Cari Blog Ini

Halaman

Minggu, 23 Januari 2011

Pengakhiran Perjanjian International

RESUME BAB XII
PENGAKHIRAN ATAS EKSISTENSI SUATU
PERJANJIAN INTERNASIONAL

A. Pendahuluan
Pada akhirnya suatu perjanjian internasional harus diakhiri, atau terpaksa diakhiri eksistensinya. Seperti halnya penundaan dan ketidakabsahan suatu perjanjian internasional, pengakhiran atas eksistensi suatu perjanjian internasional juga ada penyebabnya, yang dalam beberapa hal sama seperti persoalan penundaan maupun ketidakabsahannya. Itulah sebabnya di dalam Konvensi Wina 1969, ketiganya diatur di dalam satu Bagian (Part), yakni Part V. Oleh karena itu uraian dalam Bab ini, dalam beberapa hal hampir sama dengan Bab X tentang Penundaan dan Bab XI tentang Ketidakabsahan suatu Perjanjian Internasional. Pihak yang dapat mengusulkan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional, adalah pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang memandang, bahwa perjanjian itu tidak perlu dipertahankan lagi dan harus diakhiri. Selanjutnya pengakhiran ini juga akan menimbulkan konsekuensi hukum seperti halnya dengan penundaan maupun ketidakabsahannya yang harus diselesaikan oleh para pihak itu sendiri. Persoalan tentang bagaimana mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional dan penyelesaian segala konsekuensi hukumnya, pertama-tama tergantung pada ada atau tidaknya pengaturannya di dalam perjanjian itu sendiri. Di samping itu, juga turut ditentukan oleh macam perjanjiannya, apakah itu perjanjian bilateral, multilateral, perjanjian yang jangka waktu berlakunya ditentukan ataukah tidak ditentukan, perjanjian terbuka atau tertutup, perjanjian yang merupakan pengkodifikasian dan pengembangan progresif hukum internasional, dan lain sebagainya.

B. Alasan untuk Mengakhiri Eksistensi suatu Perjanjian lnternasional
Dalam praktek kehidupan masyarakat internasional, terdapat beberapa alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional. Misalnya, untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya sudah ditentukan secara pasti di dalam salah satu pasalnya, misalnya berlaku untuk waktu lima tahun, sepuluh tahun, dan lain sebagainya, maka perjanjian itu akan berakhir setelah terpenuhinya jangka waktu tersebut. Meskipun demikian, setelah jangka waktu itu terpenuhi, para pihak dapat bersepakat untuk memperpanjang masa berlakunya untuk suatu jangka waktu tertentu. Kadang-kadang suatu perjanjian internasional semacam inipun dapat diakhiri eksistensinya, jika para pihak sepakat untuk mengakhirinya, meskipun jangka waktu berlakunya belum terpenuhi. Sedangkan untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya tidak ditentukan, dapat diakhiri sebelum tujuan perjanjian itu tercapai, jika memang para pihak sepakat untuk mengakhirinya.

C. Berakhirnya suatu Perjanjian Internasional Tidak Mengakhiri Kewajiban yang Berdasarkan atas Hukum Internasional Umum
Perjanjian-perjanjian internasional jenis tertentu, yakni, perjanjian yang substansinya (sebagian) merupakan formulasi dan kaidah hukum kebiasaan internasional, hak ataupun kewajiban yang semula berasal dari hukum kebiasaan internasional itu masih tetap berlaku. Tegasnya, salah satu atau beberapa ketentuannya merupakan perumusan kern bali atau pengkodifikasian atas kaidah hukum yang sebelum berlakunya perjanjian itu sudah merupakan kaidah hukum kebiasaan internasional. Jika pada suatu waktu perjanjian itu diakhiri eksistensinya, hal ini tidaklah mengakhiri hak ataupun kewajiban negara-negara pesertanya yang bersumber dari hukum kebiasaan internasional tersebut.
Contoh lain, negara A dan negara B membuat perjanjian bilateral tentang kesepakatan untuk hidup berdampingan secara damai, yang salah satu pasalnya berisi ketentuan yang menyatakan bahwa kedua pihak tidak akan saling menyerang dan tidak akan menggunakan kekerasan dalam penyelesaian perselisihan antara mereka. Ketentuan semacam ini adalah merupakan kaidah hukum kebiasaan internasional yang berlaku umum, terlepas dari ada atau tidak adanya penegasan atau pengaturannya di dalam suatu perjanjian internasional. Apabila pada suatu waktu nanti, perjanjian itu diakhiri eksistensinya, ketentuan seperti tercantum di dalam perjanjian itu tetap berlaku terhadap kedua negara, sebab sudah merupakan kaidah hukum internasional umum yang mandiri. Jadi, dengan kata lain, dengan berakhirnya perjanjian itu tidaklah berarti para pihak bisa saling menyerang ataupun menggunakan kekerasan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara keduanya.

D. Pengakhiran atas Eksistensi Perjanjian Internasional menurut Konvensi Wina 1969
Konvensi Wina 1969 Pasal 42 ayat 2 menegaskan, bahwa tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional pertama-tama harus dilihat pada bagaimana peraturannya di dalam perjanjian internasional itu sendiri, kalau memang perjanjian itu secara tegas mengaturnya. Sedangkan jika tidak ada pengaturannya, pengakhiran itu dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Konvensi. Selanjutnya pasal 44 ayat 2 menegaskan, bahwa pada prinsipnya suatu kehendak untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional hendaknya untuk keseluruhannya. Namun, dimungkinkan juga untuk mengakhiri sebagian dari perjanjian itu, apabila ada klausul yang memungkinkan melakukan pengakhirannya untuk sebagian atau untuk beberapa ketentuannya, seperti ditegaskan pada ayat 3. Akan tetapi jika klausul demikian itu tidak ada, pengakhiran untuk sebagian juga dapat dilakukan jika hal itu tampak atau tersimpulkan dari perjanjian itu sendiri, dan pada umumnya pengakhiran atas sebagian dan perjanjian tersebut berkenaan dengan ketentuan yang bukan merupakan syarat yang esensial bagi terikatnya suatu negara pada perjanjian itu secara keseluruhan.
a. Dibuat Perjanjian Internasional Baru
Pasal 59 ayat 1 mengatur tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional (lama/duluan) disebabkan karena dibuat perjanjian yang (baru/belakangan). Dalam hal ini, semua negara peserta pada perjanjian yang lama/duluan kemudian membuat perjanjian baru/belakangan, dan memang para pihak bermaksud untuk menerapkan perjanjian yang baru/belakangan untuk menggantikan perjanjian yang lama/duluan; dan juga karena substansi dari kedua perjanjian itu sangat berbeda bahkan bertentangan sehingga keduanya tidak mungkin untuk diterapkan secara bersamaan. Meskipun perjanjian yang baru/belakangan tidak secara tegas mengakhiri eksistensi atau berlakunya perjanjian yang lama/duluan -- dan hal seperti ini memang tidak lazim dalam hukum perjanjian internasional — tetapi karena keduanya tidak mungkin untuk diterapkan pada waktu dan tempat yang sama, maka salah satu harus dikesampingkan atau diakhiri. Dalam hal ini perjanjian yang lama/duluanlah yang harus diakhiri, dan yang baru/belakanganlah yang harus diterapkan, jadi sesuai dengan asas hukum, lex posteriori derogat legi priori. Akan tetapi masalahnya menjadi lain, apabila negara-negara peserta pada perjanjian yang lama/duluan tidak semuanya negara yang juga menjadi peserta pada perjanjian yang baru/belakangan.
b. Pelanggaran oleh salah satu pihak
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 60 ayat 1, pelanggaran atas substansi perjanjian oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian, baik untuk keseluruhannya ataupun untuk sebagian. Atau seperti ditegaskan dalam ayat 2, pelanggaran atas suatu perjanjian internasional oleh salah satu pihak dapat dijadikan sebagai alasan bagi pihak lainnya untuk bersepakat secara bulat untuk mengakhiri berlakunya perjanjian itu, (i) baik dalam hubungan antara mereka pada satu pihak dengan pihak yang melakukan pelanggaran pada lain pihak, atau (ii) antara semua pihak. Perlu ditegaskan, bahwa pengakhiran suatu perjanjian internasional berdasarkan alasan semacam ini bersifat fakultatif, artinya, para pihak dapat menempuh pilihan, apakah sepakat untuk mengakhiri perjanjian ataukah tetap melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut meskipun terjadi pelanggaran sebagaimana dinyatakan di dalam pasal 60 ini. Meskipun terjadi pelanggaran yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhirinya, tetapi jika para pihak sepakat untuk tetap meneruskan pelaksanaannya, maka perjanjian itu masih tetap eksis dan berlaku sebagaimana biasa. Sebaliknya jika mereka memilih untuk mengakhirinya, pengakhiran ini bisa dilakukan hanya antara pihak yang melakukan pelanggaran dalam hubungannya dengan pihak yang menjadi korban atau pihak yang dirugikan, atau bisa juga dilakukan antara semua pihak, jika semua pihak sepakat untuk itu.
c. Ketidakmungkinan untuk melaksanakannya
Menurut pasal 61 ayat 3, salah satu pihak dapat menyatakan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian dengan alasan bahwa perjanjian itu sudah tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan dan ketidakmungkinan itu sudah bersifat permanen atau ketidakmungkinan yang disebabkan karena kerusakan dan obyeknya yang ternyata tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan perjanjian tersebut. Jadi ada dua macam ketidakmungkinan untuk melaksanakan suatu perjanjian, yakni pertama, ketidakmungkinan untuk melaksanakan perjanjian internasional itu sudah bersifat permanen, dan yang kedua, adalah karena kerusakan dan obyek perjanjian itu tidak dapat dipisahkan dan pelaksanaannya, atau dengan kata lain, kerusakan atas obyeknya itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk tetap melaksanakan perjanjian tersebut.
d. Terjadinya perubahan keadaan yang fundamental (fundamental change of circumstances)
Konvensi mengatur tentang terjadinya perubahan keadaan yang fundamental secara negatif, dalam pengertian, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri berlakunya suatu perjanjian internasional. Selain daripada itu, jika ada pihak yang menjadikannya sebagai alasan, disertai pula dengan pembatasan yang amat ketat dalam penggunaannya, sehingga sangat sempit atau sedikit sekali kesempatan yang dapat digunakan sebagai alasan untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional. Diaturnya secara negatif dan disertai dengan pembatasan yang amat ketat, disebabkan karena kekhawatiran akan disalahgunakannya alasan ini, misalnya negara-negara dengan mudah berlindung dibaliknya untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional. Di samping itu, martabat (dignity) setiap perjanjian internasional supaya tetap dijunjung tinggi mengingat bahwa adanya perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur masyarakat internasional masih jauh lebih baik daripada tidak ada atau hanya ada sedikit perjanjian internasional, sehingga masyarakat internasional menjadi hidup di dalam suasana yang tanpa hukum yang tegas. Dalam hal ini sudah lama diakui, bahwa peranan perjanjian internasional dalam mengatur masalah-masalah internasional semakin lama semakin bertambah penting.
e. Putusnya hubungan diplomatik dan/atau konsuler
Hubungan diplomatik dan/atau konsuler yang baik antara negara-negara merupakan salah satu fondasi bagi pertumbuhan dan perkembangan perjanjian-perjanjian internasional, sebab dengan hubungan semacam itulah negara-negara akan lebih mudah dan cepat melakukan pendekatan untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional dalam rangka mengatur masalah-masalah internasional pada umumnya dan masalah-masalah antara mereka pada khususnya. Akan tetapi dalam hubungan-hubungan internasional, negara-negara yang hubungan diplomatik dan konsulernya semula berlangsung dengan baik, ternyata hubungan baik itu tidak selamanya bisa dipertahankan. Hubungan diplomatik dan/atau konsuler juga kadang-kadang bisa putus. Pelbagai penyebab dapat dikemukakan mengapa hubungan diplomatik dan/atau konsuler antara dua negara bisa putus, misalnya, terjadinya ketegangan yang memuncak sampai mengarah pada konflik bersenjata, atau sudah terjadi peperangan dahsyat antara kedua negara.


f. Bertentangan dengan jus cogens
Walaupun suatu perjanjian internasional merupakan hasil kesepakatan antara negara-negara yang menjadi pesertanya, sesuai dengan asas-asas dari hukum perjanjian itu sendiri, namun tidaklah berarti mereka bebas menentukan isi maupun obyek dan kesepakatannya. Ada beberapa pembatasan yang harus diperhatikan. Salah satunya adalah, substansi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum umum atau universal yang bersifat kuat dan imperatif yang dalam pasal 53 Konvensi disebut dengan a peremptory norm of general international law atau di dalam hukum internasional dikenal sebagai jus cogens. Apa yang dimaksud dengan jus cogens, ditegaskan dalam pasal 53, yakni, suatu kaidah hukum yang diterima dan diakui oleh seluruh anggota masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara sebagai suatu kaidah hukum yang tidak dibenarkan untuk dilakukan penyimpangan dan yang hanya dapat diubah oleh kaidah hukum internasional umumnya yang muncul belakangan yang memiliki sifat atau karakter yang sama. Sebagai contohnya, kewajiban setiap negara untuk menghormati kedaulatan teritorial sesama negara, kewajiban setiap negara untuk menghormati hak-hak asasi manusia, kewajiban negara untuk tidak melakukan tindakan agresi terhadap negara lain, dan lain-lainnya. Jika misalnya dua negara membuat suatu perjanjian bilateral yang substansinya merupakan kesepakatan untuk menyerang negara lain, perjanjian seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan kaidah hukum internasional yang tergolong jus cogens seperti telah dikemukakan di atas, yakni kewajiban untuk menghormati kedaulatan sesama negara. Menurut pasal 53, perjanjian semacam ini adalah batal (void) dan demikian juga menurut pasal 64 adalah batal dan perjanjian yang batal sama artinya dengan berakhir eksistensinya.
g. Pecahnya perang antara para pihak
Pecahnya perang antara dua atau lebih negara akan mengakhiri eksistensi dari perjanjian yang dibuat sebelumnya?. Konvensi Wina 1969 sama sekali tidak mengaturnya, baik langsung ataupun tidak langsung, sehingga tidak bisa dicarikan rujukannya secara langsung pada Konvensi. Dalam hal ini masalahnya hampir sama dengan putusnya hubungan diplomatik antara dua negara. Pada prinsipnya, perang yang terjadi tidak mengakhiri eksistensi perjanjian yang sudah ada dan berlaku sebelumnya antara para pihak yang berperang. Akan lebih tepat dikatakan, bahwa perang itu hanyalah menunda pelaksanaan perjanjian antara para pihak yang bersangkutan. Jika kemudian perang sudah berakhir dan hubungan diplomatik normal kembali, maka perjanjian yang selama berlangsungnya perang tertunda pelaksanaannya, dapat dilaksanakan kembali sebagaimana biasa.

E. Penarikan diri negara-negara pesertanya
Walaupun pasal 55 dan 56 Konvensi tidak memungkinkan suatu perjanjian internasional untuk diakhiri meskipun terjadi penarikan atau pengunduran diri negara-negara peserta hingga jumlah yang tersisa kurang dari jumlah minimum yang dibutuhkan untuk mulai berlakunya, namun dalam praktek tidaklah tertutup kemungkinan terjadinya pengakhiran suatu perjanjian internasional jika negara-negara peserta yang tersisa sudah tidak mungkin lagi untuk melaksanakan ketentuan perjanjian tersebut. Jika terjadi situasi semacam ini, maka para pihak yang masih tersisa (yang tidak menarik diri) dapat menempuh kesepakatan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian itu.

F. Prosedur untuk Mengakhiri Eksistensi suatu Perjanjian Internasional
Suatu perjanjian internasional yang hendak diakhiri eksistensinya berdasarkan kehendak dari salah satu atau beberapa pihak, menurut pasal 65 ayat 1, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu kepada negara-negara peserta yang lainnya. Pengajuan usulnya itu haruslah dilakukan secara tertulis (pasal 67 ayat 1) disertai dengan alasan-alasannya dan langkah-langkah yang seyogianya ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut. Selanjutnya menurut pasal 65 ayat 2, jika dalam rentang waktu tiga bulan terhitung dari saat diterimanya usulan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut, — kecuali dalam keadaan yang sangat khusus — ternyata tidak ada satu pihakpun yang menyatakan penolakan atau keberatannya, maka pihak yang mengajukan usulan itu dapat mengambil langkah-langkah seperti ditentukan dalam pasal 67 yakni menyampaikan pernyataan bahwa perjanjian itu berakhir eksistensinya yang harus disampaikan kepada negara-negara peserta lainnya. Pemberitahuan atau pernyataan itu harus dilakukan sucara tertulis dan ditandatangani oleh kepala negara, atau kepala pemerintah, atau menteri luar negerinya. Jika hal itu dilakukan oleh pejabat lain selain daripada ketiga pejabat negara tersebut, maka pejabat negara itu haruslah disertai dengan surat kuasa atau kuasa penuh (full powers). Jika tidak disertai dengan kuasa penuh, maka keabsahannya dapat dipersoalkan oleh pihak-pihak atau negara-negara peserta yang lainnya.

G. Konsekuensi Hukum dan Berakhirnya Eksistensi suatu Perjanjian Internasional.
Tentang konsekuensi hukum dan pengakhiran suatu perjanjian internasional diatur di dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi. Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya; jika pengaturan itu tidak ada, kemungkinan kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan tersendiri, dan kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada, maka para pihak dapat mengikuti ketentuan seperti ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini. Jika suatu perjanjian internasional mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya tentang konsekuensi (hukum) dari berakhirnya eksistensi perjanjian, maka para pihak cukup menerapkan ketentuan itu saja. Akan tetapi dalam prakteknya, memang sangat jarang ada — bahkan mungkin tidak ada— perjanjian internasional yang mengatur sampai sejauh ini, bahkan lebih banyak dijumpai perjanjian-perjanjian internasional yang sama sekali tidak mengaturnya. Jika tidak ada pengaturan tentang konsekuensinya, maka timbul pertanyaan, bagaimanakah konsekuensi dan berakhirnya eksistensi suatu perjanjian internasional. Dalam hal ini kemungkinan para pihak akan mengatur secara tersendiri. Pengaturan ini merupakan kesepakatan antara para pihak tersebut merupakan kesepakatan tersendiri (di luar perjanjian) sebagai konsekuensi dan pengakhiran atas eksistensi perjanjian tersebut. Pengaturan semacam ini hanyalah mungkin, apabila pengakhiran atas eksistensi perjanjian internasional dilakukan atas dasar kesepakatan (secara damai) antara para pihak. Jika ada kesepakatan semacam ini, maka para pihak tentu saja harus menerapkan kesepakatan ini saja, dan jika semua berlangsung dengan baik dan lancar, maka berakhirlah semua masalahnya.

H. Kesimpulan
Beberapa alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional. Misalnya, untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya sudah ditentukan secara pasti di dalam salah satu pasalnya, misalnya berlaku untuk waktu lima tahun, sepuluh tahun, dan lain sebagainya, maka perjanjian itu akan berakhir setelah terpenuhinya jangka waktu tersebut. Meskipun demikian, setelah jangka waktu itu terpenuhi, para pihak dapat bersepakat untuk memperpanjang masa berlakunya untuk suatu jangka waktu tertentu.
Konvensi Wina 1969 Pasal 42 ayat 2 menegaskan, bahwa tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional pertama-tama harus dilihat pada bagaimana peraturannya di dalam perjanjian internasional itu sendiri, kalau memang perjanjian itu secara tegas mengaturnya. Sedangkan jika tidak ada pengaturannya, pengakhiran itu dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Konvensi.
Suatu perjanjian internasional yang hendak diakhiri eksistensinya berdasarkan kehendak dari salah satu atau beberapa pihak, menurut pasal 65 ayat 1, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu kepada negara-negara peserta yang lainnya. Pengajuan usulnya itu haruslah dilakukan secara tertulis (pasal 67 ayat 1) disertai dengan alasan-alasannya dan langkah-langkah yang seyogianya ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut.
Tentang konsekuensi hukum dan pengakhiran suatu perjanjian internasional diatur di dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi. Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya; jika pengaturan itu tidak ada, kemungkinan kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan tersendiri, dan kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada, maka para pihak dapat mengikuti ketentuan seperti ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini.

RESUME
HUKUM PERJANJIAN
INTERNASIONAL
OLEH :
M. ALFIANSYAH ZUGITO
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2 komentar:

Pengikut