diluar peradilan pajak adalah sebuah pintu yang terbuka lebar hingga terjadinya “makelar kasus” dan suap, karena pengawasan untuk hal ini tidak diatur.<br />
Kekuasaan Kehakiman<br />
Kelemahan selanjutnya dalam Pengadilan Pajak adalah tidak dintegrasikannya Pengadilan Pajak di bawah Mahkamah Agung (MA). Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan UU Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan pengadilan satu atap di bawah MA. Kekuasaan MA hanya dibatasi menyangkut pembinaan teknis peradilan (pasal 5 ayat 1 UU Pengadilan Pajak) sedangkan urusan pembinaan organisasi , administrasi dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan yang sekarang telah menjadi Kementrian Keuangan (pasal 5 ayat 2)<br />
Posisi Pengadilan Pajak yang saat ini dibawah Kementrian Keuangan, menurut penulis akan melemahkan fungsi pengawasan dan independensi hakim dalam Pengadilan Pajak. Lembaga negara apapun dalam struktur pemerintahan suatu negara, memakai sistem checks and balances. Pengawasan internal tentu saja tidak cukup sehingga memerlukan pengawasan eksternal. Untuk itulah, lingkaran dan praktik mafia kasus dalam Pengadilan Pajak sulit untuk diputuskan karena sulitnya MA dan pengawasan eksternal lainnya masuk lebih jauh ke dalam sistem peradilan pajak.<br />
Mengenai hakim yang beracara dalam Pengadilan Pajak, menurut Kepala Sub Bagian Informasi Sekretariat Pengadilan Pajak, Jefri Wagiu, mayoritas dari 48 hakim di Pengadilan Pajak adalah mantan pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementrian Keuangan. Hakim karier yang ingin menjadi hakim Pengadilan Pajak harus mengikuti ujian negara yang diadakan Ditjen Pajak (kompas 30/3/2010)<br />
Jika demikian faktanya, maka tidak heran saat ini ada sekitar 9700-an kasus sengketa pajak yang menumpuk di Pengadilan Pajak karena faktor diatas. Barangkali, penulis menyarankan agar kedepannya, seleksi dan penerimaan calon hakim Pengadilan Pajak harus dibuka pada publik, sehingga publik dapat mengetahui dan mengukur sampai sejauh mana profesionalisme dan independensi hakim-hakim yang memutuskan sengketa pajak. Hal ini juga dapat diteruskan dengan membuka putusan Pengadilan Pajak kepada publik, mengingat Pengadilan Pajak menganut asas terbuka. <br />
Titik awal <br />
Dengan terkuaknya kasus mafia hukum yang melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Tambunan, maka menjadi titik awal untuk membenahi sistem perpajakan serta Pengadilan Pajak itu sendiri demi cita-cita reformasi birokrasi dan reformasi hukum.<br />
Reformasi Birokrasi di Kementrian Keuangan bukan hanya dititikberatkan pada persoalan remunerasi, tetapi pembinaan mental aparaturnya, pelayanan yang prima, sehingga menurut penulis, sebesar apapun gaji yang diterima, jika mentalnya seorang aparatur sudah bobrok, maka sama saja.<br />
Mengenai reformasi hukum dalam lingkup Pengadilan Pajak, seperti yang penulis sudah uraikan diatas, maka sudah saatnya mengevaluasi kembali UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, mencakup dintegrasikan kembali Pangadilan Pajak di bawah MA, perekrutan hakim yang benar-benar akuntabel, jujur dan mempunyai integritas tinggi serta kemudahan pengawasan dalam hukum acara Pengadilan Pajak.<br />
Jika kelemahan dalam UU Pengadilan Pajak ini dapat segera diatasi, maka setidaknya, kekalahan negara dalam skala besar melawan WP dapat diminimalisir. Pajak merupakan garda terdepan untuk penerimaan negara. Jika pemerintah menutup mata dengan hal ini, maka tidak heran perbandingan penerimaan pajak akan tidak berbanding lurus dengan produk domestik bruto (PDB).<br />
Kini tantangan-tantangan lain harus segera dijawab, seperti beranikah jajaran aparatur di Kementrian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak untuk memberikan pembuktian terbalik bahwa tidak ada lagi pelanggaran dan penyelewengan lainnya setelah Gayus. Kalau tidak, apa kata dunia?<br />
Salam Damai untuk Indonesia Maju!<br />
*Yustus Maturbongs, Asisten pada Ombudsman Republik Indonesia kantor Perwakilan Sulawesi Utara dan Gorontalo. Pernah mengikuti Pelatihan Penanganan Keluhan tentang Kasus Perpajakan dan Kepabeanan, Medan 13-16 Oktober 2009.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-63391266830275261762010-07-04T17:16:00.000-07:002010-07-04T17:16:05.748-07:00Konstitusi Munurut Para PakarMuh. Ridhwan Indra<br />
Suatu konstitusi juga memiliki sifat yang fleksibel (flexible) dan rigid (rigid). Akan tetapi—perlu dibatasi—fleksibel dan rigid di sini bukanlah fleksibel dan rigid yang dipandang dari sisi cara mengubahnya, tetapi dipandang dari muatannya, karena konstitusi yang bersifat fleksibel tersebut merupakan bagian dari klasifikasi konstitusi rigid. Berkenaan dengan hal ini, Muh. Ridhwan Indra mengatakan bahwa konstitusi juga bersifat fleksibel dan rigid, tetapi yang dimaksud bukanlah dari sisi cara mengubahnya, namun dilihat dari sisi materinya, apakah mudah atau sukar mengikuti perkembangan zaman. Kalau konstitusi itu dapat dengan mudah mengikuti perkembangan zaman, maka ia dikatakan bersifat fleksibel (elastis), dan jika sebaliknya berarti ia bersifat rigid.<br />
Sebagai catatan, suatu konstitusi karena berbentuk (diklasifikasikan) sebagai konstitusi rigid dalam perubahannya, ia harus memiliki sifat fleksibel (elastis) dalam materinya. Guna menghilangkan keraguan tersebut—antara pemahaman fleksibel dari sisi perubahannya dengan fleksibel daris sisi materinya—dalam tulisan ini selanjutnya akan digunakan kata elastis saja, sebagai sifat pokok atau mendasar dari materi suatu konstitusi. Indikasi sifat elastis tersebut biasanya diungkapkan dengan ungkapan “diatur dengan undang-undang”, “ditetapkan dengan undang-undang”, “diatur dalam undang-undang”, atau ungkapan “sesuai dengan undang-undang”. Semua ungkapan tersebut memiliki arti bahwa pengaturan selanjutnya diserahkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.<br />
Ringkas dan elastis merupakan sifat yang diperlukan bagi suatu konstitusi. Selain suatu konstitusi bermuatan segi-segi yang bersifat pokok, mendasar atau asas-asasnya saja, konstitusi juga harus terdiri dari muatan-muatan yang dapat dengan elastis (mudah) mengikuti perkembangan zaman, agar tetap eksis sebagai suatu UUD (Rechtsverfassung). Sebaliknya, jika konstitusi itu bersifat rigid, ia akan kaku menghadapi perkembangan yang terjadi, akhirnya ia mempunyai nilai nominal saja.<br />
Sungguhpun demikian, ada juga yang beranggapan kalau konstitusi itu terdiri dari muatan-muatan yang panjang (tidak ringkas), khususnya menurut paham kodifikasi, di mana keseluruhan masalah-masalah yang dianggap penting oleh negara harus dimasukkan ke dalam UUD. Namun, anggapan tersebut dalam perkembangan berikutnya tidak lagi dianut sepenuhnya. Adapun yang menyebabkan tidak seluruh masalah yang dianggap penting oleh negara dimasukkan ke dalam UUD sesuai dengan paham kodifikasi tersebut, menurut Muh. Ridhwan Indra, dikarenakan oleh dua faktor; pertama, disadari bahwa tidak semua yang dianggap penting dalam suatu negara merupakan suatu hal yang bersifat pokok atau mendasar; kedua, bahwa sesuai dengan nafas atau pembawaan hukum itu sendiri mengisyaratkan bahwa hukum selalu akan berubah dan berkembang menurut perkembangan zaman, apabila semua yang penting dimasukkan dalam UUD, maka UUD itu harus sering diubah, karena sesuatu yang penting bahkan sangat penting sekalipun pada suatu zaman, seringkali pada zaman yang lain seiring dengan perkembangan yang terjadi, sudah menjadi kurang penting atau bahkan tidak lagi penting sama sekali.17<br />
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, sebaiknya muatan dari UUD hanyalah hal-hal yang bersifat mendasar atau pokok saja. Adapun terhadap hal-hal yang dianggap penting meskipun kurang bersifat mendasar, upayanya kemudian dengan memasukkannya ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya. Karena peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UUD, lebih mudah untuk diubah dan dibuat sesuai dengan tuntutan zaman.<br />
Berkenaan dengan bentuknya, konstitusi dikenal mempunyai sifat tertulis dan tidak tertulis,18 dan juga bersifat derajat tinggi dan tidak derajat tinggi.19 Akan tetapi, terhadap adanya konstitusi yang bersifat tertulis dan tidak tertulis tersebut, penulis sedikit keberatan dengan dua pertimbangan. Pertama, sepakat dengan pandangan C.F. Strong, bahwa pembagian konstitusi ke dalam jenis konstitusi tertulis (written contitution) dan tidak tertulis (unwritten contitution) merupakan pembedaan yang keliru (false distinction), karena menurutnya tidak ada konstitusi yang seluruhnya tertulis maupun tidak tertulis.20 Seperti halnya Inggris, menurut sebagian pandangan tidak memiliki konstitusi tertulis, tetapi kenyataannya Inggris memiliki kontitusi tertulis, seperti Bill of Rights (1689), Parliament Acts of 1911 dan sebagainya. Kedua, adanya pembagian konstitusi ke dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis tersebut merupakan suatu klasifikasi (pembagian) dari jenis-jenis konstitusi, namun bukan merupakan sifat dari konstitusi. Dengan kata lain, penulis tidak sepakat dengan pandangan tentang adanya pembagian konstitusi ke dalam jenis tertulis dan tidak tertulis, dan jika pandangan tersebut ada, maka yang dimaksudnya adalah bentuk pembagian tetapi bukan sifat konstitusi.<br />
Hans Kelsen<br />
Menurut Hans Kelsen (ahli filsafat hukum) menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang atau bertingkat. Suatu norma hukum berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi, dan bersumber lagi pada norma hukum yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma dasa / norma yang tertinggi dalam suatu negara disebut “Grundnorm”. Jadi Grandnorm merupakan puncak dalam kesatuan tata hukum / norma-norma hukum yang berlaku disuatu negara.<br />
Hans Nawiasky (murid Hans Kelsen) mengembangkan lebih lanjut teori jenjang norma hukum disuatu negara itu berkelompok-kelompokkedalam 4 tingkat, yaitu :<br />
1.staatfundamentalnorm atau norma fundamental negara.<br />
2.staatgrundgesetz atau aturan dasar / pokok negara.<br />
3.formellgesetz atau undang-undang.<br />
4.verordnung and autonome satzung atau aturan pelaksana dan aturan otonom.<br />
Jadi menurut Hans Nawiyasky, norma hukum tertinggi dan merupakan kelompok pertama disebut staatfundamentalnorm atau fundamental negara. Notonegoro SH. Menamakan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental. Joeniarto menyebutnya sebagai norma pertama, dan Hamid S. Attamimi menyebutnya sebagai cita hukum (rechts-idee). Norma fundamental ini ditetaokan oleh masyarakat / pembentuk negara dan menjadi landasan dasar filosofi yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pembentukan norma-norma hukum dibawahnya atau bagi pengaturan negara lebih lanjut.<br />
Untuk memperjelas , perhatikan bagan perbandinga antar jenjang norma hukum diatas !<br />
<br />
<br />
<br />
Sri Soemantri<br />
Konstitusi dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri (Sri Soemantri) :<br />
- Kabinet dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dibentuk berdasarkan kekuatan yang menguasai parlemen<br />
- Anggota kabinet sebagian atau seluruhnya dari anggota parlemen<br />
- Presiden dengan saran atau nasihat Perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakan pemilihan umum.<br />
Konstitusi dengan ciri-ciri seperti itu oleh Wheare disebut “Konstitusi sistem pemerintahan parlementer”. Menurut Sri Soemantri, UUD 1945 tidak termasuk ke dalam kedua konstitusi di atas. Hal ini karena di dalam UUD 1945 terdapat ciri konstitusi pemerintahan presidensial, juga terdapat ciri konstitusi pemerintahan parlementer. Pemerintahan Indonesia adalah sistem campuran.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-59252775441764733112010-07-04T17:14:00.001-07:002010-07-04T17:14:45.241-07:00Peradilan Cepat dan Biaya RinganSejak keluarnya hukum agama sebagai dasar salah satu dari empat lembaga peradilan di Indonesia, Pengadilan Agama semakin teguh dan mantap dalam menjalankan fungsinya. Hal ini ditegaskan dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal ini.Dalam kesempatan ini penulis ingin mengemukakn satu persoalan yang menyangkut tentang proses beracara di Pengadilan Agama, yaitu bagaimanakah penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam memeriksa, menyelesaikan, dan memutus perkara perceraian yang menjadi wewenangnya, mengingat bunyi ketentuan pasal 57 ayat (3) dan pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yaitu Pengadilan Agama membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Karena hal ini tidak lain adalah untuk melindungi hak-hak para pencari keadilan di samping menambah kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan itu sendiri. Tetapi proses beracara di Pengadilan tetap tidak boleh mengurangi ketepatan dalam pemeriksaan dan penilaian terhadap hukum dan keadilan dan Pengadilan harus tetap memberi perlakuan yang sama terhadap diri setap orang di muka Pengadilan sesuai dengan asas Equality before the law. Dalam penelitian ini penulis memilih Pengadilan Agama Surakarta sebagai tempat untuk melakukan penelitian dan para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama Surakarta. Karena luasnya kompetensi absolut yang dipegang oleh Pengadilan Agama Surakarta, maka penulis membatasi penelitian hanya pada perkara perceraian saja. Untuk mendapatkan data yang valid, peulis menggunakan tekhnik pengumpulan data dngan cara interview dan observasi menggali sumber data dari pihak Pengadilan Agama Surakarta dan juga para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama Surakarta, peraturan perundang-undangan yang terkait, buku-buku kepustakaan yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama Surakarta dalam menerapkan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam memeriksa, menyelesaikan, dan memutus perkara perceraian belum sepenuhnya berjalan dengan efektif. Beberapa kendala yang menyebabkan belum terlaksananya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan di Pengadilan Agama Surakarta antara lain berasal dari pihak Pengadilan Agama sendiri dan juga dari para pihak yang berperkara. Kendala-kendala dari pihak Pengadilan Agama yaitu antara lain banyaknya perkara yang masuk dan kurangnya ruang sidang yang tersedia, adanya ketidak beresan di Pengadilan Agama sendiri yaitu adanya oknum Pegawai Pengadilan Agama yang meminta biaya kepada para pihak apabila ingin perkaranya cepat selesai. Sedangkan kendala yang berasal dari pihak yang berperkara antara lain salah satu pihak tidak hadir padahal kepadanya sudah dilakukan pemanggilan secara patut sehingga perlu dilakukan pemanggilan sampai dua kali atau lebih, para pihak yang mengemukakan alasan yang berbelit-belit sehingga hakim belum bisa menyimpulkan duduk perkaranya, para pihak tidak segera menghadirkan saksi atau alat bukti sehingga belum ada cukup bukti untuk memutuskan perkaranya, adanya kuasa hukum yang terkesan bertele-tele dalam membantu kliennya untuk menyelesaikan perkara perceraiannya serta pandangan para pihak yang berperkara tentang mahalnya berperkara dengan menggunakan jasa pengacara.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-26440291982619148022010-07-04T17:11:00.001-07:002010-07-04T17:11:44.980-07:00Batuan Hukum pajakBANTUAN HUKUM TERHADAP TERSANGKA DALAM PENYIDIKAN PERKARA PERPAJAKAN<br />
<br />
A. Latar Belakang Masalah<br />
Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara perlu terus ditingkatkan sehingga pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan kemampuan sendiri, berdasarkan prinsip kemandirian. Peningkatan kesadaran masyarakat dibidang perpajakan harus ditunjang dengan iklim yang mendukung peningkatan peran aktif masyarakat serta pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan undang-undang pajak yang demikian itu diharapkan dapat memberikan penekanan yang lebih pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat Wajib Pajak dan kepentingan negara. Keseimbangan kepentingan dimaksud berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang tidak berat sebelah atau tidak memihak, adil, serasi dan selaras dalam wujud tata aturan yang jelas dan sederhana serta memberikan kepastian hukum. Peranan sektor pajak yang menyumbang hampir delapan puluh persen pembiayaan Anggaran Pembiayaan dan Belanja Negara (APBN) yang menentukan penghidupan rakyat Indonesia, bukan dari minyak atau hasil hutan, sehingga kejahatan penggelapan atau manipulasi pajak sangat merugikan kepentingan rakyat luas. Dalam upaya untuk meningkatkan penerimaan negara tersebut diperlukan penegakan hukum atau Law Enforcement yang dijalankan secara adil dan tanpa pandang bulu, yang selalu mengedepankan supremasi hukum diatas kepentingan lainnya. Supremasi hukum pada penegakan hukum dalam meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, maka akan terkait dengan konsep negara hukum. Dalam kaitan ini konsep negara hukum yang menempatkan kekuasaan yudikatif itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri, bebas dan merdeka, yang merupakan inspirasi lahirnya negara demokrasi, dipelopori oleh Baron de Montesquieu, (1698-1755), seorang ahli hukum Perancis dan penulis filsafat tentang sej arah dan masalah kenegaraan, dalam bukunya “De l’ esprit des Lois”, tentang Konstitusi Inggris, menyebutkan perlunya kekuasaan yang terpisah yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif. Prinsip kedaulatan hukum kita wujudkan dalam gagasan Rechtsstaat atau Rule of Law serta prinsip supremasi hukum yang selalu kita dengung-dengungkan setiap waktu. Adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah: Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan; Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun; Legalitas dalam arti dalam segala bentuknya. Negara Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechts staat), demikian bunyi penjelasan Undang Undang Dasar Republik Indonesia. Kemudian UUD 1945, Pasal I ayat (3) hasil perubahan ketiga menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Demikian diatur dalam Pasal I ayat (3) UUD 1945, hasil perubahan ketiga. Penegakan negara hukum, tercermin dalam Pasal 24, Undang- Undang Dasar 1945, yang mengatur kekuasaan kehakiman, yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang yaitu Undang-Undang No. 14 tahun 1970, sebagaimana telah diubah lagi yang terakhir dengan undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Ketentuan Pasal 8 undang-undang tersebut mengatur: Setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah, sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap atau disebut juga Asas praduga tidak bersalah atau Presumption of Innocent. Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 11 ayat (1) dalam Universal Declaration of Human Rights (DUHAM). Majelis Umum PBB, melalui Resolusi No. 217 A (III), tanggal 10 Desember 1948, menyatakan: Setiap orang yang dituntut, karena disangka melakukan suatu pelanggaran pidana, dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka dan di dalam sidang itu diberikan segala j aminan yang perlu untuk pembelaannya. Pentingnya hak-hak tersangka untuk dihormati juga diatur dalam Pasal 14 dan 15 Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan telah diadopsi pada tanggal 16 Desember 1966 dan diterima dalam Sidang Umum PBB yang mengatur perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap hak-hak tersangka. Konsep mengenai Hak Asasi Manusia itu di perlakukan dalam konteks hukum nasional positif, yang dalam hal ini tidak saja merupakan ketentuan konstitusional, melainkan juga terpancar dalam TAP MPR dan Perundang¬Undangan lain, dimana UUD 1945 dan TAP MPR sebagai garis bimbingan, disamping ideologi kita Pancasila dan masing-masing agama itu dapat merupakan faktor determinant yang dapat memberi bentuk pada isi dan substansi dari konsep mengenai Hak Asasi Manusia itu sendiri. Kemudian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam sidangnya tanggal 13 Nopember 1998 mengeluarkan TAP MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang memuat perintah kepada lembaga-lembaga negara untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM dan menugaskan kepada Presiden dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen mengenai HAM. Berdasarkan TAP MPR tersebut, kemudian terbentuk Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pada Pasal 18 undang-undang tersebut yang jelas mengatur pentingnya perlindungan HAM terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana. Diberlakukannya undang-undang tentang HAM tersebut, diilhami dengan telah diterapkannya peraturan perundang-undangan tentang HAM yang telah menjadi norma hukum Internasional di belbagai negara di dunia, terutama di negara-negara maju, sebagai bentuk penghargaan atas hak-hak asasi manusia, khususnya terkait dengan perlindungan terhadap hak-hak tersangka yang diduga melakukan suatu tindak pidana, untuk mendapatkan bantuan atau penasehat hukum. Demikian sebagaimana halnya di Amerika Serikat dengan adanya Putusan Supreme Court ( Mahkamah Agung ) tertanggal 16 Juni 1966, dalam Penetapan Miranda Ys. Arizona, yang Membatalkan Putusan Pengadilan sebelumnya dan Memerintahkan Penyidik untuk Mengulang Proses Penyidikan kasus tersebut, karena hak-hak tersangka atau terdakwa tidak dipenuhi sesuai dengan Amandemen kelima Konstitusi Amerika Serikat. Sejak saat itu berlaku asas yang dikenal dengan Miranda Warning dan telah menjadi praktek Polisi Penyelidik atau Penyidik untuk membacakan hak-hak tersangka. Inti asas ini adalah seseorang yang dituduh dan akan diperiksa karena diduga melakukan suatu tindak pidana, Polisi harus lebih dahulu memberitahu hak-hak tersangka. Namun salah satu problematika hukum terbesar di Indonesia adalah permasalahan implementasinya, meskipun Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM, membuat beberapa aturan perundang-undangan yang mengatur mengenai HAM, melakukan amandemen konstitusi yang menurut prinsip-prinsip HAM tetapi masih saja aturan-aturan tersebut bersifat normatif, pelaksanaan dan implementasi HAM tidak boleh hanya di atas kertas belaka namun harus berwujud melalui implementasi kebijakan, pola pikir, gaya hidup, cara pandang dan penegakkan hukum. Menurut pendapat Luhut M.P. Pangaribuan: Pengalaman menunjukkan bahwa pencari keadilan belum merasa terayomi oleh hukum karena proses peradilan yang terlaksana belum mampu mewujudkannya. Dalam banyak hal sangat mengecewakan bahkan mulai ada kecenderungannya untuk menjauhkannya. Bila ditelaah sesungguhnya banyak penyebabnya, termasuk demoralisasi yang terus menerus pada aparatur penegak hukum, namun bila di generalisasikan adalah karena asas peradilan cepat, mudah dan sederhana, serta jujur, imparsial dan obyektif belum bisa secara terus menerus dilakukan dan dipertahankan. Kedudukan penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan pada tingkat penyidikan, terbatas hanya melihat serta mendengar atau Within Sight and Within Hearing. Ketentuan Pasal 115 ayat (1) undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), masih bersifat fakultatif, ada kecenderungan penyidik tidak memperhatikan hak tersangka akan haknya memperoleh bantuan hukum atau disediakan penasihat hukum bagi yang terkena dalam pengaturan Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Keberadaan penasihat hukum masih di curigai sebagai orang-orang yang mengganggu kelancaran pemeriksaan. Logika hukum masyarakat belum terbiasa menerima, mengapa orang yang melakukan kejahatan harus dibela, akibatnya sering penasehat hukum harus menerima caci maki, disini masyarakat belum memahami bahwa walaupun seorang itu dicap sebagai penjahat, namun hak-haknya secara hukum harus tetap dilindungi, termasuk berhak untuk mendapat bantuan hukum. Keberadaan penasihat hukum bisa mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan besar sekali manfaatnya, apalagi bagi tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, paling tidak mencegah penyidik melakukan tekanan atau pelecehan baik secara fisik ataupun secara mental dan membuat suasana pemeriksaan lebih manusiawi dan dari segi psikologis, kehadiran penasihat hukum dalam pemeriksaan, mendorong tersangka lebih berani mengemukakan kebenaran yang diyakininya. Kata dapat didampingi, bisa juga diartikan, tidak dapat didampingi, seolah-olah tergantung belas kasihan pejabat penyidik. Dengan demikian agar ketentuan dapat didampingi konsisten dan konsekwen dengan asas keseimbangan antara kepentingan tersangka dengan kepentingan umum, serta keseimbangan antara penegakan hukum dan pelaksanaan wewenang dengan kepentingan perlindungan hak asasi tersangka, seyogyanya bersifat hak dengan pengecualian terbatas. Demikian pula ketentuan Pasal 72 KUHAP yang menyatakan: Atas permintaan tersangka atau penasihat hukum, pejabat yang bersangkutan memberikan Salinan Berita Acara Pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya, pada prakteknya sering diabaikan. Hambatan dan kesulitan secara umum pada pemeriksaan penyidikan, yaitu tidak adanya keseimbangan kedudukan dan persamaan derajat antara penyidik dan penasihat hukum. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 115 dan Pasal 72 KUHAP yang bersifat himbauan, sehingga yang terjadi adalah adanya kecenderungan perlakuan yang bersifat diskriminatif. Perlakuan penyidik terhadap satu tersangka atau penasihat hukum bisa berbeda dengan perlakuan terhadap tersangka atau penasihat hukum yang lain. Terhadap pelanggaran ini, pengadilan sering kali bersikap toleran atas alasan demi melindungi kepentingan umum dengan mempergunakan landasan, hak siapa yang lebih diutamakan, hak individu tersangka atau hak kepentingan umum. Dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, belum ada kebijakan baku dari lembaga penegak hukum mengenai parameter yang dapat diajadikan alasan kuat dan masuk akal untuk menentukan, apakah tersangka atau terdakwa memenuhi persyaratan untuk dilakukan penahanan, sampai ada putusan pengadilan yang final. Dalam mengembangkan kebijakan penahanan perlu diperhatikan due process of law khususnya asas praduga tidak bersalah dan memperlakukan seorang tersangka secara lebih manusiawi dan tidak diperlakukan seolah-olah sudah terbukti bersalah, serta tidak membuat nama baik dan integritasnya dilanggar sebelum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).<br />
Dalam penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang pelaksanaannya mengacu pada ketentuan KUHAP, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan direktorat jendral pajak, diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan di bidang pajak. Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Penyidik PNS) Pajak berbeda dengan wewenang Penyidik Polri, yaitu adanya kewenangan lain yang dimiliki Penyidik PNS Pajak adalah untuk mencari dan mengumpulkan keterangan atau laporan dan kewenangan untuk meminta keterangan dan barang bukti dari orang-orang pribadi atau badan, dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perpajakan. Kewenangan ini menyiratkan adanya inisiatif dari pihak Penyidik PNS pajak, dituntut untuk aktif tidak hanya mengumpulkan keterangan agar menjadi lebih lengkap dan jelas, tetapi juga sudah melangkah lebih maju yakni meneliti kebenaran. Sehingga pada proses penyidikan dengan melakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan, Penyidik PNS pajak sudah memperoleh alat-alat bukti yang diperlukan sebagaimana halnya ditemukannya barang bukti, pada penyidikan tindak pidana Psikotropika. Hal ini membuat penyidik merasa memiliki posisi yang sangat dominan, yang seringkali proses pemeriksaan penyidikan, tidak didampingi oleh penasihat hukum tersangka, dengan alasan bahwa barang bukti sudah diperoleh, hingga tidak diperlukan lagi kehadiran penasihat hukum. Kalaupun diperlukan semata-mata untuk mendampingi hanya dalam persidangan di pengadilan, bahkan seringkali kehadiran penasihat hukum baru ada setelah berita acara pemeriksaan (BAP) dibuat atau tidak hadir pada saat dibutuhkan.<br />
Demikian pula pada penyidikan tindak pidana di bidang pajak, kehadiran penasihat hukum dianggap akan mengganggu proses penyidikan dan pengembangan penyidikan yang tengah berlangsung. Tindak pidana perpajakan tidak mungkin bisa dilakukan oleh seorang pelaku saja. Berbeda dengan tindak pidana Psikoterapika, yang bisa dilakukan oleh seorang pelaku yang tertangkap tangan kedapatan membawa barang bukti. Oleh karena itu, untuk melakukan tindak pidana pajak, seperti dalam kasus penggelapan pajak tidak mungkin dilakukan oleh seorang saja karena merupakan tindak kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok orang, yang mempunyai peran masing-masing, berbeda antara yang satu dengan yang lainnya seperti yang melakukan, menyuruh melakukan, turut serta atau membantu melakukan tindak pidana tersebut. Didalam praktek penyidik punya kecenderungan membatasi informasi atau keterangan yang sudah diperoleh untuk tidak menyampaikan kepada pihak lain, termasuk tidak segera menyerahkan berkas secara lengkap kepada penuntut umum, kecuali pada hari-hari terakhir masa penyidikan habis Waktunya. Pada saat proses penyidikan masih berlangsung seperti dalam hal belum tertangkapnya semua pelaku tindak pidana, sehingga di khawatirkan kejahatan tersebut sulit untuk diungkap secara komprehensif. Untuk mengungkap kejahatan di bidang perpajakan, seperti dalam mengumpulkan keterangan dan barang bukti, kemudian menganalisanya, diperlukan data yang begitu banyak dan rumit, sehingga memerlukan waktu yang tidak sedikit. Hal ini bertambah kompleks bila tersangka ditahan, menurut KUHAP batas waktu penahanan sudah ditetapkan yaitu dua puluh hari oleh penyidik di tambah empat puluh hari atas ijin penuntut umum, yang keseluruhannya menjadi enam puluh hari saja. Di dalam prakteknya, terdapat perbedaan antara keinginan pembuat undang-undang yang ingin memberi perlindungan terhadap tersangka di satu pihak, dan perlakuan yang diberikan oleh Penyidik PNS di bidang perpajakan dilain pihak. Perbedaan tersebut dapat terlihat di dalam penyidikan tindak pidana pajak, dengan mengambil contoh kasus bantuan hukum yang diberikan kepada tersangka dalam penyidikan pajak. Tersangka dalam kasus tersebut adalah karyawan PT. CRP yang berkedudukan di Jakarta, yang diduga telah melakukan tindak pidana penggelapan pajak. Perkara tersebut ditangani oleh Penyidik PNS Pajak pada Direktorat Intelejen dan Penyidikan, Direktorat Jendral Pajak, Departemen Keuangan Republik Indonesia.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-24155227146504458862010-07-04T17:03:00.000-07:002010-07-04T17:03:37.563-07:00Asas - asas Hukumasa-asas hukum di indonesia itu bermacam-macam : ..<br />
kalo menurut humu acara perdata :<br />
A. Asas Kebebasan Hakim<br />
B. Hakim Bersifat Menunggu<br />
C. Peradilan Terbuka Untuk Umum <br />
D. Asas Hakim Bersikap Pasif ( Tut Wuri )<br />
E. Asas Kesamaan ( Audi et Alteram Partem)<br />
F. Asas Obyektivitas<br />
G. Putusan Disertai Alasan<br />
H. Tidak ada keharusan untuk mewakilkan <br />
I. Beracara Dikenakan Biaya<br />
J. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa<br />
K. Peradilan dilakukan dengan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan<br />
<br />
kalo menurut hukum acara pidana :<br />
1. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan<br />
2. Presumption of innocent<br />
3. Equality before the law<br />
4. Pengadilan terbuka untuk umum kecuali diatur UU<br />
5. Sidang pengadilan secara langsung dan lisan<br />
6. Asas Akusatoir bukan Inkusatoir (pelaku sebagai subjek bukan objek)<br />
7. Asas Legalitas dan Oportunitas (sebagai pengecualian)<br />
8. Tersangka/ terdakwa wajib mendapatkan bantuan hukum<br />
9. Fair Trial (pengadilan yang adil dan tidak memihak)<br />
10. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap<br />
11. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dengan perintah tertulis<br />
12. Ganti rugi dan rehabilitasi<br />
13. Persidangan dengan hadirnya terdakwaMuhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-74203854288819491102010-07-04T16:59:00.001-07:002010-07-04T16:59:57.829-07:00Asas dalam acara PTUNAsas dalam Hukum Acara PTUN<br />
<br />
• “Asas praduga rechtmatig (benar menurut hukum, presumptio iustea causa), asas ini menganggap bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap berdasarkan hukum (benar) sampai ada pembatalan. Dalam asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU No.5 tahun 1986);<br />
• “Asas pembuktian bebas”. Hakimlah yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan 1865 BW (lihat Pasal 101, dibatasi ketentun Pasal 100;<br />
• ”Asas keaktifan hakim (dominus litis)”. Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak berimbang (lihat Pasal 58, 63, ayat (1) dan (2), Pasal 80 dan Pasal 85)<br />
• ”Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat (erga omnes)”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa;<br />
• dan asas-asas peradilan lainnya, mislny : asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, obyektif.<br />
• “Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem)”, para pihak mempunyai kedudukan yang sama;<br />
• “Asas kesatuan beracara” (dalam perkara yang sejenis);<br />
• “Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas” (Pasal 24 UUD 1945 Jo.Pasal 1 UU No. 4 2004);<br />
• “Asas sidang terbuka untuk umum”~putusan mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 70 UU PTUN);<br />
• “Asas pengadilan berjenjang” (tingkat pertama (PTUN), banding (PT TUN), dan Kasasi (MA), dimungkinkan pula PK (MA);<br />
• “Asas pengadilan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium)”, sengketa sedapat mungkin diselesaikan melalui upaya administrasi (musyawarah mufakat), jika belum puas, maka ditempuh upaya peradilan (Pasal 48 UU PTUN);<br />
• “Asas obyektivitas”, lihat Pasal 78 dan 79 UU PTUN).<br />
• Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-53643433065546706882010-07-04T16:53:00.001-07:002010-07-04T16:53:44.667-07:00Hak kekayaan IntelektualHak Kekayaan Intelektual<br />
Latar belakang<br />
''Hak atas Kekayaan Intelektual'' (HaKI) merupakan terjemahan atas istilah ''Intellectual Property Right'' (IPR). Istilah tersebut terdiri dari tiga kata kunci yaitu: ''Hak'', ''Kekayaan'' dan ''Intelektual''. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat: dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Sedangkan ''Kekayaan Intelektual'' merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. Terakhir, HaKI merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas Kekayaan Intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku. <br />
``Hak'' itu sendiri dapat dibagi menjadi dua. Pertama, ``Hak Dasar (Azasi)'', yang merupakan hak mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat. Umpama: hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keadilan, dan sebagainya. Kedua, ``Hak Amanat/ Peraturan'' yaitu hak karena diberikan oleh masyarakat melalui peraturan/perundangan. Di berbagai negara, termasuk Amrik dan Indonesia, HaKI merupakan ''Hak Amanat/Pengaturan'', sehingga masyarakatlah yang menentukan, seberapa besar HaKI yang diberikan kepada individu dan kelompok. Sesuai dengan hakekatnya pula, HaKI dikelompokkan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (intangible). <br />
Terlihat bahwa HaKI merupakan Hak Pemberian dari Umum (Publik) yang dijamin oleh Undang-undang. HaKI bukan merupakan Hak Azazi, sehingga kriteria pemberian HaKI merupakan hal yang dapat diperdebatkan oleh publik. Apa kriteria untuk memberikan HaKI? Berapa lama pemegang HaKI memperoleh hak eksklusif? Apakah HaKI dapat dicabut demi kepentingan umum? Bagaimana dengan HaKI atas formula obat untuk para penderita HIV/AIDs? <br />
Tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Pada gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan hakekatnya pula, HaKI dikelompokkan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (intangible). <br />
Undang-undang mengenai HaKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo, dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HaKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya konvensi Paris untuk masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian konvensi Berne 1886 untuk masalah Hak Cipta (Copyright). <br />
Paham Para Ahli<br />
Prof.Dr.Ir. Rahardi Ramelan<br />
<br />
Sebagai pengantar sekaligus membuka cara workshop “Kreatifitas, HaKI dan Hak Azasi Manusia”, Rahardi Ramelan selaku chairman CSDT kembali menegaskan bahwa salah satu tuntutan dari reformasi adalah perbaikan dalam sistem hukum yang dapat menjamin keadilan dan HAM. Berkaitan dengan thema workshop, salah satu satu tuntutan dari penegakan sistem hukum yang berkaitan langsung dengan penyelengaran HAM adalah hak untuk pengembangan kratifitas di dalam masyarakat. Sedangkan untuk mendorong pengembangan kreatifitas ini perlu ada jaminan hukum atas karya yang dihasilkan oleh kreatifitas itu sendiri, dan itulah yang kemudian disebut dengan HaKI.<br />
Keberadaan HaKI pada dasarnya bukan wacana baru, tapi kemudian menjadi asing ketika proses sosialisasi tentang HaKI ini masih relatif rendah. Masalah dalam industri musik di Indonesia, persoalan meniru merek dagang, masih relatif rendahnya aplikasi paten atau persoaan pelanggaran HaKI dalam vidio compact dist semua adalah contih dan bukti ada persoalan dalam dalam perlindungan atas kekayaan intelektual ini. Maka workshop ini diharapkan dapat mengangkat isu-isu HaKI ini kepermukaan sembari mencatat persoalan HaKI lainnya. Hasil worksop ini kemudiaan diharapkan dapat dijadikan referensi dalam melihat persolan HaKI di negara kita serta sekaligus menjadi promosi bagi HaKI itu sendiri.<br />
<br />
Iskandar Alisyahbana<br />
Pada worksop ini Iskandar Alisyahbana merupakan Keynote Speaker dan mengambil tema “Development as Freedom”. Beliau juga adalah staf Ahli CSDT.<br />
<br />
Dengan mengunakan isilah “budidaya-baru” Alisyahbana menjelaskan betapa pentingnya pengembangan dalam arti seluas-luasnya daya kreatifitas yang tersedia pada masyarakat. Kemampuan untuk mengoptimalkan potensi kreatifitas ini adalah suatu yang given dan merupakan hak azasi dari manusia. Sangat tidak arif jika kemudian itu dibatasi atau dihalang-halangi, kratifitas memberi ruang untuk berkompetisi dan berapresiasi seiring dengan perkembangan fikir manusia. <br />
Pada proses selanjutnya seiring dengan meningkatnya kreatifitas masyarakat dan dipengaruhi oleh teori ekonomi pasarnya Adam Smith, muncul konsep hak atas kepemilikkan karya intelektual. Konsep ini kemudian di Undang-Undangkan. Penjaminan atas hasil karya intelektual ini dimaksudkan untuk meransang pertumbuhan kreatifitas, menjamin kepemilikan suatu hasil kreatifitas serta menjadikan hasil kreatifitas intelektual memiliki nilai pasar dalam artian ekonomis tersendiri.<br />
Pada tataranini Iskandar Alisyahbsana melakukan kritikan. Pelaksanaan UU paten dan copyright telah membuka jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin atau antara negara kaya dengan negarta miskin serata kecendrungan munculnya prilaku monopoli oleh sekelompok orang atau kelompok tertentu. Kemudian dengan melemparkan pertanyaan apakah dengan perkembangan zaman yang memasuki globalisasi serta peradapan knowledge, masih perlukah mempertahankan keberadaan sistem panten atau copyriht. Mempertajam kritikan, Alisyahbana memberi contoh beberapa tokoh intelektual yang memberikan kritikan serupa atas penerapan teori ekonomi pasar bagi kekayaan intelektual ini. Salah satu kritikan yang datang adalah dari seorang pemikir dari kampus MIT, Richard Stall. Ia mendirikan The Free Sfotware Movement, disini semua orang dibebaskan serta diransang untuk memanfaatkan software. Mereka dipersilahkan untuk meng-copy, mengubah atau memperbaiki sebuah software. Pemikiran ini memandang dengan semakin banyak orang memanfaatkan ( karena suatu karya intelektual diciptakan untuk meningkatkan harkat manusia ) maka semakin cepat tumbuh serta berkembangnya suatu ilmu. Ketika suatu hasil karya intelektual dinikmati oleh banyak orang bukan berarti menurunkan nilai krteatifitas yang dimunculkan dari karya tersebut. Bahkan sebaliknya, banyak hasil karya intelektual tidak dapat dimanfatkan oleh masyarakat, contoh ketika obat vaccine ditemukan ternyata tidak dapat membantu masyarakat miskin pada daerah tropis, karena nilai paten yang ada pada obat tersebut. Akhirnya, Alisyahbana mengajak intelektual sadari dari keangkuhan intelektual dan mengajak untuk melakukan pencerahan kepada teori ekonomi pasarnya Adam Smith.<br />
<br />
A.Zen Umar Purba.<br />
Pembicara adalah Dirjen Hak atas Kekayaan Intelektual, Departemen Perundang-undangan dan HAM. Pada workhsop ini ia membawa makalah dengan tema “Peran HaKI dalamm Menumbuhkan Kreatifitas Usaha”.<br />
<br />
Menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh Rahardi Ramelan pada awal acara, A.Zen mencoba memaparkan perkembangan HaKI pada kondisi kekinian terutama dalam menyoroti kesiapan sistem perundang-undangan dalam mendorong dan melindungi karya intelektual serta peluang untuk melakukan promosi HaKI ke depan.<br />
Memasuki tahun 2000 HaKI telah bergulir secara resmi dalam koridor globalisasi,artinya pengakuan hukum disatu negara secara konseptual tidak berbeda dari yang ada di negara lain. Begitu juga dengan ruang lingkup HaKI mengalami perkembangan, HaKI tidak lagi hanya mengurusi hak atas cipta, paten dan merek tapi sekarang telah meliputi hak atas desain industri, tata letak sirkit terpadu seperti rahasia dagang dan industri geografis. Hal ini sejalan dengan penataan HaKI dalam wadah World Trade Organization ( WTO ), yang didalamnya juga terlampir Agreement ontrade Realated of Intelectual Property ( Persetuan TRIPs ). Kenyataan ini yang nantinya mendorong untuk perlu melakukan ratifikasi terhadap perundang-undangan HaKI ( UU hak cipta, UU paten dan merek )di Indonesia. Ratifikasi ini kemudian diharapkan dapat memacu kreatifitas, kerena dengan perbaikan sistem perundang-undangan berarti terjamin hak kepemilikan yang akhirnya melahirkan hak serta kewajiban bagi pemiliknya.<br />
Melihat perkembangan sistem perundang-undangan HaKI di Indonesia, A.Zen menjelaskan bahwa undang-undang HaKI merujuk pada peran HakI sebagai pendukung kegiatan untuk menghasilkan karya-karya intelektual.Hal ini dapat terlihat nyata pada implementasi UU No 6 tahun 1989 trentang hak paten, UU No 13 tahun 1997 yang memberi perlindungan hukum yang semakin efektif terhadap perkembangan kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi atau UU No 19 tahun 1992 dalam kaitannya dengan merek.Sebagai sebuah perundang-undangan, UU HaKI mengatur tentang ruang lingkup karya intelektual ( hak dan kewajiban ), tata cara mendapatkan HaKI termasuk pendaftaran HaKI secara internasional, jangka waktu perlindungan serta prosedur pemeriksaan. Terobosan baru yang juga dilakukan adalah tersedianya paten sederhana bagi hasil karya kreatif yang tidak berteknologi tinggi. Untuk paten sederhana ini persyaratannya lebih ringan dan jangka waktu perlindungan juga tidak begitu lama. <br />
Untuk melindunggi HaKI ini, UU HaKI telah mengatiur sangsi hukum bagi pelanggar dan diperkenalkannya sistem Penyelidikan Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ), yang bertugas membantu penegakan HaKI.<br />
Berhubungan dengan misi dari Dirjen HaKI dalam mempromosikan HaKI, narasumber melihat bahwa permintaan paten lokal masih tergolong rendah sekitar 2,4% dan 2,36 permintaan paten sederhana. Rendahnya permintaan paten ini pada dasarnya gejala global, tetapi melihat jumlah penduduk yang banyak dan ketergantungan akan produk asing tinggi menjadikan ini persoalan tersendiri bagi Indonesia. Peluang besar bagi kita justru dengan mengedepankan kekayaan hayati, dan ini menmjad lahan bagi peneliti untuk segera dipatenkan. Melihat banyak sumber hayati ini menjadi rujukan bagfi pihak luar untuk kepentingan penelitian. Persoalan lain adalah masih lemahnya pemahaman HaKI, sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Rahardi bahwa masyarakat kita masih belkum menghargai HaKI, contoh persoalan peniruan merek. Kita sering mendapat kritikan dari pihak luar negeri. Kepercayaaa untuk menggunakan merek dalam negeri masih kurang, ini sebetulnya seiring dengan gejala dari konsumen yang cenderung konsumtif dan memilih-milih. Belum lagi persoalan pembajakan kaset yang semakin hari semakin terbuka dan seakan-akan legal, tapi banyak aspek ang perlu dibahas ketika mencermati berbagai persoalan ini.<br />
<br />
<br />
Josh Luhukay<br />
Mewakili dari para praktisi Software Computer, Josh Luhukay tampil dengan makalah “HaKI Perananya dalam Industri Perangkat Lunak”.<br />
<br />
Pada awal paparannya Josh Luhukay menjelaskan perbedaan antara hak paten dengan copyright dalam konteks industri perangkat lunak. Hak paten terletak pada algoritma, sedangkan penerapan dari algoritma adalah copyright. Oleh karena itu algoritma dapat dipatenkan sedangkan penerapan dari algoritma (copyright) tidak bisa. Sebagai contoh pengembangan pada microsof, microsof tidak dapat disebut copyright tapi berhak atas paten.<br />
Kerumitan menetapkan suatu hasil karya pada industri perangkat lunak ini berhak memiliki copyright atau tidak sejalan dengan cepat dan panjangnya proses pengembangan pada industri perangkat lunak itu sendiri. Akibatnya copyright sering dipertentangkan dan ketika memasuki proses hukum kembali terganjal kepada proses itu kembali.<br />
Untuk menjelaskan perkembangan industri perangkat lunak di Indonesia, Josh Luhukay melihat masih terfokus pada proses aplikasi atau integrasi. Pengembangan itu sendiri masih banmyak mengabaikan HaKI. Persoalannya disini adalah UU HaKI masih banyak berfihak pada dan menguntungkan orang lain. Sejalan dengan pemikiran A. Zen proses sosialisasi dan memperbanyak promosi HaKI merupakan agenda kedepan yang mendesak. Sosialisasi dapat dilakukan di sekolah-sekolah atau kampus yang notabene adalah kelompok pontensial dalam pengembangan ilmu seperti perangkat lunak. Strategi ini dapat dimulai dengan menyediakan wadah bagi pengembang untuk sharing dan mendorong industri perangkat lunak berkadar profesional tidak terlalu komersial.<br />
<br />
<br />
<br />
Mawarwati Djamaluddin,Diplom.Pharm.<br />
Narasumber adalah Sekretaris Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan RI. Dalam workhsop ini membawa makalah “ Peran HaKI dalam Industri Obat-Obatan dan Makanan “.<br />
<br />
Melihat peran HaKI dalam industri obat-obatan dan makanan ada dua pertanyaan menarik yang dikedepankan oleh narasumber. Pertama, Sejauh mana penerapan HaKI bagi industri farmasi nasional serta sejauh mana industri farmasi nasional telah memanfaatkannya. Kedua, Bagaimana peran HaKI dalam industri farmasi nasional ancaman atau peluang.<br />
Industri farmasi di Indonesia sebahagian besar merupakan industri manufaktur farmasi yang berorientasi pada formula obat jadi, dan untuk kebutuhan tersebut masih tergantung pada bahan bak dari impor. Lemahnya industri Litbang di Indonesia dikarenakan tingginya biaya untuk melakukan penelitian. Disamping itu cepatnya propses pengembangan produk baru yang nantinya akan membawa konsekwensi pada prilaku pasar juga kendala tersendiri dalam industri Litbang. Adapun peluang untuk bersaing dengan pihak luar yang memang padat modal adalah pada pengambangan obat tradisional yang bahan bakunya tersedia di Indonesia.<br />
Sejalan dengan A.Zen, Mawarwati menjelaskan lebih tajam lagi bahwa kekayaan habayati dimana tercata lebih kurang 30.000 jenis tanaman dengan komposisi 940 species telah ditemuka khasisatnya dan sekitar 180 species telah diramu menjadi obat tradisional. Ini merupakan modal untuk peneliti lokal dalam bersaing dalam dunia farmasi. Peluang ini semakin memperlihatkan kondisi yang menjanjikan terutama ketika ada kecendrungan global hari ini untuk “back to nature”. Dimana masyarakat lebih banyak memilih pengunaan obat-obat tradisional untuk menghindari efek-efek negatif dari pengunaan obat biasa. Meskipun mesti disadari kecendrunga pasar ini sekaligus tantangan bagi penemu lokal, banyak peneliti luar sekarang berlomba-lomba mencari kandungan yang terdapat pada kekayaan hayati. Sebagai contoh saja sekarang seorang peneiti Amerika Serikat dan seorang peneliti Jepang telah menemukan dan mempatenm hasil temuannya manfaat dari Kunyit dan Mangkudu ( Pece ) bagi pencegashan kangker serta penghambar berkembangnya virus HIV.<br />
<br />
Rinto Harahap<br />
Seorang pencipta lagu, ketua Asosiasi Musik Indonesia dan konsen memperjuangkan perlindungan bagi para pencita lagu.<br />
<br />
Berbeda dengan Alisyahbana, Rinto Harahap sebagi wakil dari kalangan seniman ( pencita lagu ) menjelaskan bahwa keberadaan HaKI dengan segala perangkar perundang-undanganya merupkan sesuatu yang ditungu-tunggu dan berharapo perlu didukung oleh semua pihak. Sosialisasi HaKI dilihat dari lamanya konsep ini seharusnya sudah sampai pada titik pemahaman, baik oleh penegak hukum yang akan mengawasi berjalannya hukum, atau oleh masyarakat sebagai konsumen maupun oleh pencipta itu sendiri sebagai orang yang mempunyai hak atas suatu karya.<br />
Kewtiga elemen ini selama ini lemah. Masyarakat lebih bangga membeli kaset banjakan dibandingkan yang original, dan memang harganya lebih murah. Perdagangan kaset bajakan belakangan ini justru semakin banyak dan terang-terangan. Aparat keamanan serta perangkat penegak hukum lainnya terlihat masih lamban dalam mengatasi kasus-kasus pembanjakan. Dari 160 kasus 99% diantaranya hanya diberi hukum percobaan. Pada hal menurut undang-undang setiap pembnajak akan diberi hukuman 7 bulan penjara serta denda 100 juta. Penertipan penjual kaset bajakan terpaksa dihentikan hanya karena orang ang menjual adalah rakyat kecil, yang secaa tidak sengaja kita telah mendidik masyarakat untuk melanggar hukum dan tidak sadar hukum. Tidak jauh berbeda dengan kedua elemen di atas para pencipta lagu pun banyak yang tidak paham dan mengerti dengan hak yang dimilikinya. Contoh di Jepang royalty atas karya Gesang dari tahun 1950 sampai 1974 saja sudah terkumpul sebanyak 500 US dollar, tapi itu tidak bisa diambil karena Gesang tidak tercatat sebagai anggota asosiasi tersebut. <br />
Dengan kembali menekankan perlunya penegakan HaKI, untuk memajukan musik nasional yang akhir-akhir ini telah mampu menembus pasar internasional, Rinto Harahap menutup paparannya. <br />
<br />
<br />
Syamsul (Masyarakat HaKI, Pembajakan Hak Cipta dan Pornografi Indonesia)<br />
Banyaknya pembajakan dan meniru karya orang lain jelas pelanggaran atas HaKI yang secara tidak kita sadari sering dipertontonkan dihadapan umum. Lemahnya pemahaman ini membuktikan pemahaman serta penghargaan masyarakat terhadap hasil karya sangat minim. Kondisi ini diberburuk dengan prilaku aparat keaman yang tidak bermoral dalam menegakan hukum. Munculnya pendeking-pendeking sudah menjadi rahasia umum dan merupakan penyakit bangsa ini. Artinya, marak dan semakin banyaknya kreatifitas masyarakat tidak sebanding atau tidak diiringi dengan membaiknya supremasi hukum.<br />
<br />
Zen Umar <br />
1. Masalah HaKI bisa masuk disemua dimensi kehidupan, intelektual tidak hanya berupa hasil kerja seseorang tetapi berhubungan dengan nilai-nilai dan cita-cita luhur serta itu bahagian dari sesuatu yang kondrati. Tetapi bukan berarti kita terjebak dengan pemikiran yang dilontarkan oleh Alisyahbana. Perlindungan terhadap kekayaan intelektual itu sangat perlu, setiap orang memiliki potensi untuk mengembangkan pemikiran melalui karya-karya intelektualnya tapi tidak semua orang sangup mengembangkan dan tergantung pada usaha maka bagi mereka yang berusaha wajar jika memperoleh perlindungan atas usaha kreatifitas yang dikembangkannya.<br />
2. Mengusulkan bagaimana untuk setiap makanan perlu diberlakukan sertifikat halal, karena makanan halal pasti sehat tapi belum tentu makanan yang sehat itu halal.<br />
3. Sistem pendaftaran HaKI diubah karena banyak para “kreativator” kita yang berpendidika rendah sehingga hambatan teknis untuk memperoleh HaKI, ini trjadi seperti kasus Gesang.<br />
4. Advokasi perlu dilakukan untuk sosialisasi peningkatan pengetahuan kepada masyarakat, pengusaha kecil dan menengah.<br />
<br />
<br />
<br />
Heliarti (Institut Teknologi Bandung)<br />
1. Tujuan dari HaKI adalah bagaimana terjadi pemerataan pada sosial welfare. Untuk itu sebaiknya HaKI di Indonesia bukanlah sebagai sesuatu yang independen tapi sebagai satu rangkaian dari seluruh sistem ekonomi. Oleh karena itu perlu dikembangkan sistim HaKI yang majemuk dalam kaitannya pada seluruh sistem ekonomi, jadi keduanya bukan dua hal yang terpisah.<br />
2. Maka perlu dibuat suatu unit manajemen yang membantu pengelolaan aset kekayaan intelektual bangsa, seperti pemungutan royalty, proteksi, membisniskan dan lain-lain. Sehingga untuk urusan tersebut bukanlah tangung jawab peneliti itu sendiri.<br />
3. Kekayaan intelektual domistik menjadi aset pembangunan nasional.<br />
4. HaKI tanpa enterpreneurship tidak ada apa-apanya<br />
5. Perlu dibuat Insurance Technology<br />
<br />
<br />
<br />
Syam (Fakultas Hukum UNAS)<br />
1. Undang-Undang HaKi sebagai perangsang kreativitas mengacu pada dua akses kreativitas:<br />
1. Kreativitas Shadow<br />
2. Kreativitas Tiruan/ Mimesis<br />
2. Kreativitas Mimesis ini sering mengarah pada peniruan atas sesuatu yang telad ada sebelumnya tapi tidak mengikuti standar prosedur/izin yang ada. Ini artinya para intelektuak kita banyak yang tidak memperdulikan kode etik.<br />
3. Bagimana kalau setiap makanan menggunakan sertifikasi halal? Karena setiap makanan yang halal pasti sehat sementara makanan yang sehat belum tentu halal.<br />
4. Bagaimana kalau sistem pendaftaran HaKi diubah? Karena banyak para “kreativator” kita yang tidak memiliki tingkat pendidikan yang cukup sehingga hasil kretivitas mereka mengalami hambatan teknis untuk measuk dalam lingkup lembaga HaKI, seperti kasus ATP dan gesang.<br />
5. Sosialisasi serta peningkatan pengetahuan dan pemahaman akan Haki perlu dilakukan kepada masyarakat, pengusaha kecil dan menengah<br />
<br />
Aris <br />
1. Saat ini kita perlu memasyarakatkan penemuan-penemuan yang nantinya diharapkan dapat merangsang penemuan-penemuan baru di Indonesia<br />
2. Institute penemuan Indonesia perlu didirikan di THC sekaligus pemberian gelar penemu. Hal ini perlu dilakuakn dalam rangka menstimulan kretivitas penemuan-penemuan baru<br />
3. Perlu membuat Website Hak-hak Paten yang ada di Indonesia secara on line<br />
4. Kita juga perlu menerbitkan buku-buku penemuan baru dari tingkat SD s/d Universitas dengan tujuan yang sama dengan sebelumnya<br />
5. Event-Event atau festival-festival penemuan-penemuan terbaru perlu diangkatkan<br />
<br />
Aneka Ragam HaKI<br />
• Hak Cipta (Copyright). Berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta: <br />
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. <br />
• Paten (Patent). Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten: <br />
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. <br />
Berbeda dengan hak cipta yang melindungi sebuah karya, paten melindungi sebuah ide, bukan ekspresi dari ide tersebut. Pada hak cipta, seseorang lain berhak membuat karya lain yang fungsinya sama asalkan tidak dibuat berdasarkan karya orang lain yang memiliki hak cipta. Sedangkan pada paten, seseorang tidak berhak untuk membuat sebuah karya yang cara bekerjanya sama dengan sebuah ide yang dipatenkan. <br />
• Merk Dagang (Trademark). Berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek: <br />
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. <br />
Contoh: Kacang Atom cap Ayam Jantan. <br />
• Rahasia Dagang (Trade Secret). Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang: <br />
Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang. <br />
Contoh: rahasia dari formula Parfum. <br />
• Service Mark. Adalah kata, prase, logo, simbol, warna, suara, bau yang digunakan oleh sebuah bisnis untuk mengindentifikasi sebuah layanan dan membedakannya dari kompetitornya. Pada prakteknya perlindungan hukum untuk merek dagang sedang service mark untuk identitasnya. Contoh: ''Pegadaian: menyelesaikan masalah tanpa masalah''. <br />
• Desain Industri. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri: <br />
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. <br />
• Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu; <br />
Ayat 1: Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik. <br />
Ayat 2: Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu. <br />
• Indikasi Geografis. Berdasarkan pasal 56 ayat 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek: <br />
Indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. <br />
<br />
<br />
HaKI Perangkat Lunak<br />
Di Indonesia, HaKI PL termasuk ke dalam kategori Hak Cipta (Copyright). Beberapa negara, mengizinkan pematenan perangkat lunak. Pada industri perangkat lunak, sangat umum perusahaan besar memiliki portfolio paten yang berjumlah ratusan, bahkan ribuan. Sebagian besar perusahaan-perusahaan ini memiliki perjanjian cross-licensing, artinya ''Saya izinkan anda menggunakan paten saya asalkan saya boleh menggunakan paten anda''. Akibatnya hukum paten pada industri perangkat lunak sangat merugikan perusahaan-perusahaan kecil yang cenderung tidak memiliki paten. Tetapi ada juga perusahaan kecil yang menyalahgunakan hal ini. <br />
Banyak pihak tidak setuju terhadap paten perangkat lunak karena sangat merugikan industri perangkat lunak. Sebuah paten berlaku di sebuah negara. Jika sebuah perusahaan ingin patennya berlaku di negara lain, maka perusahaan tersebut harus mendaftarkan patennya di negara lain tersebut. Tidak seperti hak cipta, paten harus didaftarkan terlebih dahulu sebelum berlaku. <br />
Perangkat Lunak Berpemilik<br />
Perangkat lunak berpemilik (propriety) ialah perangkat lunak yang tidak bebas atau pun semi-bebas. Seseorang dapat dilarang, atau harus meminta izin, atau akan dikenakan pembatasan lainnya sehingga menyulitkan – jika menggunakan, mengedarkan, atau memodifikasinya. <br />
Perangkat Komersial<br />
Perangkat lunak komersial adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh kalangan bisnis untuk memperoleh keuntungan dari penggunaannya. ``Komersial'' dan ``kepemilikan'' adalah dua hal yang berbeda! Kebanyakan perangkat lunak komersial adalah berpemilik, tapi ada perangkat lunak bebas komersial, dan ada perangkat lunak tidak bebas dan tidak komersial. Sebaiknya, istilah ini tidak digunakan. <br />
<br />
Perangkat Lunak Semi-Bebas<br />
Perangkat lunak semibebas adalah perangkat lunak yang tidak bebas, tapi mengizinkan setiap orang untuk menggunakan, menyalin, mendistribusikan, dan memodifikasinya (termasuk distribusi dari versi yang telah dimodifikasi) untuk tujuan tertentu (Umpama nirlaba). PGP adalah salah satu contoh dari program semibebas. Perangkat lunak semibebas jauh lebih baik dari perangkat lunak berpemilik, namun masih ada masalah, dan seseorang tidak dapat menggunakannya pada sistem operasi yang bebas. <br />
Public Domain<br />
Perangkat lunak public domain ialah perangkat lunak yang tanpa hak cipta. Ini merupakan kasus khusus dari perangkat lunak bebas non-copyleft, yang berarti bahwa beberapa salinan atau versi yang telah dimodifikasi bisa jadi tidak bebas sama sekali. Terkadang ada yang menggunakan istilah ``public domain'' secara bebas yang berarti ``cuma-cuma'' atau ``tersedia gratis". Namun ``public domain'' merupakan istilah hukum yang artinya ``tidak memiliki hak cipta''. Untuk jelasnya, kami menganjurkan untuk menggunakan istilah ``public domain'' dalam arti tersebut, serta menggunakan istilah lain untuk mengartikan pengertian yang lain. <br />
Sebuah karya adalah public domain jika pemilik hak ciptanya menghendaki demikian. Selain itu, hak cipta memiliki waktu kadaluwarsa. Sebagai contoh, lagulagu klasik sebagian besar adalah public domain karena sudah melewati jangka waktu kadaluwarsa hak cipta. <br />
Freeware<br />
Istilah ``freeware'' tidak terdefinisi dengan jelas, tapi biasanya digunakan untuk paket-paket yang mengizinkan redistribusi tetapi bukan pemodifikasian (dan kode programnya tidak tersedia). Paket-paket ini bukan perangkat lunak bebas. <br />
<br />
Shareware<br />
Shareware ialah perangkat lunak yang mengizinkan orang-orang untuk meredistribusikan salinannya, tetapi mereka yang terus menggunakannya diminta untuk membayar biaya lisensi. Dalam prakteknya, orang-orang sering tidak mempedulikan perjanjian distribusi dan tetap melakukan hal tersebut, tapi sebenarnya perjanjian tidak mengizinkannya. <br />
Perangkat Lunak Bebas<br />
Perangkat lunak bebas ialah perangkat lunak yang mengizinkan siapa pun untuk menggunakan, menyalin, dan mendistribusikan, baik dimodifikasi atau pun tidak, secara gratis atau pun dengan biaya. Perlu ditekankan, bahwa kode sumber dari program harus tersedia. Jika tidak ada kode program, berarti bukan perangkat lunak. Perangkat Lunak Bebas mengacu pada kebebasan para penggunanya untuk menjalankan, menggandakan, menyebarluaskan, mempelajari, mengubah dan meningkatkan kinerja perangkat lunak. Tepatnya, mengacu pada empat jenis kebebasan bagi para pengguna perangk at lunak: <br />
• Kebebasan 0. Kebebasan untuk menjalankan programnya untuk tujuan apa saja. <br />
• Kebebasan 1. Kebebasan untuk mempelajari bagaimana program itu bekerja serta dapat disesuaikan dengan kebutuhan anda. Akses pada kode program merupakan suatu prasyarat. <br />
• Kebebasan 2. Kebebasan untuk menyebarluaskan kembali hasil salinan perangkat lunak tersebut sehingga dapat membantu sesama anda. <br />
• Kebebasan 3. Kebebasan untuk meningkatkan kinerja program, dan dapat menyebarkannya ke khalayak umum sehingga semua menikmati keuntungannya. Akses pada kode program merupakan suatu prasyarat juga. <br />
Suatu program merupakan perangkat lunak bebas, jika setiap pengguna memiliki semua dari kebebasan tersebut. Dengan demikian, anda seharusnya bebas untuk menyebarluaskan salinan program itu, dengan atau tanpa modifikasi (perubahan), secara gratis atau pun dengan memungut biaya penyebarluasan, kepada siapa pun dimana pun. Kebebasan untuk melakukan semua hal di atas berarti anda tidak harus meminta atau pun membayar untuk izin tersebut. <br />
Perangkat lunak bebas bukan berarti ``tidak komersial''. Program bebas harus boleh digunakan untuk keperluan komersial. Pengembangan perangkat lunak bebas secara komersial pun tidak merupakan hal yang aneh; dan produknya ialah perangkat lunak bebas yang komersial. <br />
Copylefted/Non-Copylefted<br />
Perangkat lunak copylefted merupakan perangkat lunak bebas yang ketentuan pendistribusinya tidak memperbolehkan untuk menambah batasan-batasan tambahan – jika mendistribusikan atau memodifikasi perangkat lunak tersebut. Artinya, setiap salinan dari perangkat lunak, walaupun telah dimodifikasi, haruslah merupakan perangkat lunak bebas. <br />
Perangkat lunak bebas non-copyleft dibuat oleh pembuatnya yang mengizinkan seseorang untuk mendistribusikan dan memodifikasi, dan untuk menambahkan batasan-batasan tambahan dalamnya. Jika suatu program bebas tapi tidak copyleft, maka beberapa salinan atau versi yang dimodifikasi bisa jadi tidak bebas sama sekali. Perusahaan perangkat lunak dapat mengkompilasi programnya, dengan atau tanpa modifikasi, dan mendistribusikan file tereksekusi sebagai produk perangkat lunak yang berpemilik. Sistem X Window menggambarkan hal ini. <br />
Perangkat Lunak Kode Terbuka<br />
Konsep Perangkat Lunak Kode Terbuka (Open Source Software) pada intinya adalah membuka kode sumber (source code) dari sebuah perangkat lunak. Konsep ini terasa aneh pada awalnya dikarenakan kode sumber merupakan kunci dari sebuah perangkat lunak. Dengan diketahui logika yang ada di kode sumber, maka orang lain semestinya dapat membuat perangkat lunak yang sama fungsinya. Open source hanya sebatas itu. Artinya, tidak harus gratis. Kita bisa saja membuat perangkat lunak yang kita buka kode-sumber-nya, mempatenkan algoritmanya, medaftarkan hak cipta, dan tetap menjual perangkat lunak tersebut secara komersial (alias tidak gratis). definisi open source yangasli seperti tertuang dalam OSD (Open Source Definition) yaitu: <br />
• Free Redistribution<br />
• Source Code<br />
• Derived Works<br />
• Integrity of the Authors Source Code<br />
• No Discrimination Against Persons or Groups<br />
• No Discrimination Against Fields of Endeavor<br />
• Distribution of License<br />
• License Must Not Be Specific to a Product<br />
• License Must Not Contaminate Other Software<br />
GNU General Public License (GNU/GPL)<br />
GNU/GPL merupakan sebuah kumpulan ketentuan pendistribusian tertentu untuk meng-copyleft-kan sebuah program. Proyek GNU menggunakannya sebagai perjanjian distribusi untuk sebagian besar perangkat lunak GNU. Sebagai contoh adalah lisensi GPL yang umum digunakan pada perangkat lunak Open Source. GPL memberikan hak kepada orang lain untuk menggunakan sebuah ciptaan asalkan modifikasi atau produk derivasi dari ciptaan tersebut memiliki lisensi yang sama. Kebalikan dari hak cipta adalah public domain. Ciptaan dalam public domain dapat digunakan sekehendaknya oleh pihak lain.<br />
Komersialisasi Perangkat Lunak<br />
Bebas pada kata perangkat lunak bebas tepatnya adalah bahwa para pengguna bebas untuk menjalankan suatu program, mengubah suatu program, dan mendistribusi ulang suatu program dengan atau tanpa mengubahnya. Berhubung perangkat lunak bebas bukan perihal harga, harga yang murah tidak menjadikannya menjadi lebih bebas, atau mendekati bebas. Jadi jika anda mendistribusi ulang salinan dari perangkat lunak bebas, anda dapat saja menarik biaya dan mendapatkan uang. Mendistribusi ulang perangkat lunak bebas merupakan kegiatan yang baik dan sah; jika anda melakukannya, silakan juga menarik keuntungan. <br />
Beberapa bentuk model bisnis yang dapat dilakukan dengan Open Source: <br />
• Support/seller, pendapatan diperoleh dari penjualan media distribusi, branding, pelatihan, jasa konsultasi, pengembangan custom, dan dukungan setelah penjualan.<br />
• Loss leader, suatu produk Open Source gratis digunakan untuk menggantikan perangkat lunak komersial.<br />
• Widget Frosting, perusahaan pada dasarnya menjual perangkat keras yang menggunakan program open source untuk menjalankan perangkat keras seperti sebagai driver atau lainnya. <br />
• Accecorizing, perusahaan mendistribusikan buku, perangkat keras, atau barang fisik lainnya yang berkaitan dengan produk Open Source, misal penerbitan buku O Reilly.<br />
• Service Enabler, perangkat lunak Open Source dibuat dan didistribusikan untuk mendukung ke arah penjualan service lainnya yang menghasilkan uang.<br />
• Brand Licensing, Suatu perusahaan mendapatkan penghasilan dengan penggunaan nama dagangnya.<br />
• Sell it, Free it, suatu perusahaan memulai siklus produksinya sebagai suatu produk komersial dan lalu mengubahnya menjadi produk open Source.<br />
• Software Franchising, ini merupakan model kombinasi antara brand licensing dan support/seller. <br />
Ancaman dan Tantangan<br />
Perangkat Keras Rahasia<br />
Para pembuat perangkat keras cenderung untuk menjaga kerahasiaan spesifikasi perangkat mereka. Ini menyulitkan penulisan driver bebas agar Linux dan XFree86 dapat mendukung perangkat keras baru tersebut. Walau pun kita telah memiliki sistem bebas yang lengkap dewasa ini, namun mungkin saja tidak di masa mendatang, jika kita tidak dapat mendukung komputer yang akan datang. <br />
<br />
Pustaka tidak bebas<br />
Pustaka tidak bebas yang berjalan pada perangkat lunak bebas dapt menjadi perangkap bagi pengembang perangkat lunak bebas. Fitur menarik dari pustaka tersebut merupakan umpan; jika anda menggunakannya; anda akan terperangkap, karena program anda tidak akan menjadi bagian yang bermanfaat bagi sistem operasi bebas. Jadi, kita dapat memasukkan program anda, namun tidak akan berjalan jika pustaka-nya tidak ada. Lebih parah lagi, jika program tersebut menjadi terkenal, tentunya akan menjebak lebih banyak lagi para pemrogram. <br />
Paten perangkat Lunak<br />
Ancaman terburuk yang perlu dihadapi berasal dari paten perangkat lunak, yang dapat berakibat pembatasan fitur perangkat lunak bebas lebih dari dua puluh tahun. Paten algoritma kompresi LZW diterapkan 1983, serta hingga baru-baru ini, kita tidak dapat membuat perangkat lunak bebas untuk kompresi GIF. Tahun 1998 yang lalu, sebuah program bebas yang menghasilkan suara MP3 terkompresi terpaksa dihapus dari distro akibat ancaman penuntutan paten. <br />
Dokumentasi Bebas<br />
Perangkat lunak bebas seharusnya dilengkapi dengan dokumentasi bebas pula. Sayang sekali, dewasa ini, dokumentasi bebas merupakan masalah yang paling serius yang dihadapi oleh masyarakat perangkat lunak bebas. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Rangkuman<br />
Arti bebas yang salah, telah menimbulkan persepsi masyarakat bahwa perangkat lunak bebas merupakan perangkat lunak yang gratis. Perangkat lunak bebas ialah perihal kebebasan, bukan harga. Konsep kebebasan yang dapat diambil dari kata bebas pada perangkat lunak bebas adalah seperti kebebasan berbicara bukan seperti bir gratis. Maksud dari bebas seperti kebebasan berbicara adalah kebebasan untuk menggunakan, menyalin, menyebarluaskan, mempelajari, mengubah, dan meningkatkan kinerja perangkat lunak. <br />
Suatu perangkat lunak dapat dimasukkan dalam kategori perangkat lunak bebas bila setiap orang memiliki kebebasan tersebut. Hal ini berarti, setiap pengguna perangkat lunak bebas dapat meminjamkan perangkat lunak yang dimilikinya kepada orang lain untuk dipergunakan tanpa perlu melanggar hukum dan disebut pembajak. Kebebasan yang diberikan perangkat lunak bebas dijamin oleh copyleft, suatu cara yang dijamin oleh hukum untuk melindungi kebebasan para pengguna perangkat lunak bebas. Dengan adanya copyleft maka suatu perangkat lunak bebas beserta hasil perubahan dari kode sumbernya akan selalu menjadi perangkat lunak bebas. Kebebasan yang diberikan melalui perlindungan copyleft inilah yang membuat suatu program dapat menjadi perangkat lunak bebas. <br />
Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan perangkat lunak bebas adalah karena serbaguna dan efektif dalam keanekaragaman jenis aplikasi. Dengan pemberian kode-sumber-nya, perangkat lunak bebas dapat disesuaikan secara khusus untuk kebutuhan pemakai. Sesuatu yang tidak mudah untuk terselesaikan dengan perangkat lunak berpemilik. Selain itu, perangkat lunak bebas didukung oleh milis-milis pengguna yang dapat menjawab pertanyaan yang timbul karena permasalahan pada penggunaan perangkat lunak bebas.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-10751990321951382402010-04-17T02:52:00.000-07:002010-04-17T02:54:34.531-07:00Hak pengelolaan atas tanah<blockquote></blockquote>HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH<blockquote></blockquote><br />Setiap instansi atau lembaga pemerintahan, dalam menjalankan tugas yang diembannya sudah tentu memerlukan bidang tanah, baik untuk pembangunan gedung kantor atau kegiatan operasionalnya. Bidang tanah tersebut ada yang diperoleh dari pemberian langsung oleh pemerintah atau dari hasil pembelian milik penduduk. Status bidang tanah itu tetap sebagai aset Pemerintah disebabkan oleh kareana sumber dananya berasal dari Pemerintah. Adapun masalah tertib administrasi yang perlu menjadi perhatian adalah tentang bagaimana tata cara penguasaan oleh instansi itu menjadi tertib dan teratur serta tertib pengawasannya.<br /><br />Di zaman Pemerintaha Hindia Belanda dahulu sudah ada ketentuan yang berlaku walaupun belum menyentuh tertib penguasannnya. Pada waktu itu berlaku ketentuan yang terdapat dalam Staatsblad 1911 no 110 juncto Staatsblad 1940 no 430. Di dalam lembaran Negara ini disinggung mengenai harta benda, bangunan dan lapangan militer. Mengenai bidang tanah disebut atau dirangkum ke dalam kata is lands-onroerende goederen atau "harta benda tetap/harta benda tidak bergerak milik Negara" sedangkan tertib administrasi penguasaan oleh instansi itu dipergunakan oleh istilah in beheer atau "dalam penguasaan". Sebagai bukti bahwa bidang tanah itu ada dalam penguasaan suatu instansi tertentu, ialah bahwa instansi tersebut memiliki anggaran belanja dari pemerintahan untuk membiayai pemeliharaannya.<br /><br />Istilah in beheer ini kemudian berkembang atau dikembangkan demikian luas pengertiannya sehingga menimbulkan adanya kerancuan di bidang tertib hukum antar instansi pemerintah dengan instansi pemegang hak dan pihak ketiga. Pokok permasalahan inilah yang menjadi fokus pengkajian dan perlu ada perhatian untuk menemukan jalan keluarnya.<br /><br />Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara, telah diatur bahwa openguasaan atas tanah Negara terbagi dalam dua (2) subyek :<br />1. Penguasaan tanah negara berdasarkan Undang-Undang atau Peraturan lain yang ada pada kementerian, jawatan atau daerah swatantra pada saat berlakunya peraturan ini.<br />2. Penguasaan atas tanah negara selebihnya ada pada Menteri Dalam Negeri.<br /><br />Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953 yang perlu mendapatkan perhatian adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 92 oleh karena materi hukumnya menjadi embrio lahirnya pengertian Hak Pengelolaan.<br /><br />Pasal 9 tersebut antara lain mengatur bahwa kementerian, jawatan atau daerah swatantra sebelum dapat menggunakan tanah-tanah Negara yang penguasanya diserahkan kepadanya, dapat memberi izin kepada pihak lain untuk memakai tanah itu dalam waktu yang pendek, yang sifatnya sementara serta setiap waktu harus dapat dicabut kembali. Ketentuan ini terus berlaku sampai tahun 1965 walaupun undang-undang no 5 tahun 1960 tidak mengaturnya. Berdasarkan pasal peralihan yang ada, maka Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1953 masih tetap berlaku. Penguasaan bidang tanah oleh instansi pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini ditindaklanjuti dengan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria no 9 tahun 1965.<br /><br />Dalam peraturan Menteri Agraria ini diatur bahwa yang semula hanya menyebut kata "penguasaan" dibubuhi kata hak dan menjadi "hak penguasaan", juga terdapat ketentuan bahwa Hak Penguasaan ini dikonversi dan dipecah menjadi dua (2) jenis hak, ialah :<br />1. Sepanjang tanah-tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri, dikonversi menjadi HAK PAKAI selama dipergunakan.<br />2. Tanah-tanah tersebut selain dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan itu dikonversi menjadi HAK PENGELOLAAN yang berlangsung selama tanah itu dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan.<br /><br />Diatur bahwa Hak Pengelolaan ini mengandung kewenangan kepada pemegang haknya untuk :<br />a. Merencanakan peruntukan dan pengguanaan tanah tersebut.<br />b. Menggunakan tanah itu untuk kepentingan sendiri.<br />c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu enam (6) tahun.<br />d. Menerima uang pemasukan, ganti rugi dan atau uang wajib tahunan.<br /><br />Rumusan pengertian Hak Pengelolaan menadi demikian luas dan berlaku sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri no 5 tahun 1973.<br /><br />Dengan terbitnya Peraturan Menteri tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan, diaturlah kebijakan yang lebih luas lagi. Pasal 3 mengatur bahwa Hak Pengelolaan yang diberikan kepada perusahaan berisikan wewenang untuk:<br />a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.<br />b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.<br />c. Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan atau pemegang hak tersebut yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga dilakukan oleh pejabat yang berwenang.<br /><br />Kecuali adanya kebijakan oleh tingkat menteri mengenai Hak Pengelolaan ini, masih ada kebijakan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah no 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Materi hukum hak pengelolaan hanya disisipkan dalam pasal 1 ayat 2 yang intinya mengandung pengertian adanya delegasi wewenang hak menguasai dari Negara kepada pemegang hak pengelolaan. Tidak ada penjelasan apakah delegasi kewenangan ini bersumber atau mengacu pada pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Pokok Agraria atau kepada Peraturan-Peraturan Menteri tersebut di atas. Hak Pengelolaan yang bersumber pada ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria kiranya belum pernah diberikan.<br /><br />Rumusan dan pengertian mengenai Hak Pengelolaan yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1953 sampai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri no 5 tahun 1974 berkembang sedemikian luasnya sehingga dapat menimbulkan tumpang tindih antar kewenangan instansi, dan juga berdampak kepada aspek sosial, ekonomi dan yuridis.<br /><br />Adapun permasalahan yang timbul sebagai akibat rumusan dan pengertian Hak Pengelolaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :<br />1. Hak Pengelolaan sebagai suatu jenis hak tidak diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria tetapi hanya suatu kebijakan yang dilandasi oleh peraturan Menteri.<br />2. Instansi Pemerintah sebagai pemegang Hak Pengelolaan menjadi berfungsi ganda, ialah sebagai pengemban tugas pelayanan publik dan juga bertindak sebagai penguasa.<br />3. Batasan atau rumusan Hak Pengelolaan demikian luas sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar instansi. Sebagai contoh adalah kewenangan perencanaan dan pengguanaan tanah, tumpang tindih dengan kewenangan Pemerintah Daerah. Adanya kewenangan mengenai perolehan keuangan dari pihak ketiga adalah tumpang tindih dengan kewenangan Departemen Keuangan, khususnya ketentuan dalam Undang-Undang no 20 tahun 1996 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.<br />4. Bidang tanah sebagai aset Pemerintah apabila difungsikan untuk tujuan mendapatkan penghasilan, juga terkait dengan kewenangan Departemen Keuangan.<br />5. Persyaratan yang diminta oleh pemegang Hak Pengelolaan pada umumnya memberatkan beban pihak ketiga, sehingga dapat menimbulkan konflik secara diam-diam atau terbuka.<br /><br />Sebagai jalan keluar atau pemecahannya ialah bahwa Hak Pengelolaan sebagai suatu jenis hak perlu diadakan pembahasan kembali sehingga didukung oleh sumber hukum yang benar.<br /><br />Kepada instansi Pemerintah cukuplah diberikan Hak Pakai selama bidang tanahnya dipergunakan dan kembali kepada tugas pokoknya.<br /><br />Apabila suatu departemen tugas operasionalnya bersinggungan dengan unsur bisnis maka diwajibkan membertuk Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. Bidang tanah yang dikuasai oleh Badan Usaha ini wajib tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundangan lainnya.Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3661589752195962321.post-61984999484539570092010-04-17T02:47:00.000-07:002010-04-17T02:50:09.860-07:00Hubungan hukum dengan masyrakatHubungan masyarakat dengan hukum<br /><br />Manusia adalah makhluk yang mempunyai hasrat hidup bersama. Hidup bersama yang sekurang-kurangnya terdiri dari 2 orang. Tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri, walaupun pendapat seperti ini saya hormati juga:<br /><br /> "from the day I was born, till the day I die… the only side I’m on is my own.(Genjou Sanzo)"<br /><br />Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia itu adalah ZOÖN POLITICON, yang artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk yang selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainya. Dan karena sifatnya itu manusia disebut sebagai makhluk sosial.<br /><br />Setiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak yang berbeda-beda. Dan dalam hubungan dengan sesama manusia dibutuhkan adanya kerjasama, tolong menolong dan saling menbantu untuk memperoleh keperluan kehidupannya. Kalau kepentingan tersebut selaras maka keperluan masing-masing akan mudah tercapai. Tetapi kalau tidak malah akan menimbulkan masalah yang menganggu keserasian. Dan bila kepentingan tersebuit berbeda yang kuatlah yang akan berkuasa dan menekan golongan yang lemah untuk memenuhi kehendaknya.<br /><br />Karena itu diperlukan suatu aturan yang mengatur setiap anggota dalam masyarakat. Maka dibuatlah aturan yang disebut dengan norma. Dengan norma tersebut setiap anggota masyarakat dengan sadar atau tidak sadar akan terpengaruh dan menekan kehendak pribadinya. Adanya aturan tersebut berguna agar tercapainya tujuan bersama dalam masyarakat, memberi petunjuk mana yang boleh dilakukan mana yang tidak, memberi petunjuk bagaiman cara berperilaku dalam masyarakat. Itulah dasar pembentukan hukum dari kebutuhan masyarakat akan adanya aturan yang mengatur tata cara kehidupan agar setiap individu masyarakat dapat hidup selaras.<br /><br /> <br /><br />II. Tujuan hukum<br /><br />Seperti yang manusia itu adalah makhluk yang bersifat sosial dan tinggal dalam kelompok masyarakat. Dengan berbagai macam individu yang tingal dalam masyarakat, diperlukan adanya aturan-aturan yang menjamin keseimbangan agar tidak terjadi kekacauan dalam kehidupan masyarakat.<br /><br /> 1. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti, hukum berfungsi menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.<br /> 2. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: hukum dapat memberi keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.<br /> 3. Sebagai sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Hukum adalah alat untuk membuat masyarakat yang lebih baik.<br /> 4. Sebagai penentuan alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan adil: seperti konsep hukum konstitusi negara.<br /> 5. Sebagai alat penyelesaian sengketa: seperti contoh persengekataan harta waris dapat segera selesai dengan ketetapan hukum waris yang sudah diatur dalam hukum perdata.<br /> 6. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.<br /><br /> <br /><br />III. Pengertian hukum<br /><br />Pengertian hukum sangatlah beragam, karena unsur-unsur hukum sendiri yang sangat beragam.<br /><br /> 1. Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa; perangkat peraturan yang ditetapkan penguasa seperti UUD dan lain-lain.<br /> 2. Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim; putusan-putusan yang dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang dikenal dengan jurisprudence (yurisprodensi).<br /> 3. Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum; hukum diartikan sebagai sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang bertugas. Pandagan ini sering dijumpai di dalam masyarakat tradisionil.<br /> 4. Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku; sebuah perilaku yang tetap sehingga dianggap sebagai hukum. Seperti perkataan: “setiap orang yang kos, hukumnya harus membayar uang kos”. Sering terdengar dalam pembicaraan masyarakat dan bagi mereka itu adalah aturannya/hukumnya.<br /> 5. Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah; kaidah/norma adalah aturan yang hidup ditengah masyarakat. Kaidah/norma ini dapat berupa norma kesopanan, kesusilaan, agama dan hukum (yang tertulis) uang berlakunya mengikat kepada seluruh anggota masyarakat dan mendapat sanksi bagi pelanggar.<br /> 6. Hukum diartikan sebagai tata hukum; berbeda dengan penjelasan angka 1, dalam konteks ini hukum diartikan sebagai peraturan yang saat ini sedang berlaku (hukum positif) dan mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut kepentingan individu (hukum privat) maupun kepentingan dengan negara (hukum publik). Peraturan privat dan publik ini terjelma di berbagai aturan hukum dengan tingkatan, batas kewenangan dan kekuatan mengikat yang berbeda satu sama lain. Hukum sebagai tata hukum, keberadaannya digunakan untuk mengatur tata tertib masyarakat dan berbentuk hierarkis<br /> 7. Hukum diartikan sebagai tata nilai; hukum mengandung nilai tentang baik-buruk, salah-benar, adil-tidak adil dan lain-lain, yang berlaku secara umum.<br /> 8. Hukum diartikan sebagai ilmu; hukum yang diartikan sebagai pengetahuan yang akan dijelaskan secara sistematis, metodis, objektif, dan universal. Keempat perkara tersebut adalah syarat ilmu pengetahuan.<br /> 9. Hukum diartikan sebagai sistem ajaran (disiplin hukum); sebagai sistem ajaran, hukum akan dikaji dari dimensi dassollen dan das-sein. Sebagai das-sollen, hukum menguraikan tentang hukum yang dicita-citakan. Kajian ini akan melahirkan hukum yang seharusnya dijalankan. Sedangkan sisi das-sein mrupakan wujud pelaksanaan hukum pada masyarakat. Antara das-sollen dan das-sein harus sewarna. Antara teori dan praktik harus sejalan. Jika das-sein menyimpang dari das-sollen, maka akan terjadi penyimpangan pelaksanaan hukum.<br /> 10. Hukum diartikan sebagai gejala sosial; hukum merupakan suatu gejala yang berada di masyarakat. Sebagai gejala sosial, hukum bertuuan untuk mengusahakan adanya keseimbangan dari berbagai macam kepentingan seseorang dalam masyarakat, sehingga akan meminimalisasi terjadinya konflik. Proses interaksi anggota masyarakat untuk mencukupi kepentingan hidupnya, perlu dijaga oleh aturan-aturan hukum agar hubungan kerjasama positif antar anggota masyarakat dapat berjalan aman dan tertib.<br /><br />Hukum secara terminologis pula masih sangat sulit untuk diberikan secara tepat dan dapat memuaskan. Ini dikarenakan hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu di dalam suatu definisi.<br />Sebagai gambaran, Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, memberi contoh-contoh tentang definisi Hukum yang berbeda-beda sebagai berikut:<br /><br />1. Aristoteles: “Particular law is that which each community lays down and applies to its own members. Universal law is the law of nature” (Hukum tertentu adalah sebuah hukum yang setiap komunitas meletakkan ia sebagai dasar dan mengaplikasikannya kepada anggotanya sendiri. Hukum universal adalah hukum alam).<br />2. Grotius: “Law is a rule of moral action obliging to that which is right” (Hukum adalah sebuah aturan tindakan moral yang akan membawa kepada apa yang benar).<br />3. Hobbes: “Where as law, properly is the word of him, that by right had command over others” (Pada dasarnya hukum adalah sebuah kata seseorang, yang dengan haknya, telah memerintah pada yang lain).<br />4. Phillip S. James: “Law is body of rule for the guidance of human conduct which are imposed upon, and enforced among the members of a given state” (Hukum adalah tubuh bagi aturan agar menjadi petunjuk bagi kelakuan manusia yang mana dipaksakan padanya, dan dipaksakan terhadap ahli dari sebuah negara).<br />5. Immanuel Kant: “Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan”.<br /><br />Akan tetapi, walaupun tidak mungkin diadakan suatu definisi yang lengkap tentang apakah hukum itu, namun Drs. E. Utrecht, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, telah mencoba membuat sebuah batasan, yang maksudnya sebagai pegangan bagi orang yang sedang mempelajari ilmu hukum. Batasan tersebut adalah “Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”.<br />Selain dari Utrecht, sarjana hukum lainnya juga telah berusaha merumuskan tentang apakah hukum itu:<br />1. Prof. Mr. EM. Meyers: “Hukum adalah semua peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya”.<br />2. Leon Duquit: “Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu”.<br />3. SM. Amin, SH.: “Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terjamin”.<br />4. MH. Tirtaatmidjaja, SH.: “Hukum adalah seluruh aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu, akan membahagiakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaan dan didenda”.<br />5. Wasis Sp.: “Hukum adalah perangkat peraturan baik yang bentuknya tertulis atau tidak tertulis, dibuat oleh penguasa yang berwenang, mempunyai sifat memaksa dan atau mengatur, mengandung sanksi bagi pelanggarnya, ditujukan pada tingkah laku manusia dengan maksud agar kehidupan individu dan masyarakat terjamin keamanan dan ketertibannya”.<br /><br />IV. Ciri-ciri hukum<br /><br />Menurut C.S.T. Kansil, S.H., ciri-ciri hukum adalah sebagai berikut:<br />a. Terdapat perintah dan/atau larangan.<br />b. Perintah dan/atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang.<br />Setiap orang berkewajiban untuk bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata-tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, hukum meliputi pelbagai peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan orang yang satu dengan yang lainnya, yakni peraturan-peraturan hidup bermasyarakat yang dinamakan dengan ‘Kaedah Hukum’Muhammad Alfiansyah Zugitohttp://www.blogger.com/profile/07191285623160096137noreply@blogger.com0